Selasa, 03 Agustus 2010

Menakar Kesejahteraan Buruh


Oleh: L. Gathot Widyanata

Buruh menjadi sejahtera: dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, mendapatkan kepastian kerja, upah yang baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan.

Veronika Y. Susanti, buruh pabrik asal Wonogiri Jawa –Tengah. Vero baru saja di-PHK dari PT. Jabatek- Doyong Tangerang dan mendapat pekerjaan baru di PT. Dwi Warna, Jl. Pasar Kemis Raya Tangerang. Baru setengah bulan bekerja ditempat yang baru, Vero harus menanggung cost produksi. Ia harus mengganti jarum yang patah, begitu juga kain yang rusak. Sebagai buruh borongan , Vero dibayar Rp. 400.000,- per bulan. Sering kali, ia tidak membawa uang sepeserpun ketika puluhan jarum patah dan beberapa lembar kain rusak.

Realita buruh di atas, tidak hanya dialami oleh Vero, namum kondisi tersebut juga dialami oleh buruh yang berstatus kontrak & outsorcing. Belajar dari pengalaman di atas, - ada dua fakta yang mempersulit buruh meraih kesejahteraan : Pertama, upah yang diterima Vero sebesar Rp. 400.000,- dibawah Upah Minimum Kabupaten Tangerang. Kedua,status kerja borongan merupakan konsekuensi sistem fleksibilitas hubungan kerja.

Buruh menjadi sejahtera; dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan,kesehatan, ada jaminan hari tua. Disampaing itu, buruh mendapatkan kepastian kerja, upah yang lebih baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan. Serta buruh bisa bekerja dengan tenang dan produktif.

Sejak krisis moneter tahun 1998 dan krisis finansial dunia tahun 2008, buruh semakin mengalami ketidakpastian kerja, bahkan ketidakpastian pendapatannya. Ketidakpastian kerja diakibatkan oleh langkah efesiensi perusahaan untuk menekan ongkos produksi. Efisiensi ongkos produksi yang dilakukan oleh perusahaan , tidak hanya mematok upah buruh dengan UMP (Upah Minimum Propinsi) & biaya perbaikan mesin saja atau kerusakan hasil produksi tetapi terkait juga dengan tenaga kerja, yakni perubahan status kerja tetap menjadi kontrak- outsorcing.

Upah Minimum Buruh

Peningkatan kesejahteraan & tingkat kemiskinan buruh sangat bergantung pada tingkat UMP/K (Upah Minimum Propinsi/Kabupaten). UMP/K adalah strategi pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan, dengan menghitung kebutuhan dasar. Peningkatan UMP/K tidak selalu berarti peningkatan upah
minimum riil, yaitu upah yang disesuaikan dengan biaya hidup dihitung dengan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Menurut UU No. 13/2003, upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Menurut data Dewan Pengupahan DKI tahun 2009 nilai UMP berdasarkan KHL dari tahun 2007 – 2009 sebagai berikut: UMP DKI Jakarta 2007 sebesar Rp 900.560 atau mencapai 90,78 persen dari nilai KHL sebanyak Rp 991.988. UMP 2008 sebesar Rp 972.604 atau mencapai 92,17 persen dari nilai KHL sebanyak Rp 1.055.275. Berdasarkan kondisi tersebut maka besar UMP DKI Jakarta pada 2009 seharusnya di atas 92,17 persen dari KHL sebesar Rp 1.314.059. Berapa besaran riil UMP 2009 masih harus memperhatikan faktor produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.

Dari data statistik BPS, diketahui produktivitas pekerja di DKI Jakarta secara agregat mengalami pertumbuhan positif 6,6 persen dari tahun sebelumnya. Sedang pertumbuhan ekonomi sampai dengan kuartal dua tahun 2008 mencapai 6,20 persen. Data tersebut merupakan sinyal positif yang memungkinkan penetapan upah minimum mendekati nilai KHL.

Menurut BPS, berdasarkan penghitungan Maret 2008, seorang penduduk DKI Jakarta dikategorikan miskin apabila pendapatannya hanya Rp 290.268/kapita/bulan. Kriteria kemiskinan ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan internasional yang mematok pendapatan minimal 1 sampai 2 dolar AS/kapita/hari atau Rp 300.000 sampai Rp 600.000 pada kurs dolar Rp 10.000.

Dengan menggunakan kriteria BPS, pada pertengahan 2009 batas pendapatan untuk mengukur garis kemiskinan diperkirakan menjadi Rp 350.000/kapita/bulan. Dengan asumsi setiap rumah tangga terdiri dari empat anggota maka pendapatan rumah tangga yang kurang dari Rp 1.400.000 masuk dalam kategori miskin. Upah sebesar Rp 1.069.865 mungkin saja masih cukup untuk memenuhi kebutuhan paling dasar seorang pekerja lajang, namun apabila pekerja tersebut sudah menikah dan memilki anak maka kehidupannya dipastikan tidak layak dan berpotensi menimbulkan masalah sosial (Gibson Sihombing 2009).

Dengan demikian , secara sengaja pemerintah membiarkan buruh dan keluarganya hidup tidak layak karena akan menerima upah yang jauh dari disebut layak, terutama para buruh kontrak dan outsourcing. Dan angka kemiskinan pada 2009 akan semakin bertambah yang berimplikasi pada masalah sosial.

Kebijakan Fleksibilitas & Ketidakpastian Kerja

Badan Pernacanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2004 melalui white papernya, telah merekomendasikan kebijakan pasar kerja yang fleksibilitas untuk meningkatkan investasi, mengurangi angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan.

Kebijakan tersebut kemudian dituangkan dan dilegalisasi dalam UU 13/2003 dan Kepmen 100/2004 tentang Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT) maupun Kepmen 101/2004 tentang lembaga outsorcing.

Kebijakan efesiensi perusahaan tidak hanya diterapkan pada cost produski, tetapi dikenakan pada hubungan kerja. Pengusaha menganggap buruh hanya sebagai sumber biaya, bukan sumber daya perusahaan untuk mencari keuntungan. Pengusaha akan selalu berupaya agar dalam kegiatan ekonominya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk maksud tersebut, pengusaha menekan biaya tenaga kerja.

Efesiensi biaya produsi terkait dengan tenaga kerja natara lain : (1) Perampingan jumlah tenaga kerja (downsizing) dengan PHK massal. (2) Mengubah status buruh tetap menjadi buruh kontrak dengan melakukan pemutihan. (3) Merekrut hampir seluruh tenaga kerja dengan status kontrak. (4) Mengurangi biaya jaminan sosial bagi buruh. (5) Mengurangi jam kerja dan jam lembur. (6) Menghilangkan aneka tunjangan bagi buruh di produksi. (Laporan KBC , tahun 2009).

Sejak diberlakukan UU No. 13 Tahun 2003 terjadi perubahan yang signifikan status kerja, dari status kerja tetap menjadi status kerja kontrak & outsorcing. Perubahan status kerja tersebut menjadi kendala besar bagi buruh untuk mencapai kesejahteraan.

Akibat dari perubahan (buruh tetap menjadi buruh kontrak ) tersebut adalah soal ketidakpastian kerja. Ketika menjadi buruh tetap mendapat proteksi, namun menjadi buruh kontrak & outsorcing proteksi yang pernah dinikmati hilang. Komponen utama ketidapastian kerja yang dialami oleh sebagain besar buruh adalah kehilangan hak atas kepastian pendapatan dan hak atas berorganisasi dan melindungi diri.

Hinglangnya hak atas kepastian pendapatan ditandai oleh berkurangnya sumber penghidupan buruh. Sejak berlaku kebijakan fleksibilisasi, upah menjadi berkurang, kepastian periode kerja tidak menentu dan tunjangan-tunjangan dihapuskan. Sedangkan hilangnya sumber penghidupan lebih karena PHK di pabrik semakin mudah dilakukan dan hal itu tidak langsung berkaitan dengan kinerja personal. PHK terjadi lebih sering disebabkan oleh motif anti serikat buruh, penggantian status tetap menjadi kontrak dan perusahaan tutup. (Hasil Riset LDD, SPIS, PSE Bogor, tahun 2009).

Hancurnya Serikat Buruh

Sejak lahirnya UU No. 21/2000 tentang “Kebebasan Berserikat”, secara politik buruh mulai menikmati iklim kebebasan berserikat baik di tingkat perusahaan. Iklim kebebasan berserikat berdampak menjamurnya serikat buruh, bahkan di tingkat perusahaan dapat berdiri dari 2 atau 3 serikat buruh.

Disatu sisi, buruh mengalami kebebasan berserikat, di sisi lain serikat buruh mengalami kehancuran karena berlakunya fleksibilitas hubungan kerja di tingkat perusahaan. Praktek fleksibilisasi yang dikemas dan dibungkus dalam munculnya lembaga outsorcing. Akibat langsung yang diterima oleh buruh adalah tergerusnya kekuatan kolektivisme dan pergeseran pola hubungan industrial yang semakin mengedepankan individualisasi.

Perubahan signifikan yang dialami serikat buruh akibat perubahan status kerja dari tetap menjadi kontrak yang teridentifikasi di lapangan antara lain. Pertama, penurunan sejumlah besar anggota yang dengan sendirinya turut menurunkan kekuatannya. Kedua, serikat buruh mengalami krisis peran kolektifnya, tidak mampu memperjuangkan hak – hak buruh ( hasil riset LDD, Spis, PSE Bogor 2009).

Komersialisasi Buruh

Secara politis benturan antara fleksibilisasi di satu pihak dan desentralisasi di pihak lain ternyata melemparkan buruh ke dalam rimba yang disebut sebagai komodifikasi atau komersialisasi

Berbeda kondisi yang dialami tahun 1990-an, buruh untuk mendapat pekerjaan bisa langsung dengan pihak perusahaan. Meskipun lewat perekrut tenaga kerja, buruh tidak dipotong upahnya, sedangkan perekrut tenaga kerja mendapat vie dari pihak perusahaan pengguna tenaga kerja.

Fleksibilisasi diberlakukan pada tenaga kerja sisi supply. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja, kapasitas produksi dan jenis pekerjaannya. Permintaan yang demikian, membuka bisnis perekrut tenaga kerja. Perekrut tenaga kerja bentuk bisa CV, Yayasan, tidak jarang memakai oknum tenaga kerja.

Sejak 6 tahun terakhir ini, selain akses kesempatan kerja makin sempit, juga harus merelakan sejumlah uang antara 500 ribu-1 juta kepada lembaga outsorcing untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jahit di pabrik garmen dengan status kontrak 3 bulan. Setelah dikontrak 3 bulan, upah yang diterima sebesar 70% dari kontrak yang ditandatangani. Sedangkan sisanya 30% diterima oleh perekrut tenaga kerja.

Berkurangnya Peran Negara

Posisi tawar dan kekuatan politik buruh semakin lemah dalam beragam kebijakan politik dan politik ekonomi. Negara (pemegang kuasa) lebih menuruti keinginan para pemodal untuk menekan hak politik kaum buruh. Kebijakan ekonomi yang ada, sedang dan akan menuju ke arah liberalisasi di mana mekanisme pasar menjadi rujukan. Sementara, kebijakan ekonomi dibidang ketenagakerjaan didorong untuk masuk ke dalam arena kompetisi di mana peran pemerintah dikurangi seminim mungkin.

Faktanya, paket UU ketenagakerjaan UU 21/2000; UU 13/2003 dan UU 2/2004 dipandang sebagai kebijakan yang lebih ke arah liberal karena diikuti dengan lenyapnya unit-unit proteksi yang sebelumnya diperoleh buruh.

Argumen utama pemerintah atas berlakunya UU tersebut adalah untuk menarik investasi, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produkstifitas, menaikkan status sektor informal ke sektor formal, mengurangi pengangguran dan kemiskinan (Bappenas, 2003).

Perubahan signifikan yang dapat dibaca akibat dari fleksibilisasi tersebut adalah soal ketidakpastian kerja oleh karena hilangnya proteksi yang sebelumnya pernah dinikmati. Komponen utama ketidapastian kerja yang dialami oleh sebagain besar keluarga buruh adalah kehilangan hak atas kepastian pendapatan dan hak atas berorganisasi dan melindungi diri.

Buruh Mendapatkan Kepastian Kesejahteraan

Dalam UUD 45 disebutkan peran negara untuk menjaga hak warga –negaranya (termasuk buruh) untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, masalah lambatnya pertumbuhan ekonomi dan hilangnya lapangan kerja pertama-tama bukanlah tanggung jawab buruh, pun bukanlah tanggung jawab pengusaha, melainkan negara.

Dalam paper hasil riset 3 lembaga (LDD , Spis , PSE Bogor) 2009 menampilkan pemikiran ekonom Guy Standing untuk menjamin hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi, sebagai berikut:

Ekonom Guy Standing (2002) menyebutkan bahwa hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi perlu disokong oleh jaminan sosial dasar yang menyangkut akses soal jaminan kesehatan, infrastruktur, pendidikan, tempat tinggal, informasi dan perlindungan sosial lainnya. Sedangkan hak yang berkaitan dengan kepastian kerja terdiri dari beberapa komponen dan sekaligus dapat sebagai indikator dasar bagi kerja yang layak (decent work). Komponen-komponen tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.

Pertama, kepastian pendapatan (income security) yakni kecukupan dasar dan absolut terhadap kebutuhan dasar yang diperoleh dari pendapatan atau upah maupun bentuk-bentuk jaminan sosial yang lainnya. Kepastian ini bukan saja berlaku pada periode masih bekerja tetapi juga ketika sudah tidak bisa bekerja (retirement). Mekanisme kepastian pendapatan ini secara klasik meliputi pengawasan pengupahan, indeksasi upah, jaminan sosial menyeluruh dan pajak progresif.

Kedua, jaminan keterwakilan (representation security) yang meliputi keterwakilan individual maupun kolektif dalam konteks perlindungan hukum. Keterwakilan individu menunjuk pada hak-hak individu yang dijamin dalam UU sebagaimana akses individu terhadap institusi. Sedangkan keterwakilan kolektif merujuk pada hak beberapa individu maupun kelompok untuk diwakili oleh dan atas nama organisasi yang lebih besar, lebih independen dan lebih kompeten. Keterwakilan tersebut dalam rangka pelindungan dan pangawasan misalnya upah, kondisi kerja dan praktek-praktek perburuhan lainnya.

Ketiga, kepastian pasar kerja (labour market security) yang dimengerti sebagai ketersediaan dan kecukupan kesempatan kerja yang dijamin oleh negara.

Keempat, perlindungan tenaga kerja (employment security) yakni perlindungan terhadap pemecatan, aturan tentang rekrutmen dan pemberhentian.

Kelima, jaminan pekerjaan/jabatan (job security) yakni merujuk pada harapan akan jenjang karir, batasan keahlian maupun adanya kualifikasi jabatan.

Keenam, jaminan perlindungan di tempat kerja (work security) jaminan terhadap kecelakaan maupun penyakit akibat kerja melalui aturan K3, pembatasan waktu kerja dan penghindaran kerja malam bagi perempuan.

Ketujuh, jaminan peningkatan ketrampilan (skill reproduction security) melalui perluasan kesempatan untuk peningkatan ketrampilan, magang maupun pelatihan tertentu.

Penutup

Buruh menjadi sejahtera; dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, ada jaminan hari tua). Buruh mendapatkan: kepastian kerja, upah yang baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan. Buruh bekerja lebih tenang dan produktif.

Pengusaha lebih untung dan aman melanjutkan dan mengembangkan usahanya. Pemerintah berhasil melaksanakan tugasnya untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

Daftar Pustaka:

1. FPBN & Aliansi Serikat Buruh Wilayah Barat, “Mewujudkan Kepastian Kerja” , Kampanye FAIR 2007.

2. Riset 3 Lembaga (LDD, Spis, PSE Bogor), “Memahami Malapetaka Fleksibilisasi :Kepastian Kerja Sebagai Hak Publik”, April 2009.

3. Sumartono, M, “Industri Post- Fordisme dan Fleksibilisasi Hubungan Kerja”, Jurnal FPBN: No.1, Mei – Oktober 2004.

Mimpi Kita


Oleh: L. Gathot Widyanata

Saat ini, ada perubahan dunia kerja dari model kerja ‘tetap’ diganti model ‘fleksibel’ di tingkat perusahaan. Dalam kerja ‘tetap’ maksudnya adalah model kerja dimana perusahaan memberikan kerja jangka panjang bagi si buruh dan demikian dapat menjamin terjadinya promosi jabatan di dalam perusahaan. Dalam model kerja ‘fleksibel’, buruh dituntut untuk lebih lentur dalam melakukan pekerjaan, tidak tersekat oleh rincian kerja (Job description) yang kaku, dan diharapkan mampu beradaptasi lebih cepat dengan perubahan – perubahan.

Model kerja ‘fleksibel’, kalau dilihat dari durasi masa kerja: jangka pendek dan rotasi kerja. Bentuk model kerja ‘fleksibel’ adalah kontrak & outsourcing. Sistem kerja ‘fleksibel’ mematahkan kerja kolektif menjadi hubungan kerja yang lebih individual. Buruh yang terjebak dalam model kerja ‘fleksibel’ memiliki karakter yang terpenting dapat bekerja (employability security) dan buruh dituntut dapat dapat melakukan berbagai pekerjaan (multi skill & job).

Logika pasar memberikat alas an, mengapa perusahaan menggunakan model kerja ‘fleksibel’? Penggunaan buruh kontrak & outsourcing menjadi cara perusahaan mencapai efesiensi. Penggunaan buruh kontrak & outsourcing dari pada buruh tetap, dipercaya mampu menghemat biaya produksi perusahaan. Namun lebih jauh, perusahaan menggunakan buruh kontrak dan outsourcing sesungguhnya salah satu cara majikan melakukan control pengawasan terhadap para buruh (Standing, 2000).

Perubahan model kerja ‘tetap’ menjadi model kerja ‘fleksibel’ merupakan bentuk strategi pemecah belah persatuan buruh. Ketika hubungan kerja yang berhadap- hadapan (individual- red) perjuangan buruh mudah dipatahkan, baik ditingkat perundingan dan PHI( Pengadilan Hubungan Industrial).

Kini banyak terdapat buruh kontrak, bahkan buruh outsourcing merajalela di berbagai perusahaan manufaktur di Indonesia. Sistem hubungan kerja yang ‘fleksibel’ menghacurkan kekuatan kolektif buruh. Banyak serikat buruh belum menerima dan mengorganisir buruh kontrak & outsourcing. Buruh kontrak & outsourcing enggan untuk membangun kekuatan secara kolektif ( organisasi buruh/serikat buruh) – red) dengan alas an takut kehilangan pekerjaan.

Apakah buruh kontrak & outsourcing perlu berserikat sebagai bentuk perlawanan terhadap model kerja ‘fleksibel’? secara umum, buruh kontrak & outsourcing memiliki hak yang sama dengan buruh tetap, salah satunya berhak mendirikan serikat atau bergabung dengan serikat buruh yang ada. Berdasarkan hak tersebut, buruh kontrak & outsourcing bangun dari tidur, memikirkan serikat buruh/organisasi buruh sebagai alat atau kendaraan untuk memperjuangkan hak – haknya sebagai buruh.

Model Serikat Buruh

Taktik berserikat buruh kontrak & outsourcing didasarkan beberapa pengandaian. Pertama, bahwa buruh – buruh kotrak & outsourcing sadar akan persoalannya dan mau berbagi waktu untuk bertemu, untuk bertukar ide deiantara mereka untuk keluar dari kesulitan hidup.

Kedua, serikat buruh yang berbasis buruh kontrak & outsourcing memiliki model kepengurusan dan pola kepengurusan dan pola kerja yang relative lentur- dinamis, dan tidak struktur kaku, secara hirarkis seperti serikat buruh pada umumnya. Dengan cara menguatkan komunikasi antara mereka berdasarkan jaringan kerja. Setiap anggota menjadi jembatan dan dinamisator organisasi.

Ketiga, serikat buruh yang berbasis keanggotaannya pada individual buruh (bukan tingkatan pabrik serikat buruh pada umumnya) memiliki dan terbangunnya daya ikat, yakni keanggotaan menjadi anggota koperasi (credit union).

Keempat, bahwa serikat yang beranggotakan pada individu buruh harus berfokus pada persoalan kerja buruh kontrak & outsourcing. Maka peran advokasi pada mengatasi rendahnya upah, kerberlanjutan kerja buruh kontrak & outsourcing, dengan cara membuat negosiasi dan perundingan ( sampai pada tingkat perjanjian- red) dengan pihak penyedia tenaga kerja, pengguna tenaga kerja serta pihak pemerintah.

Kelima, serikat buruh yang memiliki anggota yang bekerja pada model kerja ‘fleksibel’, sewaktu – waktu berakhir kontraknya, harus memiliki system dana bantuan bagi buruh yang menganggur sementara waktu.

Keenam, serikat buruh yang beranggotakan buruh kontrak & outsourcing yang dituntut dapat melakukan pekerjaan, mampu melakukan serangkaian pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan (skill), tujuannya untuk menjamin keberlangsungan pekerjaan dan meningkatkan daya tawar di pasar kerja.

Ketujuh, serikat buruh yang berbasis individual buruh memiliki batas umur dipekerjaankan di pabrik, 35 tahun batas usia kerja produktif sebagai buruh buruh kontrak & outsourcing. Serikat buruh harus memiliki program alih profesi (banting stir: dari bekerja pada orang lain menjadi memiliki usaha sendiri- red). Peran serikat buruh mampu mengubah mindset dari buruh menjadi entrepreneurship (menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri- red).

Penutup

Sudah saatnya, perubahan model kerja ‘tetap’ menjadi model kerja ‘fleksibel’ dan berakibat perubahan bentuk dari buruh tetap menjadi buruh kontrak & outsourcing, mengorganisasi diri untuk menatap masa depan terciptanya hubungan industrial yang berkeadilan dan bermartabat serta berkelanjutan. ( Penulis, bekerja di Biro Pelayanan Buruh LDD- KAJ)

Berjuang Demi Hak – Haknya


Perusahaan secara tiba- tiba menyatakan bahwa kondisi keuangan sudah pailit, dan segera ditutup. Pernyataan pailit tidak disertai dengan audit akuntan public yang menyatakan perusahaan tersebut bangkrut. Kebijakan penutupan pabrik tidak dilaporkan ke Suku Dinas Tenaga Kerja Kotamadya Jakarta – Utara.

Pada Kamis, 10 Juni 2010 saya menghadiri exhibition di Atrium IBII (Institut Bisnis dan Informatika Indonesia) Jakarta. Disela- sela kegiatan exhibition, saya bertemu dan ngobrol dengan Ibu Sukini buruh PT Istana Magnolitama di Kapuk Jakarta Utara. Kebetulan Ibu Sukini sedang menunggu stan KaDe 5 yang menggelar produk makanan ringan berupa snak.

KaDe 5 adalah alat promo bagi barang produk buruh (terutama korban PHK- red) yang difasilitasi oleh Biro Pelayanan Buruh- LDD KAJ. Namun, saya tidak akan bicara tentang KaDe 5, saya akan berbicara tentang berjumpaan dengan ibu Sukini salah satu pelaku gerakan penyelesaian perselisihan hubungan industrial buruh PT Istana Magnolitama yang sudah 3 tahun berjalan, namun belum mendatangkan hasil yang pasti.

Sukini, buruh perempuan PT. Istana Magnoliatama asal Ngawi – Jawa Timur, sudah 3 tahun bersama teman – teman berjuang menuntut hak – haknya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sukini, 13 tahun bekerja di PT. Istana Magnolitama sebagai QC (Quality Control). Suaminya bekerja sebagai pekerja borongan diperusahaan plastic, saat ini perusahaannya goyah. Sukini mempunyai 3 anak, dua anaknya masih mengenyam dibangku SD dan 1 anaknya tidak mampu melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.

“Berawal dari tindakan intimidasi pada para buruh yang tidak lagi produktif”, Sukini mengwali ceritanya. Dengan berbagai dalih, pihak manajemen mendorong teman – teman buruh yang tidak produktif lagi untuk mengundurkan diri.

Selain strategi intimidasi, pihak perusahaan melakukan penawaran untuk mengundurkan diri dengan kompensasi 2 ½ bulan gajih (kurang lebih Rp. 2.500.000,- - red), dengan alasan perusahaan pailit.

Waktu yang menegangkan, pada tanggal 17 Juli 2007, ketika buruh sedang istirahat tengah hari, tiba- tiba pintu gerbang pabrik ditutup. Buruh tidak boleh masuk lagi. Ada secarik pengumuman di pintu gerbang pabrik : “Mulai hari ini, pabrik ditutup.” Dengan demikian pabrik sterile dari buruh. Pintu gerbang dijaga oleh Satpam pabrik. Tak satu buruhpun yang dapat menyelinap masuk, karena penjagaan yang super ketat.

Langkah Bipartite Ditempuh

Perundingan antara buruh dengan pihak manajemen, lalu dilakukan untuk mencari jalan penyelesaian yang bermartabat, untuk melawan tindakan sepihak pihak manajemen untuk menutup pabrik. Dalam perundingan, pihak manejemen akan melakukan pemutusan hubungan kerja buruh PT. Istana Magnoliatama, karena merugi.

Menurut Ibu Sukini yang bekerja di QC (Quality Control), bahwa sejak tahun 2007 perusahaan kebanjiran order. Buruh bekerja hingga jam 23.00 WIB, bahkan kadang sampai pagi hari. Menurut catatan kami, 4 kali dalam satu bulan perusahaan melakukan ekspor. Jadi, tidak masuk akal, jika pihak manajemen mengatakan bahwa perusahaan merugi.

“Kami pernah bertemu dengan buyer produk Oliver, ia mengatakan : mengapa PT. Istana Magnolitama tidak mau menerima order, ada apa sih”, cerita ibu Sukini dengan getir. Dari pertanya buyer produk merk oliver tersebut, memperlihatkan bahwa perusahaan tidak sepi order.

Intimidasi yang dilakukan oleh pihak manjemen agar buruh mengundurkan diri dan penutupan pabrik bukan karena perusahaan merugi tetapi ada alasan lain. Ada beberapa buruh yang merespon tawaran tersebut. “ Mereka mengaku, setelah putus hubungan kerja, direkrut kembali untuk dipekerjakan kembali dengan status kontrak.”, kata Sukini yang masuk dalam group buruh yang menolak tawaran perusahan untuk mengundurkan diri.

Pihak manajemen tetap bersikukuh, akan mem- PHK buruh yang berstatus tetap dengan kompensasi sebesar 2 ½ bulan upah (kurang lebih 2 ½ juta rupiah – red). Pihak buruh tidak menerima tawaran pihak manajemen, buruh menuntut 1 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) sebagai kompensasi.

Buruh Melapor Ke Disnaker

Melihat peluang bahwa pihak manajemen tidak melapor ke Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Utara, atas tindakannya mem- PHK buruhnya, buruh melaporkan tindakan manajemen perusahaan PT. Istana Magnoliatama yang mem- PHK buruhnya. Melalui perundingan mediasi Disnaker Jakarta Utara, buruh dimenangkan. Lalu, Disnaker melayangkan surat teguran kepada pihak manajemen PT. Istana Magnolitama.

Langkah mediasi melalui Disnaker- trans Jakarta Utara tidak mendatangkan hasil yang berarti. Mengingat pihak manajemen perusahaan tidak bergeming atas teguran Disnaker.

Buruh Ambil Pabrik

Buruh mengambil alih dan menduduk pabrik dan untuk mempertahankan asset perusahaan, agar asset tidak keluar pabrik. Pabrik dijaga 24 jam dengan sistem bergantian. Selama proses di pengadilan, buruh tidak berpangku tangan (diam –red), buruh memanfaatkan mesin – mesin yang ada untuk produksi. Order kaos dari CMT dan teman – teman serikat buruh (KASBI- misalnya)

“Selama menunggui pabrik kami mendapat bela rasa dari berbagai serikat buruh maupun LSM”, kata Sukini. Seiap bulan sekali buruh PT Istana Magnolitama gelar kasus yang menimpanya. Tujuan utama gelar kasus adalah untuk membicarakan terus menerus kasus yang dihadapi dan membangun tali ikatan para korban.

Ajang gelar kasus juga berperan untuk menjaring bela rasa dari berbagai serikat buruh dan LSM (Lembaga Syadaya Masyarakat) perburuhan. Misal, KASBI selain mendampingi advokasi juga memberikan order kaos, begitu juga yang lainnya.

Menggugat Ke Pengadilan Hubungan Industrial

Surat teguran tersebut tidak direspon oleh pihak manajemen (sudah 2 minggu tanpa ada tanggapan – red) lalu buruh mendaftarkan kasusnya ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial ) Jakarta Pusat. Dalam persidangan yang digelar oleh Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta, buruh yang diwakili oleh Serikat Buruh tingkat PT. Istana Magnolitama sebagai penggugat dan perusahaan yang diwakili oleh pengacara perusahaan sebagai pihak yang tergugat.

“Persidangan perselisihan antara buruh dan manajemen perusahaan PT Istana Magnoliatama tidak pernah dihadiri oleh pemiliki”, ungkap Sukini yang saat ini dikaruniai 3 anak. Dua anak duduk di tingkat SD, satu lagi anaknya tidak mampu melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi karena alasan biaya sekolah yang super tinggi pula.

Ketika PHI Jakarta memenangkan gugatan buruh, pihak manajemen menggugat balik. Namun, gugatan perusahan yang mempersoalkan hak – hak buruh dipatahkan oleh PHI Jakarta. Keputusan hakim PHI Jakarta tetap memenangkan gugatan buruh.

Kalah di PHI Jakarta bukan menyurutkan langkah manajemen untuk menyelesaikan perselesihan hubungan industrial seefesien mungkin. Pihak manajemen PT Istana Magnoiliatama mengajukan perkaranya ke Pengadilan Tata Niaga Jakarta Pusat untuk mempailitkan perusahaan. Dan Pengadilan Tata Niaga Jakarta Pusat memutuskan bahwa perusahaan PT Istana Magnolitama, yang bergerak dibidang garmen, terletak di jalan Kapuk Indah dinyatakan pailit.

Dengan keputusan Pengadilan Tata Niaga Jakarta Pusat tersebut, buruh tidak terima dengan kepetusan tersebut. Buruh menggugat balik ke Pengadilan Tata Niaga Jakarta Pusat, tetapi gugatan buruh tidak dikabulkan, karena tidak kuat bukti.

“Sekarang penyelesaian perselisihan hubungan industrial PT. Istana Magnolitama dibawah kendali curator”, kata Sukini, yang menekuni bisnis Jahe instant dan keripik singkong balado. Menurut Ibu Sukini, “Kalaupun asset perusahaan dijual, setiap buruh hanya menerima kompensasi sebesar Rp. 2.500. 000, - .” Karena asset yang dapat dijual tidak termasuk tanah dan bangunannya.

Penutup

Untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari (menyambung hidup – red), hari – harinya Sukini memproduksi jahe instant, kripik singkong balado untuk dijajakan pada warung – warung kecil yang ada sekitar tempat tinggal.

Sukini, yang harus menanggung kehidupan 5 nyawa membuat kerjasama dengan Biro Pelayanan Buruh LDD – KAJ untuk menimba pengetahuan berwirausaha dan memperluas jaringan pasar. Saat ini, Sukini sudah berhasil menjajakan produknya ke UKM Smesco Indonesia, terus aktif mengikuti bazar – bazar yang diselenggarakan oleh biro pelayanan buruh bekerja sama dengan paroki – paroki KAJ.

Pengalaman Sukini dan kawan – kawan buruh PT Istana Magnolitama dalam menyelesaikan kasus memberikan pelajaran sebagai berikut: pertama, terbentuk bela rasa diantara buruh yang sedang memperjuangkan hak – haknya demi kepentingan bersama. Kedua, secara proses penyelesaian buruh melangkah maju, berani menggunakan kendaraan Pengadilan Hubungan Industrial. Ketiga, terjadi bela – rasa (solider – red) yang melibatkan serikat buruh dan LSM perburuhan terkait dengan kasusnya. (***)

Jakarta, 10 Juni 2010

(L. Gathot Widyanata)