Jumat, 03 Desember 2010

Dari Solidaritas ke Serikat Buruh

Oleh: L. Gathot Widyanata

Pengantar

“Mari Berbagi” merupakan tema APP tahun 2011 yang disepakati oleh umat katolik se KAJ (Keuskupan Agung Jakarta). Tema tersebut memberi focus perhatian untuk pertobatan dan gerak bersama dalam rangka bekerjasama melawan kemiskinan adalah berbagi. Sejak Sinode I KAJ (1990) hingga SAGKI 2005 melalui Biro Pelayanan Buruh LDD, Gereja setia untuk hadir di tengah – tengah kaum buruh, sebagai bukti bahwa Gereja memiliki kepedulian pada masalah perburuhan.

Dalam konteks hubungan- industrial yang fleksibel, tema tersebut dapat menginspirisari masyarakat industri untuk mengembangkan solidaritas dan mewujudkan buruh dalam model kerja yang fleksibel terorganisir. Di dalam tulisan selanjutnya, penulis akan memfokuskan diri pada perubahan model kerja dan dampaknya bagi buruh sendiri dan bagaimana buruh dengan model kerja “fleksibel” membangun kekuatan kolektifnya? Tawaran perubahan: terciptanya solidaritas pada sesama pekerja/buruh dan serikat buruh yang berbasis buruh kontrak dan outsourcing.

Perubahan Model Kerja

Saat ini, teridentifikasi ada perubahan dunia kerja dari model kerja “tetap” diganti model kerja “fleksibel” di tingkat perusahaan. Dalam model kerja “tetap” maksudnya adalah model kerja dimana perusahaan memberikan kerja jangka panjang bagi si buruh dan dengan demikian dapat menjamin terjadinya promosi jabatan di dalam perusahaan. Dalam model kerja “fleksibel”, buruh dituntut untuk lebih lentur dalam melakukan pekerjaan, tidak tersekat oleh rincian kerja (job description) yang kaku, dan diharapkan mampu beradaptasi lebih cepat dengan perubahan – perubahan.

Model kerja “fleksibel” , kalau dilihat dari durasi masa kerja: jangka pendek dan rotasi kerja. Bentuk model kerja “fleksibel” adalah kontrak dan outsourcing. Sistem kerja “fleksibel” mematahkan hubungan kerja kolektif menjadi hubungan kerja yang lebih individual. Buruh yang terjebak dalam model kerja “fleksibel” memiliki karakter yang terpenting dapat bekerja (employability security) dan buruh dituntut dapat melakukan berbagai pekerjaan (multi skill & job).

Logika pasar memberikan alasan, mengapa banyak perusahaan menggunakan model kerja “fleksibel”? Model kerja “fleksibel” menjadi salah satu strategi survivalness korporasi, stabilitas ekonomi dan pertumbuhan dalam menghadapi krisis ekonomi dunia. Oleh sebab itu, model kerja “fleksibel” akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan pemerataan kesempatan kerja yang pada gilirannya dapat menciptakan perbaikan tingkat pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan.

Dalam kenyataannya, model kerja “fleksibel” dalam konteks pasar kerja kerja yang fleksibel dipandang oleh pemakai tenaga kerja sebagai langkah efesiensi produksi dan melipatgandakan keuntungan modal. Mengingat, sistem pasar kerja yang fleksibel memperkecil biaya rekrutmen dan PHK. Jam kerja dan besaran upah difleksibilisasikan sesuai dengan siklus bisnis atau fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang diproduksi (Tjandraningsih & Nugroho, 2007).

Proteksi Bagi Buruh Dihilangkan

Bagi perusahaan, praktek penggunaan model kerja fleksibel bukan perilaku yang melanggar hukum, sebab praktek tersebut didukung oleh negara. Negara menciptakan berbagai instrument regula yang melegalkan praktek penggunaan model kerja fleksibel. Sejumlah instrumen regulasi yang dianggap terlalu ketat membatasi kebebasan dicabut atau diperlunak. Aturan-aturan yang terlampau protektif bagi pekerja dihilangkan.

Negara juga didorong untuk melegalkan sistem kontrak kerja dan outsourcing seluas mungkin untuk menjamin keleluasaan bergerak pekerja maupun modal. Sejalan dengan prinisip pasar bebas, pengurangan campur tangan negara bukan hanya dilakukan terhadap pengaturan pasar kerja tapi juga pada sistem perlindungan sosial.

Kebijakan pasar kerja yang fleksibel yang telah tercermin di dalam UUK 13/2003 (terutama pada pasal 59-66) dipandang masih perlu lebih difleksibelkan. Apalagi jika dikaitkan dengan pasal-pasal yang mengatur PHK. Pasal-pasal ini dianggap masih terlalu kaku.

Pengawasan terhadap penerapan pasal-pasal mengenai pekerja kontrak atau PKWT, pekerja outsourcing dan pemberian pesangon PHK di dalam UU 13/2003 tergolong sangat lemah. Kecenderungan terjadinya perluasan cakupan pekerjaan untuk pekerja outsourcing dan penggunaan tenaga kontrak yang melebihi batas ketentuan hukum serta banyaknya kasus PHK tanpa pesangon yang jelas, berlangsung tanpa mendapat sanksi hukum yang berarti.

Keleluasaan Interpretasi Hukum

Perundang-undangan yang ada mengandung celah hukum yang memungkinkan terbukanya peluang praktek pelanggaran hukum tanpa kontrol yang efektif. Celah ini memberikan ruang keleluasaan interpretasi hukum yang dapat dimenangkan melalui tarik-menarik kekuatan ekonomi politik di antara pengusaha, pekerja dan serikat buruh, serta pemerintah. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal seperti ini terjadi pada pasal-pasal UU 13/2003 yang berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja outsourcing dan kontrak.

UU 13/2003 telah mengatur pembatasan cakupan pekerjaan outsourcing. Namun ruang interpretasi yang agak longgar masih tersedia untuk itu. Dasar penentuan kriteria usaha pokok (core business) yang kurang spesifik cenderung diinterpretasikan secara beragam oleh pengusaha dan serikat buruh serta aparat Disnaker (AKATIGA-TURC-LabSosio UI, 2006). Ada kecenderungan pengusaha mempersempit pengertian cakupan usaha pokok agar jenis dan jumlah pekerjaan penunjang yang dapat diserahkan pada pekerja outsourcing menjadi lebih banyak. Jika memperhatikan bahwa proses fleksibilisasi kini banyak merambah masuk ke dalam inti produksi dan diikuti oleh meningkatnya jumlah pekerja outsourcing secara pesat, maka hal ini mengindikasikan bahwa pengusaha lebih mudah untuk memperoleh keuntungan dari ruang interpretasi tersebut. Hal yang serupa juga terjadi di dalam interpretasi mengenai pekerja kontrak. Pembatasan pekerjaan kontrak yang hanya diberikan untuk jenis pekerjaan jangka pendek, sementara, musiman, berkaitan dengan produk baru, dan paling lama 3 tahun, dalam praktek dapat diperluas menjadi pekerjaan yang reguler dan melebihi jangka waktu tersebut.

Degradasi Kesejahteraan

Gustavo Gutierrez Merino, teolog pembebasan yang lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, ibu kota Peru, dalam bukunya “Liberation and Change” menyatakan bahwa kapitalisme yang dibangun oleh ideologi borjuis sangat menekankan individu. Individu adalah titik tolak dan motor kegiatan ekonomi. Individu pula yang berhak atas modal dan pemilikan hasil – hasil produksi. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan eksploitasi buruh demi kepentingan modal.

Individu – individu yang berhak atas modal dan hasil – hasil produksi, serta merta berhak menciptakan sistem hubungan kerja yang fleksibel. Secara eknomi, buruh dengan model kerja “fleksibel” realitanya mengalami degradasi kesejahteraan. Sementara itu degradasi ini adalah konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar kerja. Dore merumuskan fleksibilitas sebagai sebuah cara untuk menghilangkan ‘social evil of unemployment’ melalui penciptaan kesempatan kerja yang ‘atypical’ (pekerja tidak tetap, kontrak pendek, paruh waktu, ‘agency despatched’) yang mengandung biaya tenaga kerja rendah sehingga memudahkan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja baru. Kemudahan ini membuat kesempatan kerja menjadi lebih mudah tersedia.

Di dalam pasar kerja yang dualistik dan ditandai oleh tingkat pengangguran yang tinggi ketersediaan pekerjaan ini menjadi sangat penting artinya bagi pekerja dan pencari kerja. Oleh karenanya pekerjaan-pekerjaan yang berupah rendah dan tidak memberi jaminan kerja apapun masih dianggap tersebut lebih baik daripada mereka menganggur (Dore, 2003:31).

Hancurnya Nilai Solidaritas Buruh

Hancurnya nilai solidaritas antar buruh akibat perilaku bisnis yang pragmatis, yang mementingkan individu dan golongan sebagai konsekuensi praktek LMF (Labour Market Flexibility) di Indonesia. Model kerja “fleksibel” adalah anak kandung LMF sebagai strategi untuk menghancurkan ikatan solidaritas antar buruh.

Model kerja “fleksibel”, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke arah individualisme. Individualisasi juga dilakukan terhadap sistem pengupahan dan penyelesaian perselisihan. Individualisasi hubungan-hubungan kerja tersebut dianggap sebagai kunci penting untuk mendorong produktivitas dan mengurangi kontrol kolektif serikat buruh terhadap kepentingan-kepentingan produksi dan ekspansi modal.

Sejak diterapkan model kerja “fleksibel” ikatan solidaritas horizontal buruh kian berkurang. Ikatan perekat berskala besar dalam proses hubungan industrial semakin tidak ada. Semakin banyak dari mereka menjadi buruh kontrak dan outsourcing, kian mengedepankan individu –individu tanpa ikatan yang kehilangan akses keberlangsungan pekerjaan.

Fakta dilapangan, buruh dengan model kerja yang fleksibel lebih berkonsentrasi untuk dapat memperpanjang kontrak kerja ketimbang untuk membangun organisasi sebagai ikatan kelas. Mereka terus merangkak untuk memilih pembangunan ikatan - ikatan kelas yang mampu memberikan harapan yang mensejahterakan hidup. Dengan kata lain, buruh kontrak – outsourcing lebih suka bertemu, jika pertemuan tersebut memberikan harapan kesejahteraan hidup.

Hancurnya Serikat Buruh

Perubahan model kerja “tetap” menjadi model kerja “fleksibel” merupakan bentuk strategi pemecah belah persatuan buruh. Model kerja “fleksibel” merupakan senjata ampuh untuk merontokan kekuatan serikat buruh. Sebab serikat buruh dengan kekuatan kolektifnya, dianggap oleh pemuja LMF sebagai penghambat fleksibilitas modal dalam menghadapi fluktuasi tekanan pasar. Untuk itu peran serikat buruh sebagai basis kekuatan kolektif mulai dikurangi dengan cara memperkerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Lahirnya buruh kontrak dan outsourcing sebagai strategi untuk menggeser kekuatan kolektivisme dalam hubungan industrial ke arah individualisme.

Penghancuran serikat buruh yang dilakukan secara sistematis melalui penerapan model kerja “fleksibel” dalam bentuk sistem kerja kontrak dan outsourcing membawa efek berkurangnya tenaga tetap yang menjadi basis serikat buruh. Menurut Tjandraningsih & Nugroho: “Bahwa beberapa serikat utama mengakui kehilangan anggota hingga 30% akibat fleksibilisasi hubungan kerja. Di tingkat basis kehilangan itu bahkan mencapai 50%. Makin banyaknya pekerja kontrak dan outsourcing yang menggantikan pekerja tetap secara dengan sendirinya telah mengurangi anggota serikat buruh yang menjadi basis kekuatan utama serikat”.

Kini banyak terdapat buruh kontrak , bahkan buruh outsourcing merajalela diberbagai perusahaan manufaktur di Indonesia. Sementara banyak serikat buruh belum menerima dan mengorganiisir buruh kontrak & outsourcing. Buruh kontrak & outsourcing enggan untuk membangun kekuatan secara kolektif (organisasi buruh/Serikat Buruh – red) dengan alasan takut kehilangan pekerjaan.

Status kontrak telah secara langsung menutup peluang menjadi anggota serikat buruh karena serikat buruh hanya mengorganisir buruh tetap. Status sebagai buruh outsourcing juga demikian halnya karena periode kontrak mereka lebih pendek antara 3-6 bulan. Buruh outsourcing juga secara eksplisit maupun implisit diperingatkan oleh perusahaan untuk tidak bergabung dengan serikat bila ingin tetap bisa bekerja atau masa kontrak kerjanya diperpanjang (Tjandraningsih & Nugroho, 2007).

Mengembangkan Solidaritas Buruh

Sangat terasa, sejak keberhasilan berbagai perusahaan menggunakan buruh kontrak dan outsourcing terjadi kemerosotan solidaritas antar buruh. Hubungan – industrial yang individu mendorong para buruh untuk berfikir, bertindak bagi kepentingan diri. Roh solidaritas demi kepentingan bersama termarginalkan dan digerus oleh sistem kerja yang fleksibel.

Bapak Paus Leo XIII, dalam ensiklik Rerum Novarum dalan artikel 49 mengutip Kitab Suci, yang dapat dijadikan inspirasi pembangunan solidaritas antar buruh: “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wahai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya” (Pkh 4: 9-10), dan dilain nas : “Saudara yang dibantu oleh saudaranya ibarat baluarti; teman –teman ibarat penopang kehidupan” (Ams 18:19). Spirit demikian yang harus terus-menerus berkobar di setiap sanubari buruh dalam model kerja “fleksibel” untuk merapatkan barisannya dalam memperjuangkan hak-haknya dalam kerangka solidaritas.

Solidaritas juga berarti sikap bela rasa, senasib; oleh sebab itu solidaritas adalah tekad yang teguh dan tegar untuk melibatkan diri dalam kepentingan bersama “bonum commune”, yaitu kepada kepentingan semua orang dan masing- masing orang, karena kita bertanggung jawab atas semua.

Solidaritas kaum buruh mendorong kaum buruh dapat menjalankan perusahaan dan mengendalikan produktivitas. Disamping itu, solidaritas buruh mampu mempengaruhi kinerja Serikat Buruh agar dapat mempengaruhi syarat- syarat kerja dan pembayaran upah dan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Gerakan –gerakan solidaritas didalam lingkup model kerja “fleksibel –solidaritas tak pernah boleh berarti tertutup bagi dialog dan kerjasama dengan pihak pemodal. Buruh dan pemilik modal itu bekerjasama untuk menghasilkan barang produksi, demi keuntungan bersama, baik untuk buruh maupun pemilik modal itu maupun masyarakat luas.

Solidaritas di lingkup kerja yang fleksibel mampu membentuk sikap saling percaya. Saling percaya adalah salah satu kunci yang patut diusahakan agar kerjasama dapat terjalin dengan baik. Saling percaya dalam hubungan kerja yang fleksibel, diharapkan membawa kerjasama itu menjadi hal yang sungguh saling menguntungkan.

Model Serikat Buruh

Apakah buruh dengan model kerja “fleksibel” (kontrak & outsourcing) perlu berserikat sebagai bentuk perlawanan terhadap model kerja yang “fleksibel”? Secara umum, buruh kontrak & outsourcing memiliki hak yang sama dengan buruh tetap, salah satunya berhak mendirikan serikat atau bergabung dengan serikat yang ada. Berdasarkan hak tersebut, buruh kontrak & outsourcing bangun dari tidur, memikirkan serikat buruh/organisasi buruh sebagai alat/ kendaraan untuk memperjuangkan hak – haknya sebagai buruh.

Taktik berserikat buruh kontrak & outsourcing didasarkan pada beberapa pengandaian. Pertama, bahwa buruh – buruh kontrak & outsourcing sadar akan persoalannya dan mau berbagi waktu untuk bertemu, untuk bertukar ide diantara mereka untuk keluar dari kesulitan hidup. Sadar bahwa buruh dengan model kerja yang fleksibel masuk dalam sistem fleksibisasi pasar kerja yang menjadi kebutuhan bagi peruhasaan agar tetap mendapat keuntungan modal yang besar. Membangun kekuatan kolektif buruh di tingkat basis, yakni serikat buruh yang berbasis buruh dengan model kerja yang fleksibel. Peran advokasi serikat buruh adalah memberikan pendidikan dan pelatihan penyadaran bagi anggotanya.

Kedua, serikat buruh yang berbasis buruh kontrak & outsourcing memiliki model kepengurusan dan pola kerja yang relative lentur – dinamis, dan tidak struktur kaku, secara hirarkis seperti serikat buruh pada umumnya. Dengan cara menguatkan komunikasi antara mereka berdasarkan jaringan kerja. Setiap anggota menjadi jembatan dan dinamisator organisasi.

Ketiga, Serikat buruh yang berbasis kenggotaanya pada individual buruh (bukan tingkatan pabrik seperti serikat buruh umumnya) memiliki/terbangunnya daya ikat , yakni keanggotaan menjadi anggota koperasi (credit union), sebagai entry point terbentuknya serikat buruh.

Keempat, bahwa serikat yang beranggotakan pada individu buruh harus berfokus pada persoalah kerja buruh kontrak & outsourcing. Maka peran advokasi pada mengatasi rendahnya upah, keberlanjutan kerja buruh kontark & outsourcing, dengan cara membuat negosiasi dan perundingan (sampai pada tingkat perjanjian – red) dengan pihak penyedia tenaga kerja, pengguna tenaga kerja serta pihak pemerintah.

Kelima , serikat buruh yang memiliki anggota yang bekerja pada model kerja “fleksibel”, sewaktu – waktu berakhir kontraknya, harus memiliki sistem dana bantuan bagi buruh yang menganggur sementara waktu. Maka sistem jaminan social merupakan suatu instrument kebijakan yang terbuka bagi buruh yang bersangkutan untuk mendapatkan perlindungan social dari negara. Peran advokasi serikat buruh mendesak pemerintah baik pusat maupun daerah agar sistem jaminan social diletakan sebagai bagian dari sistem perlindungan social yang mencakup pada buruh dengan model kerja fleksibel.

Keenam, serikat buruh yang beranggotakan buruh kontrak & outsourcing yang dituntut dapat melakukan pekerjaan, mampu melakukan serangkaian pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan (skill), tujuannya untuk menjamin keberlangungan pekerjaan dan meningkatkan daya tawar di pasar kerja. Peran advokasi serikat buruh adalah mendesakan program ketrampilan (skill) bagi anggotanya pada pemerintah. Penyediaan pelatihan ketrampilan ( skill) adalah mutlak bagi buruh model kerja yang fleksibel untuk dapat meningkatkan posisi tawar buruh yang bersangkutan di pasar kerja.

Ketujuh, serikat buruh yang berbasis individual buruh memiliki batas umur dipekerjakan di pabrik, 35 tahun batas usia kerja produktif sebagai buruh kontrak dan outsourcing. Serikat buruh harus memiliki program alih profesi (banting stir: dari bekerja pada orang lain menjadi memiliki usaha sendiri- red). Peran serikat buruh mampu mengubah mindset dari buruh menjadi entrepreneurship (menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri- red)

Penutup

Sudah saatnya, perubahan model kerja “tetap” menjadi model kerja “fleksibel” dan berakibat perubahan bentuk dari buruh tetap menjadi buruh kontrak & outsourcing, mengembangkan solidaritas dan mengorganisasi diri untuk menatap masa depan terciptakan hubungan industrial yang berkeadilan dan bermartabat serta berkelanjutan.

(***)

Bacaan Pilihan:

  1. BPB LDD KAJ – SPIS – Kom PSE Bogor, 2009 , “Memahami Petaka Fleksibilisasi : Kepastian Kerja Sebagai hak Publik”, hasil riset merupakan kerjasama antara LDD, PSE Bogor, SPIS, KBC, KBB- Bogor, Gesburi- Bekasi, FSBS Serang.
  2. Hari Nugroho & Tjandraningsih, 2007, “Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara” (Nugroho & Tjandraningsih, merupakan hasil kerjasama antara : LIPS-Bogor, LabSosio UI-Depok, AKATIGA-Bandung, dan Perkumpulan PraKarsa-Jakarta.
  3. Indah Saptorini & Jafar Suryomenggolo, 2007, “Kekuatan Sosial Serikat Buruh”, Discussion Paper No. 4, TURC, Jakarta.
  4. PSE/APP – LDD KAJ – PSE KWI, 2007, “Berbuat demi Kesejahteraan Bersama”, Jakarta.

Selasa, 03 Agustus 2010

Menakar Kesejahteraan Buruh


Oleh: L. Gathot Widyanata

Buruh menjadi sejahtera: dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, mendapatkan kepastian kerja, upah yang baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan.

Veronika Y. Susanti, buruh pabrik asal Wonogiri Jawa –Tengah. Vero baru saja di-PHK dari PT. Jabatek- Doyong Tangerang dan mendapat pekerjaan baru di PT. Dwi Warna, Jl. Pasar Kemis Raya Tangerang. Baru setengah bulan bekerja ditempat yang baru, Vero harus menanggung cost produksi. Ia harus mengganti jarum yang patah, begitu juga kain yang rusak. Sebagai buruh borongan , Vero dibayar Rp. 400.000,- per bulan. Sering kali, ia tidak membawa uang sepeserpun ketika puluhan jarum patah dan beberapa lembar kain rusak.

Realita buruh di atas, tidak hanya dialami oleh Vero, namum kondisi tersebut juga dialami oleh buruh yang berstatus kontrak & outsorcing. Belajar dari pengalaman di atas, - ada dua fakta yang mempersulit buruh meraih kesejahteraan : Pertama, upah yang diterima Vero sebesar Rp. 400.000,- dibawah Upah Minimum Kabupaten Tangerang. Kedua,status kerja borongan merupakan konsekuensi sistem fleksibilitas hubungan kerja.

Buruh menjadi sejahtera; dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan,kesehatan, ada jaminan hari tua. Disampaing itu, buruh mendapatkan kepastian kerja, upah yang lebih baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan. Serta buruh bisa bekerja dengan tenang dan produktif.

Sejak krisis moneter tahun 1998 dan krisis finansial dunia tahun 2008, buruh semakin mengalami ketidakpastian kerja, bahkan ketidakpastian pendapatannya. Ketidakpastian kerja diakibatkan oleh langkah efesiensi perusahaan untuk menekan ongkos produksi. Efisiensi ongkos produksi yang dilakukan oleh perusahaan , tidak hanya mematok upah buruh dengan UMP (Upah Minimum Propinsi) & biaya perbaikan mesin saja atau kerusakan hasil produksi tetapi terkait juga dengan tenaga kerja, yakni perubahan status kerja tetap menjadi kontrak- outsorcing.

Upah Minimum Buruh

Peningkatan kesejahteraan & tingkat kemiskinan buruh sangat bergantung pada tingkat UMP/K (Upah Minimum Propinsi/Kabupaten). UMP/K adalah strategi pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan, dengan menghitung kebutuhan dasar. Peningkatan UMP/K tidak selalu berarti peningkatan upah
minimum riil, yaitu upah yang disesuaikan dengan biaya hidup dihitung dengan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Menurut UU No. 13/2003, upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Menurut data Dewan Pengupahan DKI tahun 2009 nilai UMP berdasarkan KHL dari tahun 2007 – 2009 sebagai berikut: UMP DKI Jakarta 2007 sebesar Rp 900.560 atau mencapai 90,78 persen dari nilai KHL sebanyak Rp 991.988. UMP 2008 sebesar Rp 972.604 atau mencapai 92,17 persen dari nilai KHL sebanyak Rp 1.055.275. Berdasarkan kondisi tersebut maka besar UMP DKI Jakarta pada 2009 seharusnya di atas 92,17 persen dari KHL sebesar Rp 1.314.059. Berapa besaran riil UMP 2009 masih harus memperhatikan faktor produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Dari data statistik BPS, diketahui produktivitas pekerja di DKI Jakarta secara agregat mengalami pertumbuhan positif 6,6 persen dari tahun sebelumnya. Sedang pertumbuhan ekonomi sampai dengan kuartal dua tahun 2008 mencapai 6,20 persen. Data tersebut merupakan sinyal positif yang memungkinkan penetapan upah minimum mendekati nilai KHL.

Menurut BPS, berdasarkan penghitungan Maret 2008, seorang penduduk DKI Jakarta dikategorikan miskin apabila pendapatannya hanya Rp 290.268/kapita/bulan. Kriteria kemiskinan ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan internasional yang mematok pendapatan minimal 1 sampai 2 dolar AS/kapita/hari atau Rp 300.000 sampai Rp 600.000 pada kurs dolar Rp 10.000.

Dengan menggunakan kriteria BPS, pada pertengahan 2009 batas pendapatan untuk mengukur garis kemiskinan diperkirakan menjadi Rp 350.000/kapita/bulan. Dengan asumsi setiap rumah tangga terdiri dari empat anggota maka pendapatan rumah tangga yang kurang dari Rp 1.400.000 masuk dalam kategori miskin. Upah sebesar Rp 1.069.865 mungkin saja masih cukup untuk memenuhi kebutuhan paling dasar seorang pekerja lajang, namun apabila pekerja tersebut sudah menikah dan memilki anak maka kehidupannya dipastikan tidak layak dan berpotensi menimbulkan masalah sosial (Gibson Sihombing 2009).

Dengan demikian , secara sengaja pemerintah membiarkan buruh dan keluarganya hidup tidak layak karena akan menerima upah yang jauh dari disebut layak, terutama para buruh kontrak dan outsourcing. Dan angka kemiskinan pada 2009 akan semakin bertambah yang berimplikasi pada masalah sosial.

Kebijakan Fleksibilitas & Ketidakpastian Kerja

Badan Pernacanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2004 melalui white papernya, telah merekomendasikan kebijakan pasar kerja yang fleksibilitas untuk meningkatkan investasi, mengurangi angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan.

Kebijakan tersebut kemudian dituangkan dan dilegalisasi dalam UU 13/2003 dan Kepmen 100/2004 tentang Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT) maupun Kepmen 101/2004 tentang lembaga outsorcing.

Kebijakan efesiensi perusahaan tidak hanya diterapkan pada cost produski, tetapi dikenakan pada hubungan kerja. Pengusaha menganggap buruh hanya sebagai sumber biaya, bukan sumber daya perusahaan untuk mencari keuntungan. Pengusaha akan selalu berupaya agar dalam kegiatan ekonominya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk maksud tersebut, pengusaha menekan biaya tenaga kerja.

Efesiensi biaya produsi terkait dengan tenaga kerja natara lain : (1) Perampingan jumlah tenaga kerja (downsizing) dengan PHK massal. (2) Mengubah status buruh tetap menjadi buruh kontrak dengan melakukan pemutihan. (3) Merekrut hampir seluruh tenaga kerja dengan status kontrak. (4) Mengurangi biaya jaminan sosial bagi buruh. (5) Mengurangi jam kerja dan jam lembur. (6) Menghilangkan aneka tunjangan bagi buruh di produksi. (Laporan KBC , tahun 2009).

Sejak diberlakukan UU No. 13 Tahun 2003 terjadi perubahan yang signifikan status kerja, dari status kerja tetap menjadi status kerja kontrak & outsorcing. Perubahan status kerja tersebut menjadi kendala besar bagi buruh untuk mencapai kesejahteraan.

Akibat dari perubahan (buruh tetap menjadi buruh kontrak ) tersebut adalah soal ketidakpastian kerja. Ketika menjadi buruh tetap mendapat proteksi, namun menjadi buruh kontrak & outsorcing proteksi yang pernah dinikmati hilang. Komponen utama ketidapastian kerja yang dialami oleh sebagain besar buruh adalah kehilangan hak atas kepastian pendapatan dan hak atas berorganisasi dan melindungi diri.

Hinglangnya hak atas kepastian pendapatan ditandai oleh berkurangnya sumber penghidupan buruh. Sejak berlaku kebijakan fleksibilisasi, upah menjadi berkurang, kepastian periode kerja tidak menentu dan tunjangan-tunjangan dihapuskan. Sedangkan hilangnya sumber penghidupan lebih karena PHK di pabrik semakin mudah dilakukan dan hal itu tidak langsung berkaitan dengan kinerja personal. PHK terjadi lebih sering disebabkan oleh motif anti serikat buruh, penggantian status tetap menjadi kontrak dan perusahaan tutup. (Hasil Riset LDD, SPIS, PSE Bogor, tahun 2009).

Hancurnya Serikat Buruh

Sejak lahirnya UU No. 21/2000 tentang “Kebebasan Berserikat”, secara politik buruh mulai menikmati iklim kebebasan berserikat baik di tingkat perusahaan. Iklim kebebasan berserikat berdampak menjamurnya serikat buruh, bahkan di tingkat perusahaan dapat berdiri dari 2 atau 3 serikat buruh.

Disatu sisi, buruh mengalami kebebasan berserikat, di sisi lain serikat buruh mengalami kehancuran karena berlakunya fleksibilitas hubungan kerja di tingkat perusahaan. Praktek fleksibilisasi yang dikemas dan dibungkus dalam munculnya lembaga outsorcing. Akibat langsung yang diterima oleh buruh adalah tergerusnya kekuatan kolektivisme dan pergeseran pola hubungan industrial yang semakin mengedepankan individualisasi.

Perubahan signifikan yang dialami serikat buruh akibat perubahan status kerja dari tetap menjadi kontrak yang teridentifikasi di lapangan antara lain. Pertama, penurunan sejumlah besar anggota yang dengan sendirinya turut menurunkan kekuatannya. Kedua, serikat buruh mengalami krisis peran kolektifnya, tidak mampu memperjuangkan hak – hak buruh ( hasil riset LDD, Spis, PSE Bogor 2009).

Komersialisasi Buruh

Secara politis benturan antara fleksibilisasi di satu pihak dan desentralisasi di pihak lain ternyata melemparkan buruh ke dalam rimba yang disebut sebagai komodifikasi atau komersialisasi

Berbeda kondisi yang dialami tahun 1990-an, buruh untuk mendapat pekerjaan bisa langsung dengan pihak perusahaan. Meskipun lewat perekrut tenaga kerja, buruh tidak dipotong upahnya, sedangkan perekrut tenaga kerja mendapat vie dari pihak perusahaan pengguna tenaga kerja.

Fleksibilisasi diberlakukan pada tenaga kerja sisi supply. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja, kapasitas produksi dan jenis pekerjaannya. Permintaan yang demikian, membuka bisnis perekrut tenaga kerja. Perekrut tenaga kerja bentuk bisa CV, Yayasan, tidak jarang memakai oknum tenaga kerja.

Sejak 6 tahun terakhir ini, selain akses kesempatan kerja makin sempit, juga harus merelakan sejumlah uang antara 500 ribu-1 juta kepada lembaga outsorcing untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jahit di pabrik garmen dengan status kontrak 3 bulan. Setelah dikontrak 3 bulan, upah yang diterima sebesar 70% dari kontrak yang ditandatangani. Sedangkan sisanya 30% diterima oleh perekrut tenaga kerja.

Berkurangnya Peran Negara

Posisi tawar dan kekuatan politik buruh semakin lemah dalam beragam kebijakan politik dan politik ekonomi. Negara (pemegang kuasa) lebih menuruti keinginan para pemodal untuk menekan hak politik kaum buruh. Kebijakan ekonomi yang ada, sedang dan akan menuju ke arah liberalisasi di mana mekanisme pasar menjadi rujukan. Sementara, kebijakan ekonomi dibidang ketenagakerjaan didorong untuk masuk ke dalam arena kompetisi di mana peran pemerintah dikurangi seminim mungkin.

Faktanya, paket UU ketenagakerjaan UU 21/2000; UU 13/2003 dan UU 2/2004 dipandang sebagai kebijakan yang lebih ke arah liberal karena diikuti dengan lenyapnya unit-unit proteksi yang sebelumnya diperoleh buruh.

Argumen utama pemerintah atas berlakunya UU tersebut adalah untuk menarik investasi, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produkstifitas, menaikkan status sektor informal ke sektor formal, mengurangi pengangguran dan kemiskinan (Bappenas, 2003).

Perubahan signifikan yang dapat dibaca akibat dari fleksibilisasi tersebut adalah soal ketidakpastian kerja oleh karena hilangnya proteksi yang sebelumnya pernah dinikmati. Komponen utama ketidapastian kerja yang dialami oleh sebagain besar keluarga buruh adalah kehilangan hak atas kepastian pendapatan dan hak atas berorganisasi dan melindungi diri.

Buruh Mendapatkan Kepastian Kesejahteraan

Dalam UUD 45 disebutkan peran negara untuk menjaga hak warga –negaranya (termasuk buruh) untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, masalah lambatnya pertumbuhan ekonomi dan hilangnya lapangan kerja pertama-tama bukanlah tanggung jawab buruh, pun bukanlah tanggung jawab pengusaha, melainkan negara.

Dalam paper hasil riset 3 lembaga (LDD , Spis , PSE Bogor) 2009 menampilkan pemikiran ekonom Guy Standing untuk menjamin hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi, sebagai berikut:

Ekonom Guy Standing (2002) menyebutkan bahwa hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi perlu disokong oleh jaminan sosial dasar yang menyangkut akses soal jaminan kesehatan, infrastruktur, pendidikan, tempat tinggal, informasi dan perlindungan sosial lainnya. Sedangkan hak yang berkaitan dengan kepastian kerja terdiri dari beberapa komponen dan sekaligus dapat sebagai indikator dasar bagi kerja yang layak (decent work). Komponen-komponen tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.

Pertama, kepastian pendapatan (income security) yakni kecukupan dasar dan absolut terhadap kebutuhan dasar yang diperoleh dari pendapatan atau upah maupun bentuk-bentuk jaminan sosial yang lainnya. Kepastian ini bukan saja berlaku pada periode masih bekerja tetapi juga ketika sudah tidak bisa bekerja (retirement). Mekanisme kepastian pendapatan ini secara klasik meliputi pengawasan pengupahan, indeksasi upah, jaminan sosial menyeluruh dan pajak progresif.

Kedua, jaminan keterwakilan (representation security) yang meliputi keterwakilan individual maupun kolektif dalam konteks perlindungan hukum. Keterwakilan individu menunjuk pada hak-hak individu yang dijamin dalam UU sebagaimana akses individu terhadap institusi. Sedangkan keterwakilan kolektif merujuk pada hak beberapa individu maupun kelompok untuk diwakili oleh dan atas nama organisasi yang lebih besar, lebih independen dan lebih kompeten. Keterwakilan tersebut dalam rangka pelindungan dan pangawasan misalnya upah, kondisi kerja dan praktek-praktek perburuhan lainnya.

Ketiga, kepastian pasar kerja (labour market security) yang dimengerti sebagai ketersediaan dan kecukupan kesempatan kerja yang dijamin oleh negara.

Keempat, perlindungan tenaga kerja (employment security) yakni perlindungan terhadap pemecatan, aturan tentang rekrutmen dan pemberhentian.

Kelima, jaminan pekerjaan/jabatan (job security) yakni merujuk pada harapan akan jenjang karir, batasan keahlian maupun adanya kualifikasi jabatan.

Keenam, jaminan perlindungan di tempat kerja (work security) jaminan terhadap kecelakaan maupun penyakit akibat kerja melalui aturan K3, pembatasan waktu kerja dan penghindaran kerja malam bagi perempuan.

Ketujuh, jaminan peningkatan ketrampilan (skill reproduction security) melalui perluasan kesempatan untuk peningkatan ketrampilan, magang maupun pelatihan tertentu.

Penutup

Buruh menjadi sejahtera; dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, ada jaminan hari tua). Buruh mendapatkan: kepastian kerja, upah yang baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan. Buruh bekerja lebih tenang dan produktif.

Pengusaha lebih untung dan aman melanjutkan dan mengembangkan usahanya. Pemerintah berhasil melaksanakan tugasnya untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Daftar Pustaka:

1. FPBN & Aliansi Serikat Buruh Wilayah Barat, “Mewujudkan Kepastian Kerja” , Kampanye FAIR 2007.

2. Riset 3 Lembaga (LDD, Spis, PSE Bogor), “Memahami Malapetaka Fleksibilisasi :Kepastian Kerja Sebagai Hak Publik”, April 2009.

3. Sumartono, M, “Industri Post- Fordisme dan Fleksibilisasi Hubungan Kerja”, Jurnal FPBN: No.1, Mei – Oktober 2004.

Mimpi Kita


Oleh: L. Gathot Widyanata

Saat ini, ada perubahan dunia kerja dari model kerja ‘tetap’ diganti model ‘fleksibel’ di tingkat perusahaan. Dalam kerja ‘tetap’ maksudnya adalah model kerja dimana perusahaan memberikan kerja jangka panjang bagi si buruh dan demikian dapat menjamin terjadinya promosi jabatan di dalam perusahaan. Dalam model kerja ‘fleksibel’, buruh dituntut untuk lebih lentur dalam melakukan pekerjaan, tidak tersekat oleh rincian kerja (Job description) yang kaku, dan diharapkan mampu beradaptasi lebih cepat dengan perubahan – perubahan.

Model kerja ‘fleksibel’, kalau dilihat dari durasi masa kerja: jangka pendek dan rotasi kerja. Bentuk model kerja ‘fleksibel’ adalah kontrak & outsourcing. Sistem kerja ‘fleksibel’ mematahkan kerja kolektif menjadi hubungan kerja yang lebih individual. Buruh yang terjebak dalam model kerja ‘fleksibel’ memiliki karakter yang terpenting dapat bekerja (employability security) dan buruh dituntut dapat dapat melakukan berbagai pekerjaan (multi skill & job).

Logika pasar memberikat alas an, mengapa perusahaan menggunakan model kerja ‘fleksibel’? Penggunaan buruh kontrak & outsourcing menjadi cara perusahaan mencapai efesiensi. Penggunaan buruh kontrak & outsourcing dari pada buruh tetap, dipercaya mampu menghemat biaya produksi perusahaan. Namun lebih jauh, perusahaan menggunakan buruh kontrak dan outsourcing sesungguhnya salah satu cara majikan melakukan control pengawasan terhadap para buruh (Standing, 2000).

Perubahan model kerja ‘tetap’ menjadi model kerja ‘fleksibel’ merupakan bentuk strategi pemecah belah persatuan buruh. Ketika hubungan kerja yang berhadap- hadapan (individual- red) perjuangan buruh mudah dipatahkan, baik ditingkat perundingan dan PHI( Pengadilan Hubungan Industrial).

Kini banyak terdapat buruh kontrak, bahkan buruh outsourcing merajalela di berbagai perusahaan manufaktur di Indonesia. Sistem hubungan kerja yang ‘fleksibel’ menghacurkan kekuatan kolektif buruh. Banyak serikat buruh belum menerima dan mengorganisir buruh kontrak & outsourcing. Buruh kontrak & outsourcing enggan untuk membangun kekuatan secara kolektif ( organisasi buruh/serikat buruh) – red) dengan alas an takut kehilangan pekerjaan.

Apakah buruh kontrak & outsourcing perlu berserikat sebagai bentuk perlawanan terhadap model kerja ‘fleksibel’? secara umum, buruh kontrak & outsourcing memiliki hak yang sama dengan buruh tetap, salah satunya berhak mendirikan serikat atau bergabung dengan serikat buruh yang ada. Berdasarkan hak tersebut, buruh kontrak & outsourcing bangun dari tidur, memikirkan serikat buruh/organisasi buruh sebagai alat atau kendaraan untuk memperjuangkan hak – haknya sebagai buruh.

Model Serikat Buruh

Taktik berserikat buruh kontrak & outsourcing didasarkan beberapa pengandaian. Pertama, bahwa buruh – buruh kotrak & outsourcing sadar akan persoalannya dan mau berbagi waktu untuk bertemu, untuk bertukar ide deiantara mereka untuk keluar dari kesulitan hidup.

Kedua, serikat buruh yang berbasis buruh kontrak & outsourcing memiliki model kepengurusan dan pola kepengurusan dan pola kerja yang relative lentur- dinamis, dan tidak struktur kaku, secara hirarkis seperti serikat buruh pada umumnya. Dengan cara menguatkan komunikasi antara mereka berdasarkan jaringan kerja. Setiap anggota menjadi jembatan dan dinamisator organisasi.

Ketiga, serikat buruh yang berbasis keanggotaannya pada individual buruh (bukan tingkatan pabrik serikat buruh pada umumnya) memiliki dan terbangunnya daya ikat, yakni keanggotaan menjadi anggota koperasi (credit union).

Keempat, bahwa serikat yang beranggotakan pada individu buruh harus berfokus pada persoalan kerja buruh kontrak & outsourcing. Maka peran advokasi pada mengatasi rendahnya upah, kerberlanjutan kerja buruh kontrak & outsourcing, dengan cara membuat negosiasi dan perundingan ( sampai pada tingkat perjanjian- red) dengan pihak penyedia tenaga kerja, pengguna tenaga kerja serta pihak pemerintah.

Kelima, serikat buruh yang memiliki anggota yang bekerja pada model kerja ‘fleksibel’, sewaktu – waktu berakhir kontraknya, harus memiliki system dana bantuan bagi buruh yang menganggur sementara waktu.

Keenam, serikat buruh yang beranggotakan buruh kontrak & outsourcing yang dituntut dapat melakukan pekerjaan, mampu melakukan serangkaian pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan (skill), tujuannya untuk menjamin keberlangsungan pekerjaan dan meningkatkan daya tawar di pasar kerja.

Ketujuh, serikat buruh yang berbasis individual buruh memiliki batas umur dipekerjaankan di pabrik, 35 tahun batas usia kerja produktif sebagai buruh buruh kontrak & outsourcing. Serikat buruh harus memiliki program alih profesi (banting stir: dari bekerja pada orang lain menjadi memiliki usaha sendiri- red). Peran serikat buruh mampu mengubah mindset dari buruh menjadi entrepreneurship (menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri- red).

Penutup

Sudah saatnya, perubahan model kerja ‘tetap’ menjadi model kerja ‘fleksibel’ dan berakibat perubahan bentuk dari buruh tetap menjadi buruh kontrak & outsourcing, mengorganisasi diri untuk menatap masa depan terciptanya hubungan industrial yang berkeadilan dan bermartabat serta berkelanjutan. ( Penulis, bekerja di Biro Pelayanan Buruh LDD- KAJ)