Minggu, 28 Maret 2010

Makin Terkikisnya Daya Tawar Pekerja

Oleh LUHUR FAJAR MARTA


Catatan Redaksi: “Makin Terkikisnya Daya Tawar Pekerja” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 47 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.

Kompas, Jum’at, 26 Maret 2010

Selepas krisis ekonomi, perekonomian Indonesia terus tumbuh positif dengan rata-rata 4,6 persen per tahun. Jika setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 400.000-500.000 tenaga kerja, secara kumulatif pertumbuhan ekonomi selama periode 1999-2009 seharusnya mampu menghapuskan pengangguran.

Kenyataan yang terjadi tidak demikian. Data statistik mengindikasikan beratnya iklim pasar tenaga kerja saat ini. Dari survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk berusia 15 tahun ke atas telah mencapai lebih dari 168 juta jiwa pada tahun 2009. Kelompok penduduk ini dikategorikan sebagai penduduk produktif, artinya masuk dalam usia kerja. Jumlah tersebut seperlima lebih banyak dibandingkan dengan satu dekade lalu, yaitu sekitar 141 juta jiwa.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk usia kerja, jumlah angkatan kerja juga meningkat dalam 10 tahun terakhir. Proporsi angkatan kerja memang hanya bergeser sedikit, dari 67,2 persen menjadi 67,6 persen. Sebaliknya, pengangguran terbuka justru meningkat dari 6,4 persen menjadi 8,1 persen.

Kondisi memprihatinkan justru terjadi di wilayah pedesaan: terjadi penurunan partisipasi angkatan kerja dan peningkatan pengangguran terbuka. Partisipasi angkatan kerja menurun dari 76,2 persen menjadi 70,3 persen, sedangkan pengangguran terbuka meningkat dari 3,8 persen menjadi 6,4 persen. Ini menunjukkan adanya kemerosotan kegiatan ekonomi di pedesaan dalam 10 tahun terakhir.

Kondisi ini mendorong terus mengalirnya angkatan kerja dari desa ke kota. Hasilnya, daya tawar mereka semakin menurun. Ini adalah konsekuensi logis dari melimpahnya angkatan kerja, sementara tingkat penyerapan masih relatif rendah.

Dalam kondisi tersebut, perusahaan atau produsen, sebagai pihak yang meminta tenaga kerja, memiliki posisi tawar lebih unggul dibandingkan dengan para pekerja atau calon pekerja. Pengusaha mempunyai banyak pilihan tenaga kerja. Implikasinya, perusahaan bisa menekan biaya atau upah tenaga kerja.

Sistem outsourcing, yang memungkinkan perusahaan mempekerjakan seseorang tanpa memberi kepastian status, mungkin merupakan gagasan terbaik untuk menekan biaya yang dapat diimplementasikan secara masif dalam dekade terakhir. Berlimpahnya angkatan kerja dan terbatasnya kebutuhan akan tenaga kerja, seperti di Indonesia, memberi iklim sangat kondusif bagi berkembangnya sistem ini.

”Tangan-tangan yang tidak terlihat” dalam mekanisme pasar bebas bekerja efektif menjaga supremasi perusahaan atas pekerja. Betapapun besarnya resistensi atas sistem outsourcing seperti diindikasikan hasil jajak pendapat Kompas pada akhir Februari lalu, tidak bisa menghambat menjamurnya sistem ini.

Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan, sekitar 63 persen dari responden yang bekerja di perusahaan swasta meyakini sistem outsourcing tidak memberi kepastian status bagi tenaga kerja. Selain itu, sebagian besar (68 persen) dari mereka juga menolak sistem ini memberi kebebasan atau fleksibilitas bagi tenaga kerja. Ini memperlihatkan sebagian besar pekerja, terutama di perusahaan swasta, merasa sistem outsourcing umumnya cenderung merugikan mereka. ”Kebebasan tidak didapat, status pun tidak jelas,” ujar seorang pekerja yang menjadi responden.

Jargon tak bermakna

Lalu, apakah masa depan tenaga kerja Indonesia sedemikian suramnya? Bisa iya, bisa tidak. Jika pertumbuhan ekonomi ke depan mampu mengabsorbsi pertumbuhan angkatan kerja, penghapusan pengangguran adalah hal yang pasti dan tinggal menunggu waktu. Namun, jika kualitas pertumbuhan masih seperti 10 tahun terakhir, pengurangan pengangguran hanyalah jargon tak bermakna.

Perekonomian Indonesia masih berkutat pada rentannya pertumbuhan ekonomi karena sangat bergantung pada konsumsi. Secara riil, konsumsi rumah tangga dan pemerintah berkontribusi sekitar 65 persen terhadap perekonomian. Sedangkan kegiatan investasi atau akumulasi modal yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian hanya memberi kontribusi sepertiga dari kontribusi konsumsi.

Rendahnya kualitas angkatan kerja Indonesia juga masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Lebih separuh angkatan kerja yang berjumlah 114 juta jiwa belum menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Bahkan, sekitar 5,8 juta jiwa di antaranya sama sekali belum pernah mengenyam bangku sekolah dan mereka lebih terkonsentrasi di pedesaan.

Dengan pendidikan—baik dari sisi keilmuan maupun keterampilan—yang meningkat, tenaga kerja memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mengakses pasar tenaga kerja di luar Indonesia. Dengan demikian, ketergantungan mereka terhadap pasar tenaga kerja di dalam negeri akan berkurang.

Jendela kesempatan

Sebagian besar negara di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan, dan China telah membuktikan bahwa investasi dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Mereka memanfaatkan suatu masa yang disebut jendela kesempatan untuk meningkatkan akumulasi modal.

Jendela kesempatan merupakan suatu masa di mana penduduk produktif mendominasi struktur penduduk. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskannya sebagai sebuah era dengan proporsi penduduk di bawah 15 tahun, maksimal 30 persen, dan di atas 65 tahun, maksimal 15 persen dari jumlah seluruh penduduk. Umumnya, jendela kesempatan ini berlangsung sekitar 30 hingga 40 tahun.

Pada masa jendela kesempatan, pengeluaran untuk menghidupi anak-anak akan menurun sehingga tabungan rumah tangga meningkat. Jika optimal, tabungan tersebut bisa dialokasikan untuk investasi. Investasi yang meningkat akan mendorong kegiatan produksi yang artinya meningkatnya kegiatan ekonomi. Ini menjadi dasar kokoh bagi negara-negara yang saat ini menyandang sebutan negara maju untuk mengambil bonus demografi berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Indonesia sendiri, oleh sejumlah ahli demografi, diperkirakan akan mulai memasuki masa jendela kesempatan pada tahun 2020. Jika kesempatan langka ini gagal dimanfaatkan, peluang memperbaiki kesejahteraan pekerja melalui percepatan kegiatan ekonomi akan semakin kecil. Keberhasilan mengambil bonus demografi seperti halnya negara-negara maju sangat bergantung pada persiapan yang dibuat sekarang. Dalam konteks ini persoalan kualitas sumber daya manusia menjadi krusial. Peningkatan kualitas melalui pendidikan menjadi harga yang tidak bisa ditawar.

Persoalan sumber daya manusia tentunya bukan beban yang harus ditanggung pemerintah sendirian, melainkan bersama masyarakat. Pemerintah harus bertanggung jawab pada arah kebijakan sistem pendidikan agar bangunan-bangunan sekolah yang sebelumnya kosong karena ketiadaan guru dan murid bisa dihidupkan dengan kegiatan belajar mengajar.

Sejatinya, perubahan tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Jika tidak bisa diselamatkan, biarlah ketidakberdayaan yang dialami sebagian pekerja saat ini menjadi hikmah agar generasi sesudah mereka memiliki semangat menyiapkan diri lebih baik.

Rasanya sudah cukup jika keseriusan yang dirumuskan dalam lima belas prioritas program pemerintah terpilih untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia sungguh-sungguh diwujudkan. Bagi yang beruntung, pekerjaannya bisa menjadi sarana aktualisasi diri. Bagi sebagian yang lain yang menjadi pilihan bukan lagi pekerjaannya, melainkan apakah mau hidup dengan keringat sendiri atau bergantung pada belas kasih orang lain.

(Luhur Fajar Marta/ LITBANG KOMPAS)

Gelombang Pasang Pasar Bebas

Catatan Redaksi: “Gelombang Pasang Pasar Bebas” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 47 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.

Kompas, Jum’at, 26 Maret 2010

Sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja secara efektif membuat pekerja tak lebih sebagai barang dagangan. Dua tekanan besar mengimpit situasi itu, yakni keterbatasan lapangan kerja dan berlimpahnya tenaga kerja, di satu sisi, serta arus modal yang sangat dinamis di sisi lain.

Menurut Benny Hari Juliawan, gagasan pekerja sebagai komoditas merupakan perdebatan lama. Kandidat doktor di bidang politik perburuhan dari Universitas Oxford, Inggris, itu menyebut perdebatan itu antara ahli ekonomi neoklasik seperti Adam Smith dan Robert Malthus yang mewakili pendapat pekerja adalah komoditas dengan Karl Polanyi yang menolak keras posisi buruh sebagai komoditas.

Fleksibilitas pasar tenaga kerja (LMF), menurut Benny, didukung penganjur liberalisasi pasar yang basis argumennya ekonomi neoklasik. Intinya, intervensi kelembagaan akan menciptakan distorsi dan menahan optimalisasi efisiensi. Intervensi pemerintah di pasar kerja berpotensi menyebabkan kesalahan alokasi pekerja, pemborosan sumber daya oleh para pencari rente, mengganggu kemampuan menyesuaikan terhadap tekanan, menghalangi investasi, dan dengan sendirinya mengurangi tingkat pertumbuhan.

”Agen-agen tenaga kerja swasta merupakan instrumen utama tujuan efisiensi di Indonesia,” ujar Benny.

Mudah dan murah

LMF adalah cara mudah dan murah bagi perusahaan untuk mengatur jumlah pekerjanya. Menurut Benny, ”LMF berarti kebebasan bagi pengusaha untuk menarik dan menendang pekerja dalam waktu singkat, serta kebebasan mengambil tenaga kerja dari luar—melalui agen tenaga kerja—untuk mengerjakan sebagian atau semua pekerjaan yang ada (outsourcing).”

Analis ekonomi Wira Halim menjelaskannya secara lebih sederhana. ”Kalau untuk pegawai organik, pengusaha harus membayar gaji beserta seluruh tunjangannya dan harus menghadapi berbagai tuntutan. Kalau mengambil pekerja dari agen penyedia tenaga kerja sesuai kebutuhan, pengusaha bebas dari segala beban. Mereka hanya membayar gaji berdasarkan standar tertentu, seperti upah minimum.”

Jadi, perusahaan membuat kontrak untuk waktu tertentu dengan agen penyedia jasa tenaga kerja, kemudian agen itu melakukan kontrak dengan pekerja yang hendak dipekerjakan ke perusahaan yang sudah membuat kontrak. Kata Wira, tak jarang pemilik agen tenaga kerja adalah direktur perusahaan pengguna.

”Penggunaan sistem LMF menciptakan insentif baru dan kesempatan bagi berbagai aktor dalam masyarakat mengambil keuntungan dari kondisi pekerja yang kurang mendapat perlindungan dari kondisi tidak menentu setelah lengsernya rezim Soeharto,” ujar Benny.

Derivat liberalisasi

Praktik outsourcing adalah derivat liberalisasi, tegas pengamat ekonomi dari Universitas Atmajaya Jakarta, Dr Prasetyantoko. Sementara Wira melihat semua itu juga terkait dengan ketidakseimbangan antara jumlah lapangan kerja dan berlimpahnya tenaga kerja di satu sisi, serta perpindahan modal yang sangat dinamis dalam globalisasi.

Menurut Benny, kebijakan pasar kerja seperti itu dimulai pada akhir tahun 1970-an ketika Barat kesulitan menanggapi kesulitan ekonomi menyusul naiknya harga minyak mentah dunia. Tanggapan itu adalah perubahan besar dalam kebijakan ekonomi yang menghasilkan ortodoksi ekonomi baru—neoliberal—yang menekankan visi efisiensi melalui pasar yang mengatur dirinya sendiri. Peran negara adalah menjaga stabilitas moneter dan fiskal. Ortodoksi baru ini menggantikan negara kesejahteraan.

Liberalisasi pasar di Indonesia juga dipicu krisis ekonomi. Lembaga keuangan internasional memandang krisis sebagai kesempatan menguatkan kebijakan liberalisasi dan untuk membersihkan ”kapitalisme kroni” yang menjadi karakter ekonomi Indonesia dan negara-negara di Asia Timur lainnya saat itu.

Tahun 1997-2003, Dana Moneter Internasional (IMF) memaksakan agenda reformasi yang komprehensif kepada Indonesia sebagai bagian dari program talangan ekonomi. Program IMF itu mencakup lebih dari 500 persyaratan, sebagian besar terkait dengan kontrol inflasi, rekapitalisasi bank-bank gagal, dan privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara.

Bertahap

Liberalisasi pasar tenaga kerja di Indonesia terjadi bertahap. Pertama, menurut Benny, adalah menghapuskan peraturan-peraturan yang dinilai menghambat. Kekuatan proliberalisasi pertama-tama dinegosiasikan melalui kebijakan proburuh yang ada.

Kurang dari sebulan setelah berkuasa, pemerintah Habibie meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 87 mengenai Kebebasan Berserikat, tanggal 9 Juni 1998. Pada Mei 1999 pemerintah meratifikasi tiga konvensi ILO lainnya.

Pada Agustus 1998 pemerintah mengundang Misi Kontak Langsung ILO untuk membantu reformasi hukum perburuhan. Hasilnya tiga UU baru, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Dua UU baru terkait reformasi hukum perburuhan itu bersifat mendua. UU Serikat Pekerja merestorasi hak-hak politik pekerja, tetapi UU Ketenagakerjaan menuntut kompromi lebih besar dari serikat pekerja. UU baru itu juga memuluskan jalan bagi sistem LMF, khususnya soal kerja kontrak dan provisi outsourcing.

(MH) Implementasi

Meski sering dituding sebagai biang kerok liberalisasi pasar tenaga kerja, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut anggota Komisi IX DPR dari F-PDIP, Rieke Diah Pitaloka, sebenarnya telah memuat ketentuan tentang pengawasan untuk mengawal praktik-praktik di lapangan. Sayangnya, pengawasan itu tak berjalan efektif karena persoalan kuantitas dan kualitas pengawas.

”Rasio kebutuhan pengawas ketenagakerjaan idealnya satu untuk lima perusahaan dalam sebulan,” ujar Rieke, seraya menambahkan tingginya pelanggaran norma-norma ketenagakerjaan di Jawa Barat dan kecenderungan pengusaha mengubah sistem kerja tetap dengan sistem outsourcing dan kontrak.

”Di Jawa Barat ada 24.390 perusahaan, tetapi hanya ada 128 pengawas, jadi kurangnya 279. Dari 128 itu pun hanya 83 yang benar-benar ditempatkan sebagai pengawas ketenagakerjaan,” ia melanjutkan.

Tanpa pelindung

Sugeng Bahagianto dari Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) mengatakan, sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja (LMF) diterapkan tanpa ”bantalan”, yakni sistem jaminan sosial. Hal senada diungkapkan ekonom dari lembaga kajian ekonomi, perdagangan, dan industri Econit, Hendri Saparini, yang membandingkannya dengan sistem kesejahteraan di AS dan negara-negara Eropa.

Namun, Rieke mengingatkan pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melindungi pekerja pada khususnya dan warga negara pada umumnya dari sistem hasil ortodoksi ekonomi.

Sayangnya, UU itu belum diimplementasikan. Baru tahun ini DPR akan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.

Menurut Rieke, di ASEAN hanya Indonesia yang belum memiliki sistem jaminan sosial nasional meski diperkirakan pembahasan akan alot karena pertarungan berbagai kepentingan.

”Obama sampai menunda kedatangannya ke Indonesia karena mau mengawal proses pengesahan undang-undang mengenai reformasi sistem pelayanan kesehatan agar dapat menjamin asuransi kesehatan untuk semua warga negara,” kata Rieke.

(MH/NMP)

Ketika Tenaga Diperjualbelikan

Catatan Redaksi: “Ketika Tenaga Diperjualbelikan” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 46 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.

Kompas, Jum’at, 26 Maret 2010 | 04:11 WIB

Managing Director People Development Agency Consultant Sari Suharso mengeluhkan persaingan bisnis penyedia jasa tenaga kerja waktu tertentu atau lebih dikenal dengan istilah pekerja outsource yang semakin sengit. ”Klien sampai bisa mepetin anggaran mereka, yang membuat kami terpaksa terima karena kalau tidak, banyak perusahaan lain bersedia lebih rendah lagi,” kata Sari.

Pada intinya, perusahaan penyedia jasa tenaga kerja menjadi perantara antara pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan jasa tenaga kerja. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat sampai tahun 2007 ada 1.221 perusahaan penyedia jasa tenaga kerja paruh waktu yang tersebar di beberapa provinsi besar di Indonesia.

Klien pengguna jasa pekerja outsource sangat beragam, mulai dari lembaga perbankan, perusahaan sekuritas, manufaktur, retail, telekomunikasi, hingga perusahaan perkebunan dan pertambangan. Sektor yang paling banyak menggunakan jasa tenaga kerja lepas adalah perbankan, manufaktur, dan pertambangan. Jenis pekerjaannya pun beragam, mulai dari pekerjaan dasar seperti sopir dan petugas kebersihan hingga pekerjaan administrasi seperti teller dan customer service di bank.

People Development Agency (PDA) yang didirikan tahun 2004 bergerak di bidang human resources development dengan jasa yang disediakan mencakup manajemen perekrutan tenaga kerja, strategi pengembangan sumber daya manusia, operasional tenaga kerja, sampai kepada pelatihan tenaga kerja. Sari mengatakan, sejak didirikan pihaknya sudah memprediksi bahwa jasa outsourcing akan sangat dibutuhkan. ”Semakin banyak perusahaan yang memfokuskan pada pengembangan bisnis inti, sehingga kegiatan yang hanya bersifat penunjang diserahkan kepada pihak lain untuk mengelola,” jelasnya.

Porsi bisnis inti dan noninti ini masih mengundang perdebatan karena nyatanya banyak perusahaan mempekerjakan tenaga outsource untuk posisi cukup penting. Misalnya, posisi teller dan customer service di bank yang terkait langsung dengan bisnis inti.

Menurut Sari, ada dua tipe pekerjaan outsourcing, yaitu berupa penyedia jasa tenaga kerja (labour supply) dan penyedia seluruh layanan (full outsource). ”Full outsource berupa borongan pekerjaan, misalnya jasa penawaran kartu kredit yang sering kita lihat di mal. Pekerjaan ini mematok target jumlah account tertentu,” jelas dia.

Ia mengakui model outsourcing borongan memiliki kelemahan. ”Oleh karena itu, kami tidak mengambil pekerjaan jenis ini karena biasanya pekerja hanya berorientasi pada target. Sebagai contoh, bagi mereka yang penting dapat klien pengguna kartu kredit baru, masa bodoh apakah setelah itu bulan depannya konsumen menutup rekeningnya. Praktik yang begini juga merugikan bank,” papar Sari.

Efisiensi

Penasihat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Yanuar Rizky mencermati upaya menekan biaya operasi untuk mencapai profit sebesar-besarnya menjadi alasan utama semakin banyak perusahaan memilih pekerja outsource. Di sektor perbankan, opsi mengalihkan risiko bisnis kepada pihak lain menjadi hal lazim. Apalagi pascakrisis moneter tahun 1998, banyak bank lokal dibeli perusahaan asing. Sayangnya, bank-bank asing di Indonesia hanya berfungsi sebagai outlet. ”Kantor pusat tahunya sebagai cabang harus bisa mendatangkan profit. Akhirnya, bank pun akan sangat menghitung biaya operasi,” kata Yanuar.

Masalahnya, lanjut Yanuar, praktik penggunaan tenaga outsourcing di negara yang menjadi kantor pusat mereka adalah hal biasa. Sebab, di sana ada sistem jaminan sosial yang menjamin kesejahteraan pekerja outsource.

Sedangkan di Indonesia, pekerja outsource kerap diperlakukan sebagai tenaga berupah murah tanpa ada jaminan kepastian masa depan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja paruh waktu seharusnya berstatus sebagai pegawai tetap di perusahaan penyedia jasa. Namun, faktanya, banyak pekerja outsource yang juga berstatus sebagai pekerja tidak tetap. Di PDA misalnya, pekerja outsource berstatus sebagai tenaga kontrak.

”Mereka dikontrak setahun, berdasarkan aturan tenaga kerja boleh diperpanjang dua kali dengan total masa kerja maksimal tiga tahun,” kata Sari.

Adanya kecenderungan perusahaan pemakai jasa (vendor) memperlakukan pekerja outsource sebagai tenaga berupah murah diakui juga oleh Herlin Lestari, Direktur PT Mitra Langgeng Sejati, perusahaan penyedia tenaga outsource di Jakarta. Sebagai contoh, besaran gaji ditentukan beban kerja dan jenis pekerjaan, bukan tingkat pendidikan. Gaji yang diterima pekerja outsource untuk pekerjaan nonstaf dipatok mengikuti upah minimum regional (UMR) yang saat ini besarnya Rp 1.118.000 per bulan.

”Ada perusahaan yang menenderkan biaya yang menjadi hak pekerja, seperti iuran asuransi kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja, dan tunjangan hari raya. Kami inginnya yang ditenderkan adalah uang jasa (fee) vendor supaya hak pekerja tak dirugikan. Perusahaan pengguna sering salah mengartikan outsource sebagai seolah-olah tenaga kerja murah, padahal bukan begitu. Perusahaan pengguna harus membayar dengan baik karena sudah mendapat keuntungan dengan tidak usah pusing memikirkan urusan tetek bengek pekerja,” jelas Herlin.

Herlin mengakui, banyak vendor tidak terlalu peduli terhadap pengembangan tenaga kerja. Yang penting asal bisa mengajukan biaya murah. Ujung-ujungnya hak-hak pekerja, seperti upah, jaminan kesehatan, dan tabungan hari tua, diabaikan.

Menurut dia perusahaannya sengaja membatasi jumlah karyawan yang dikelola karena ingin mengedukasi karyawan dan juga pengguna jasa tentang jenis kerja ini agar karyawan merasa terlindungi. Harapannya, pengetahuan dan keterampilan pekerja yang meningkat akan meningkatkan kinerja pekerja. Dengan kemampuan yang semakin baik, pekerja outsource berkesempatan menjadi karyawan tetap di perusahaan pengguna. Menurut Herlin, 25 persen dari pekerja waktu tertentu yang disalurkan sudah direkrut menjadi karyawan tetap di perusahaan pengguna.

Peluang

Kemungkinan mendapatkan penghasilan di luar gaji pokok dan posisi sebagai karyawan tetap di perusahaan pengguna jasa memang terbuka bagi pekerja outsource. Santi, staf divisi sumber daya manusia di salah satu perusahaan penerbitan menyebutkan, pekerja outsource di bagian penjualan bisa mendapatkan komisi Rp 6 juta-Rp 7 juta sebulan. ”Ditambah gaji, yang kira-kira sebulan besarnya sekitar Rp 1,8 sampai Rp 2 juta,” ungkap Santi.

Namun diakui, fasilitas yang lain, yang didapatkan karyawan organik, tidak didapatkan oleh karyawan outsourcing. Jaminan keamanan kerja juga berbeda. Bagian penjualan misalnya, kalau kinerjanya tidak baik selama tiga bulan, langsung diganti. ”Tingkat turn-overnya tinggi,” kata Santi.

Tetapi, menurut Santi, juga ada karyawan outsource yang kinerjanya jauh lebih baik dari karyawan organik. ”Bebannya jadi lebih berat karena mengerjakan yang seharusnya dilakukan karyawan organik, padahal gaji mereka lebih kecil. Ini tidak fair.”

Tidak tertutup kemungkinan tenaga outsource diangkat menjadi karyawan tetap. Bank Mandiri, misalnya, memberi kesempatan pekerja outsource yang kinerjanya baik ikut proses seleksi. ”Prinsipnya, tenaga kerja outsource yang memiliki kinerja dan prestasi kerja baik dimungkinkan mengikuti proses seleksi penerimaan pegawai Bank Mandiri dan bagi yang diterima dapat meningkatkan kariernya di Bank Mandiri. Sebagai pegawai pihak ketiga, pengembangan kariernya diatur perusahaan masing-masing di mana mereka bekerja,” kata Senior Vice President Human Capital Strategy & Policy Bank Mandiri Sanjay Bharwani.

(DOT/NMP/MH)

Bola Salju Sistem "O utsource"

Catatan Redaksi: Bola Salju Sistem “Outsourcing” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 45 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.

Kompas, Jumat, 26 Maret 2010 | 04:13 WIB

Bekerja adalah cara manusia mendapatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sayangnya, bekerja tidak serta mengangkat harkat ketika pekerja berhadapan dengan kenyataan terbatasnya lapangan kerja.

ereka tidak punya banyak pilihan ketika sistem memaksa mereka masuk pasar kerja dengan sistem kerja waktu tertentu atau outsource demi pertumbuhan ekonomi nasional.

Nani (17), bukan nama sebenarnya, bercita-cita menjadi guru dan ingin menjadi sarjana. Cita-cita itu kandas ketika ayahnya kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Maka, sejak tujuh bulan lalu dia bekerja sebagai tenaga pelayan di sebuah perusahaan besar di Jakarta Pusat dengan perjanjian waktu kerja tertentu. Lulusan sekolah menengah kejuruan bidang administrasi perkantoran ini bergaji Rp 500.000 per bulan. Ditambah uang makan dan transpor, total pendapatan per bulannya Rp 1,3 juta, ”memenuhi” standar upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta.

Trangginas (27), juga bukan nama sebenarnya, berpendidikan D-3, bekerja di unit business merchant bank BUMN di Jakarta dengan gaji mengikuti UMR, Rp 1.070.000. Ditambah uang makan dan uang sewa motor, dia membawa pulang Rp 2 juta per bulan. Tetapi, pendapatan itu tak cukup untuk biaya hidup dia, istri, dan satu anaknya yang berusia tujuh bulan. Yang lebih menakutkan buat Trangginas adalah ketidakpastian masa depan karena dia karyawan outsource. ”Kontrak kedua OS (sebutan untuk outsource) ini sudah saya jalani setengah. Kata teman-teman sih biasanya diperpanjang,” kata Trangginas.

Nani, Trangginas, Ara (25), dan Yanto (27) adalah bagian pekerja OS dari 113 juta orang yang masuk angkatan kerja. Dengan tingkat pengangguran 8,1 persen atau sekitar sembilan juta orang pada tahun 2009, mereka bersyukur mendapat pekerjaan. Pertanyaannya, apakah pekerjaan itu sudah memenuhi hak dasar mereka sebagai manusia dan warga negara?

Fleksibilitas pasar

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyadari persoalan outsource berakar dari tidak seimbangnya penawaran dan permintaan, kemiskinan, serta tidak padannya antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja.

Ketika menyusun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah menoleransi pasal-pasal perjanjian kerja waktu tertentu demi menampung tenaga kerja akibat krisis ekonomi yang berawal dari tahun 1998.

”UU mengatur outsource hanya boleh untuk pekerjaan bukan utama. Biasanya jasa kebersihan dan keamanan. Tetapi, kemudian jadi bola salju. Sekarang semua pekerjaan outsource,” kata Muhaimin di kantornya beberapa waktu lalu.

Muhaimin mengakui lemahnya pengawasan, baik jumlah maupun kualitas tenaga pengawas, sehingga pelanggaran UU terjadi tanpa sanksi. Akibatnya, perlindungan terhadap tenaga kerja lemah, termasuk perusahaan jasa outsource (vendor) tidak mengangkat pekerja yang sudah tiga tahun bekerja, seperti ditentukan UU.

Diakomodasinya sistem kerja waktu tertentu tidak terlepas dari pengaruh global untuk meningkatkan daya saing ekonomi.

Ketua Institute for Research & Social Service Universitas Atma Jaya Jakarta Dr A Prasetyantoko menyebutkan, sistem outsource bertujuan untuk efisiensi melalui sistem pasar tenaga kerja fleksibel (labour market flexibility).

Salah satu alasan pengusaha tentang lemahnya daya saing nasional menghadapi produk impor adalah pasar tenaga kerja Indonesia tidak fleksibel. Pesangon, misalnya, dianggap membebani pengusaha saat harus mem-PHK, meski alasan itu harus diteliti lagi kebenarannya. ”Secara umum, perdagangan bebas seperti ASEAN-China Free Trade Area akan menyuburkan alasan serta praktik PHK dan outsource,” tambah Prasetynatoko.

Sistem outsource sebetulnya dapat menguntungkan para pihak dalam situasi tertentu. Bagi pekerja kelompok menengah-atas dan kelompok tertentu secara legal dapat berpindah tempat kerja. ”Ini biasa terjadi pada manajemen tingkat menengah-atas. Usaha jasa konsultan adalah contoh institusionalisasi outsourcing pada aras menengah-atas. Sekarang banyak perusahaan menyerahkan divisi pengembangan sumber daya manusia kepada konsultan,” kata Prasetyantoko.

Untuk kelompok menengah-bawah, apalagi buruh, outsourcing jelas merugikan karena tidak ada kepastian kerja dan karier serta harus menanggung seluruh pengeluaran dari kocek sendiri ketika tidak ada sistem jaminan sosial.

Hal serupa disebut juga oleh Dr Hendri Saparini dari lembaga kajian ekonomi Econit. ”Kalau semua punya keterampilan memadai, maka daya tawarnya sama. Masalahnya sebagian besar pekerja tak punya keterampilan cukup sehingga daya tawar rendah. Karena itu untuk pekerja kelompok bawah, seperti buruh, jangan digunakan sistem outsourcing. Outsource hanya untuk profesional,” kata Hendri.

Jaring pengaman

Ketidakpastian yang dihadapi pekerja outsource menyebabkan Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip yang beranggotakan 50.000 orang menolak outsource. ”Sistem jaminan sosial pilihan kedua, yang utama kami tetap menolak sistem outsource,” tandas Tavip.

Di sisi lain, bila sistem outsource memang tak dapat dihindari, Hendri dan Prasetyantoko melihat sistem jaminan sosial harus satu paket dengan sistem outsource.

Di negara maju, pengangguran tinggi hal biasa karena pekerja punya tabungan dan ada jaminan sosial sehingga dapat memilih berhenti sementara untuk mencari pekerjaan lebih baik. ”Di Indonesia, pekerja tidak bisa tidak bekerja,” tandas Hendri.

Sistem jaminan sosial, terutama asuransi kesehatan yang berlaku nasional, tidak dapat ditunda lagi. ”Ini mesti dijamin pemerintah selain memperbesar kue pembangunan ekonomi sehingga meskipun semakin banyak pekerja outsource, kesempatan mendapat pekerjaan juga membesar,” tandas Prasetyantoko.

Pengamat ekonomi dan penasihat OPSI, Yanuar Rizky, mencontohkan sistem jaminan sosial seperti di Amerika Serikat, Eropa, bahkan China. Sistemnya bermacam-macam, ada yang sepenuhnya dibiayai melalui mekanisme pasar seperti di AS, ditanggung bersama antara pemerintah, swasta, dan pekerja seperti di negara-negara Eropa, atau oleh pemerintah melalui BUMN seperti di China. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang belum diterapkan karena belum ditentukan pelaksanaannya.

Pembiayaan SJSN untuk tiap warga negara, menurut anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka, diusulkan ditanggung bersama oleh pemerintah, perusahaan pengguna, dan pekerja dengan persentase tertentu dari gaji. Bila UU SJSN diberlakukan, pemerintah akan didorong lebih kreatif dan sungguh-sungguh menciptakan lapangan kerja berkualitas atau harus menyubsidi warga negara yang tidak dapat pekerjaan.

(NMP/MH/HAM/DOT/JOS)