Jumat, 20 Mei 2011

Menghapus Sistem Kerja Outsourcing

Kamis, 19 Mei 2011 |Editorial

Setelah banyak digugat, sistem kerja outsourcing (alih daya) akan ditinjau kembali. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, menjanjikan perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait masalah ini.

Melalui Kepala Bagian Humas Depnakertrans, Suhartono, Menakertrans menerangkan bahwa pihaknya sedang mendorong sebuah pertemuan Tripartit (perwakilan serikat buruh, pengusaha, serta pemerintah) bersama para pakar dan akademisi untuk menggodok perubahan dimaksud.

Belum dapat dipastikan, sejauh mana janji ini dapat direalisasikan, mengingat adanya keraguan dalam pernyataan Menteri, dan telah begitu luasnya sistem ini dijalankan. Banyak pengusaha yang diuntungkan oleh penggunaan tenaga kerja outsourcing. Demikian pula banyak pihak, termasuk dari kalangan pengurus serikat buruh sendiri, yang diuntungkan karena bertindak sebagai agen penyalur tenaga kerja outsourcing ini.

Sistem outsourcing dapat diartikan sebagai penyerahan pekerjaan tertentu kepada pihak (perusahaan) lain, atau, menggunakan buruh dari pihak (perusahaan) lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

Sebagai sebuah fenomena global, sistem ini berlandaskan pada konsep kelenturan pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility). Konsep ini merupakan upaya kapitalisme untuk menekan biaya upah buruh (labour cost) menjadi lebih murah, melalui kemudahan merekrut dan memecat pekerja.

Sebagai fenomena dalam di negeri, konsep ini telah menekan upah yang sudah murah menjadi semakin/lebih murah. Penerapannya mulai masif sejak penandatangan nota kesepakatan (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dengan International Monatery Fund (IMF) tahun 1997, sebagai syarat penerimaan utang baru. Kemudian, pengesahan melalui UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan membuat praktik ini semakin merajalela.

Sebuah penelitian di tahun 2010 terhadap pelaksanaan outsourcing di sektor industri ototmotif, menyebut penggunaan buruh outsourcing mencapai 40% dari total tenaga kerja. Mereka menerima upah rata-rata 26% lebih rendah dibandingkan pekerja tetap. Selain itu, buruh outsourcing lebih rawan terkena PHK, tidak memperoleh perlindungan sosial, dan umumnya tidak dapat berserikat.

Dengan latar penelitian tadi perlu diberi catatan, bahwa kondisi buruh di sektor otomotif relatif `lebih baik' dibanding pekerja di sektor industri lain. Ini berarti, bila penelitian diluaskan pada sektor-sektor industri lain, sangat berpotensi ditemukan hasil yang lebih buruk.

Sejumlah kalangan menganggap persoalan ini muncul akibat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dikatakan bahwa "kesalahan penafsiran" terhadap pasal yang mengatur masalah outsourcing perlu dicegah melalui pengawasan yang ketat.

Namun kita sama-sama mengetahui bahwa terdapat permasalahan yang lebih luas dan mendasar. Pertama, sistem outsourcing merupakan fenomena global yang merupakan bagian tak terpisah dari pelaksanaan neoliberalisme. Dalam situasi ini posisi tenaga kerja sebagai barang dagangan terjadi semakin terang-terangan.

Kedua, karena dipandang efektif dalam melipatgandakan keuntungan, pelaksanaan sistem ini telah dilegalkan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang di bidang ketenagakerjaan maupun bidang lain. Meskipun, peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak tiap-tiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ketiga, kerusakan ekonomi yang melahirkan puluhan juta pengangguran telah menjadi pra syarat bagi terus berlangsungnya keadaan ini.

Dalam situasi demikian, kita tidak dapat menaruh harapan yang terlalu besar pada janji Menakertrans. Dengan kata lain, janji penghapusan sistem outsourcing terlalu besar bila semata dipikul oleh sebuah kementerian yang ditugaskan untuk memperlakukan tenaga kerja sebagai barang dagangan murahan dalam industri kapitalisme.

Harapan sesungguhnya berada di pundak kaum buruh sendiri, untuk mengorganisasikan perlawanan terhadap sistem ini pada berbagai level atau teritorial. Persoalan cara dan taktik dapat didiskusikan lebih lanjut di antara serikat-serikat buruh untuk melancarkan perlawanan ini. Bukan hanya buruh outsourcing yang berkepentingan, tapi seluruh kaum buruh, bahkan seluruh warga negara berkepentingan menghapus sistem ini, demi kepastian bekerja dan pemenuhan hak-haknya pada tingkat yang minimum, sebagai dasar pijakan untuk memperjuangkan hak ekonomi politik yang lebih luas.

Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com

http://berdikarionline.com/editorial/20110519/menghapus-sistem-kerja-outsourcing.html

Menakertrans Instruksikan Pertemuan Lembaga Tripartit Bahas Soal Outsourcing


Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar telah mengintruksikan kepada Lembaga Tripartit Nasional (tripnas) agar segera menggelar pertemuan khusus untuk membahas penerapan kebijakan outsourcing dan pengawasan pelaksanaannya.

Pertemuan tripartit yang melibatkan unsur pemerintah, asosiasi pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh ini ditujukan mencari titik temu dari perbedaan pandangan dan penafsiran terhadap penerapan outsourcing di Indonesia.

" Menakertrans telah nmengintruksikan agar dilaksakan pertemuan khusus yang menbahas masalah outsoursing. Pertemuan ini berupa focus discussion group (FDG) yang melibatkan unsur tripartit " kata Kepala Pusat Humas Kemenakertrans Suhartono dalam keterangan pers di Jakarta pada Minggu (15/5).

Kapus Humas Kemenakertrans Suhartono mengatakan pertemuan FDG ini menindaklanjuti hasil kajian dari masing-masing unsur tripartit mengenai usulan revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya penerapan outsourcing.

"Selama ini pemerintah dalam hal ini Kemenakertrans telah memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk mengkaji dan memberikan masukan terhadap masalah outsourcing. Kini saatnya duduk bersama untuk mencari benang merah dan solusi terbaik pelaksanaan outsourcing, " kata Suhartono

Suhartono mengharapkan pertemuan tripartit dengan model FDG ini memberikan rekomendasi bagi pemerintah maupun DPR yang sedang menyusun kembali revisi dan usulan perubahan UU ketenagakerjaan. Dijelaskan Suhartono, kajian-kajian ilmiah tentang outsourcing telah mempermasalahkan tidak adanya kepastian kerja, upah dan tingkat kesejahteraan, penerapan hak-hak normatif pekerja dan kesempatan menjadi pekerja tetap dan pengawasan terhadap pelaksanaan outsourcing.

" Selama ini telah banyak hasil kajian dan rekomendasi dari berbagai pihak mengenai outsourcing. Memang tak dipungkiri bahwa masih ada perbedaan pandangan dari sisi pengusaha, pekerja maupun pemerintah, " kata Suhartono.

Salah satu kajian rekomendasi terbaru berasal dari lembaga AKATIGA yang disampaikan Indrasari Tjandraningsih, Peneliti, dalam audiensi dengan Menakertrans. Muhaimin Iskandar pada. Jumat (13/5).

Dikatakan Suhartono, dalam pertemuan dengan Menakertrans pertengahan minggu ini, pihak AKATIGA memberikan beberapa rekomendasi pembatasan dan perlindungan pekerja atau buruh dalam sistem penyaluran tenaga kerja Outsourcing

" Rekomendasinya diantaranya perlu adanya keputusan Menteri mengenai pengertian proses produksi, kegiatan inti dan kegiatan penunjang dengan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar. Definisi tersebut ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan masukan dari wakil pengusaha dan wakil pekerja, "jelas Suhartono.

Selain itu, perlu diperkuatnya kompetensi dan jumlah tenaga pengawas di dinas-dinas tenaga kerja serta perlu segera dilaksanakannya revisi atau perubahaan UU No. 13 tahun 2003.

Pusat Humas Kemenakertrans.

Kamis, 19 Mei 2011

Sistem Ekonomi Kapitalis Memiskinkan Buruh

Oleh : L. Gathot Widyanata


Sampai saat ini, Indonesia dalam membangun ekonomi negeri dengan bertekuk lutut dan mengikuti “Washington Consensus”. “Washington Consensus” adalah sebuah konsensus yang tidak resmi antar pejabat dalam lingkaran institusi internasional dan pengusaha tentang pembangunan ekonomi yang mensyaratkan: pasar, liberalisasi perdagangan dan pengurangan peran negara dalam ekonomi. Satu dari sepuluh butir kesepakatan dalam “Washington Consensus” mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja harus bersifat fleksibel sebagai syarat investasi. Artinya , tenaga kerja memang hanya sebuah fungsi produksi yang bersifat variable. Tatkala produksi meningkat, jumlah pekerja ikut terungkit, namun produksi menurun, mereka juga harus disishkan. Konsekuensinya jelas, tak ada lagi buruh tetap, yang ada tinggalah buruh kontrak.
Perusahaan – perusahaan multinasional yang membidani dan melahirkan “Washington Consensus” dengan efektif melelang janji-janji untuk menyediakan lapangan pekerjaan baru, investasi infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi kepada para penawar internasional tertinggi dan menekan akan menarik diri untuk pindah atau mengancam untuk keluar dari negara-negara yang ongkos kerja dan pajaknya terlalu tinggi, atau tempat- tempat yang standar-standarnya terlalu ketat atau subsidi dan pinjaman tidak terpenuhi.
Sementara Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, banyak perusahaan yang tutup dan mem-PHK buruhnya sehingga Indonesia surplus tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan membaik ternyata tak pernah kunjung datang. Misalnya saja. disektor industri manufaktur yang juga merupakan penyerap tenaga kerja cukup signifikan, kinerjanya dalam dua triwulan terakhir masih sangat memburuk, masing- masing hanya tumbuh 2 persen pada triwulan 1 dan 3 persen pada triwulan II-2006(Kompas, Senin, 4 Sepetember 2006).
Sejak Indonesia terikat dengan “Washington Consensus” hingga hari, angka pengangguran di Indonesia tetap signifikan. Menurut data yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik) per Oktober 2005 menyebutkan angka pengangguran sudah mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 % dari 106,9 juta angkatan kerja yang ada. Sebanyak 10,84 persen(11,6 juta orang) penganggur terbuka.
Untuk mengatasi pengangguran dan membuka lapangan kerja baru, pemerintah RI semakin tunduk kepada “Washington Consensus” dengan serius merevisi UU No. 13/2003 sebagai usaha mengikat investasi asing. Fleksibilitas tenaga kerja dibutuhkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan akhirnya mengatasi masalah kemiskinan.
Sejak diberlakukan UU No. 13 Tahun 2003, system kerja kontrak dalam hubungan – industrial menjadi wajar. Ada penggerusan pekerjaan tetap sehingga pekerja tetap menjadi pekerjaan outsourcing. Artinya outsourcing bukan lagi yang bukan cor bisnis tetapi sudah merambat pada cor bisnis. Akibatnya banjir bandang PHK tak terhindari dan merusak tatanan hubungan industrial.
Perubahan status kerja, dari buruh tetap menjadi buruh kontrak & outsourcing berdampak buruk bagi buruh. Angka pendapatan buruh turun dratis. Upah buruh tak lebih dari UMK/P bahkan ada yang menerima upah dibawah upah yang ditentukan oleh Negara. Semua tunjangan yang diberikan pada buruh tetap hilang ketika buruh tetap berubah menjadi buruh kontrak. Sistem kerja kontrak atau outsourcing dinilai oleh buruh sebagai proses ‘pemiskinan’ buruh.
Realitas kemiskinan buruh juga dapat dilihat dari fakta bahwa buruh mengatur pendapatannya. Agar buruh tetap bisa hidup, buruh yang berstatus kontrak atau outsourcing melakukan penghematan. Ada beragam cara, mulai dari kuantitas maupun mencari barang pengganti yang relative lebih murah. Dalam konsumsi pangan , berupaya mengurangi jumlah bahan pangan yang dikonsumsi, bahkan ada yang menurunkan kwalitas bahan pangan dengan pilihan yang harga murah. Menyikapi kenaikan biaya transportasi, upaya penyiasatan dilakukan dengan mengurangi frekuensi bepergian maupun upaya mengganti angkutan dengan alat anggkutan yang lebih murah.
Buruh kontrak atau outsourcing mengalami krisis pekerjaan. Kapan saja pekerjaan dapat berakhir atau hilang. Lama, tidaknya pekerjaan tergantung belas kasih majikan. Umur masa kontrak bisa tiga bulan atau eman bulan, setelah itu buruh tidak tahu nasibnya. Dengan kata lain buruh mengalami ketidak pastian kerja.
Fakta lain yang memperlihatkan rendahnya tingkat kesejahteraan bahwa buruh kontrak atau outsourcing tak lagi mendapat fasilitas kesehatan. Mereka tak mengenal Jamsostek. Sedangkan biaya kesehatan di masyarakat cukup tinggi. Keterbatasan upah yang diterima, buruh kontrak tak mampu membiayai kesehatan. Banyak dari mereka yang rentan akan penyakit yang disebabkan oleh kerja.
Ada lapangan kerja, tetapi proses rekrutmen harus melalui agen-agen tenaga kerja dan harus mengeluarkan banyak ongkos antara 600 ribu hingga 1,5 juta, tergantung masa kontraknya. Buruh atau calon tenaga kerja kini tidak lagi leluasa menemukan kesempatan kerja, tetapi harus berhadapan dengan broker-broker tenaga kerja dalam banyak rupa. Buruh menjadi barang yang diperjual belikan. Buruh benar – benar merupakan komoditas.
Pada jaman fleksibilitas pasar tenaga kerja memposisikan tenaga buruh menjadi kepentingan majikan, merupakan sesuatu yang sedemikian melekatnya pada pribadi buruh, sehingga buruh itu selalu harus mengikuti tenaganya ketempat dan pada saat majikan memerlukannya serta mengeluarkannya menurut kehendak majikan itu. Dengan demikian buruh juga jasmaniah dan rohaniah tidak bebas. Disinilah letak kemiskinan buruh akan kekebasan sebagai seorang pribadi buruh.
Satu atap ada dua perusahaan(perusahaan pemberi kerja dan perusahaan pemasok buruh) cukup merepotkan buruh. Buruh mengabdi kepada majikan yang tidak jelas. Jika ada masalah, buruh bingung mengadunya Di satu sisi, buruh menikmati kebebasan berserikat. Di sisi yang lain, serikat buruh banyak kehilangan anggota sebagai dampak system kontrak atau outsourcing. Wajar jika anggota buruh semakin hari semakin merosot karena peralihan status kerja, dari tetap ke kontrak. Sedangkan serikat buruh yang beranggotakan buruh kontrak atau outsourcing masih terbatas pada wacana.
Liberalisasi kebijakan perburuhan sebagai tercermin dalam pemberlakukan UU 13/2003 untuk memperluas kesempatan kerja, justru yang terjadi sebaliknya. Yakni memperluas ketidakpastian kerja. Secara kuantitatif , dengan liberalisasi angka pengangguran tidak turun justru naik hingga 11, 6 juta jiwa. Mobilitas tenaga kerja karena system kontrak tidak mudah menemukan pekerjaan baru, tetapi justru memperpanjang masa pengangguran. Hal ini disebabkan oleh karakter tenaga kerja yang sebagian besar underskilled . Secara kualitatif , liberalisasi melalui system kontrak tidak makin mensejahterakan buruh, tetapi justru semakin menggiring pada kondisi kemiskinan
Dari kenyataan praktik system ekonomi kapitalis di atas, factor utama penyebab kemiskinan buruh adalah (1) kelebihan tenaga kerja dan langkanya lapangan kerja (ketidakpastian kerja), (2) ketidakadilan dalam membayar upah (upah rendah), (3) ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup dan biaya hidup yang tinggi (buruh harus nombok), (4) tiada jaminan social bagi buruh (tak ada jamsostek). Bisa jadi kemiskinan buruh termasuk “transcient poverty”, yakni kelompok masyarakat yang rentan terhadap kebijakan pemerintah atau perubahan kondisi ekonomi, mulai dari perubahan harga hingga inflasi.
Jika ditilik dari jenis kemiskinan, faktor penyebab kemiskinan buruh berada di luar buruh, (seperti penindasan, penghisapan) yakni system ekonomi kapitalis yang diusung oleh negara-negara luar Indonesia. Kemiskinan buruh diakibatkan ketergantungan eksternal Indonesia terhadap negara – negara maju, ketergantungan secara ekonomi, politik dan cultural terhadap kekuatan-kekuatan di luar Indonesia sendiri. Ketergantungan ini terinternalisasikan dalam liberalisasi hubungan –industrial dalam negeri.
Sistem ekonomi kapitalis Indonesia saat ini, menghasilkan kemakmuran bagi sekelompok kecil orang, seperti elite pasar, politik, birokrasi dan kemelaratan buruhnya. Kelompok elite kaya dan berkuasa menciptakan system ekonomi yang mematikan kesadaran pembebasan buruh melalui penetrasi ideology neoliberalisme maupun membungkam aspirasi-aspirasi buruh dengan melemahkan gerakan buruh. Buruh miskin adalah kaum buruh, yakni kelompok social khusus yang mengalami eksploitasi dari kelas social yang lain. Kelompok buruh yang diupah secara tidak adil, sulit menyalurkan aspirasi, sulit memiliki serikat buruh.
Liberalisasi ekonomi dan ideology neoliberalisme bertubi – tubi menuntut negara agar mengurangi intervensi negara dalam mengatur ekonomi, membiarkan mekanisme pasar bekerja, peningkatan kompetisi…dst. Dalam konteks buruh, negara membiarkan buruh diatur oleh mekanisme pasar. Mengurangi intervensi negara berarti usaha untuk melucuti peran negara dalam mengelola ekonomi pada akhirnya memenangkan kelompok kecil elite politik dan pelaku bisnis, local maupun global. Korban yang tak terelakan adalah orang – orang yang tergolong dalam ‘kelas bawah” : petani dan buruh.
Bagaimana buruh keluar dari kubang kemiskinan? Faktor utama penyebab kemiskinan buruh bukan dari buruh sendiri tetapi struktur ekonomi kapitalis yang tidak adil. Dan negara ikut berkontribusi dalam memiskinkan buruh lewat kebijakan- kebijakan ekonomi. Oleh sebab itu, yang utama dan pertama yang kita tuntut adalah peran negara dalam menyelesaikan masalah kemiskinan buruh. Prinsip negara kita adalah : tidak seorangpun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba; perbudakan ,perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang bertujuan kepada itu dilarang.
Negara perlu mengupayakan perlindungan dan pengawasan terhadap hubungan industrial secara lebih serius. Disamping itu perlu dibarengi dengan menciptakan kebijakan –kebijakan perburuhan yang mempertimbangkan kaum buruh. Kebijakan –kebijakan tersebut mesti mudah diakses oleh kaum buruh seperti pendidikan , kesehatan dan bentuk –bentuk jaminan social. Sebab prinsip Negara mengusahakan keadilan dan menciptakan tatanan masyarakat yang adil, dengan mengindahkan prinsip subsidiaritas yang menjamin kebutuhan setiap orang. Disamping negara, Masyarakat buruh mempunyai tugas langsung menghasilkan tatanan yang adil dan sejahtera. Caranya dengan berpartisipasi secara pribadi maupun bersama dalam hidup public.
Negara melalui Depnaker-tarns (Departemen Tenaga Kerja dan Tarnsmigrasi) dan Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) tingkat propinsi atau kabupaten mengembalikan fungsinya sebagai institusi resmi sebagai penyedia tenaga kerja. Refungsi Depnaker-Trans dan Disnaker sebagai penyedia tenaga kerja dengan sendirinya rantai perdagangan manusia yang dilakukan oleh lembaga-lembaga outsourcing tenaga kerja musnah.
Tidak hanya buruh yang dijadikan variable pasar tenaga kerja, namun SB(Serikat Buruh) harus dimasukan dalam variable pasar tenaga kerja. Artinya keterlibatkan SB dalam menentukan kebijakan pasar tenaga kerja perlu ditegaskan kembali di republic ini. (***)

Jakarta, 18 September 2006

Penulis aktif diberbadai LSM perburuhan dan bekerja di Biro Pelayanan Buruh KAJ.

Jumat, 13 Mei 2011

No. 4 Tahun ke-I, April – 07 Mei 2011 BPB News Informasi Geliat Biro Pelayanan Buruh LDD- KAJ Email : bpb.ldd@gmail.com

Oleh- Oleh dari Purwokerto

JAKARTA, BPB – “Membangun manusia lewat Credit Union”, kata – kata pembukaan yang dilontarkan Slamet, pada pertemuan pendamping buruh, Jum’at (1/4) di ruang kerja BPB. Rapat Jum’at I kali ini, yang dihadiri Bapak Gathot, Slamet, Shukur, Hermawan dan Kasminah, Sr. Angeline SFD, serta Sr. Stella HK, khusus mendengarkan dan belajar tentang CU yang dikembangkan oleh CU Cikal Mas Purwokerto- Jawa Tengah.

Selain belajar tentang alur KAS, peserta diajak menemukan roh CU sebagai gerakan. Menurut Sr. Angeline SFD, roh CU menjadi komitmen semua lini Keuskupan Purwokerto, dari Uskup- Pastor dan Seksi Sosial Paroki hingga umat. Roh tersebut yang mengilhami semangat suster untuk mengembangkan CU ditengah – tengah kaum buruh.

Hermawan, asal Klaten lebih belajar bahwa kerja – kerja CU di Purwokerto sudah professional. Ia mengusulkan agar system organisasi dan program yang digunakan di CU Cikal Mas diterapkan di CU PAS. (G)

Sosialisasi Hasil Studi CU

CITRA RAYA, PBB – Sebagai bentuk pertanggung – jawaban teman – teman pengurus CU PAS yang dikirim ke Purwokerto mensosialisasi hasil studinya bagi teman – teman pengurus lainnya dan FBB di Sentrum Buruh Citra Raya – Tangerang, Minggu (3/4).

Slamet Hendrikus, salah satu peserta studi, melihat keberhasilan CU Cikal Mas Purwokerto membandingkan sebagai pembelajaran dengan capain – capain CU PAS yang baru belum genap seumur jagung.

Sebagai refleksi kinerja CU PAS, sebanyak 11 orang peserta yang hadir, menyepakati bahwa setiap minggu ke II, ada pertemuan pengurus sebagai ruang studi, khusus belajar tentanng CU secara tematis.

Motivasi Credit Union

TIGARAKSA, BPB – Sebanyak 6 orang buruh anggota OBKO Tigaraksa, mengikuti program motivasi Credit Union di Susteran SFD, Matagara Tigaraksa – Tangerang, Senin (4/4). Selain motivasi, ada pencairan pinjaman anggota CU PAS yang berdomisili di Tigaraksa.

Dari 6 orang yang datang, 2 orang masuk anggota CU PAS. Sedangkan 4 orang lainnya akan menyusul mengikut kedua temannya untuk bergabung CU PAS.

Menabung Rp. 5000,- per Minggu

CENGKARENG, - BPB – ”Ibu – ibu kita sepakat menabung Rp. 5000,- per minggu”, pinta Tri Handayani. Begitulah sepenggal pembicaraan yang melibatkan pekerja rumahan yang tinggal di Perum RUSUN Cengkareng Jakarta Barat, Sabtu (9/4).

Sebanyak 11 pekerja rumahan yang akan bergabung dalam kelompok pekerja rumahan rusun Cengkareng. Mereka mengambil pekerjaan menjahit dari pengepul untuk dikerjakan di rumah masing – masing. Setiap hari Sabtu, mereka mendapat upah. Oleh sebab itu, kalau mereka tidak keberatan untuk menabung Rp. 5.000,- per minggu.

Peserta sepakat untuk bertemu lagi, pada hari Sabtu, 7 Mei 2011 di tempat yang sama. Untuk awal pengorganisasian sdri Tri Handayani diminta untuk menjadi koordinator kelompok pekerja rumahan di Cengkareng.

Terbangun Relasi Baru

BULAK KAPAL, - BPB- Pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing di wilayah Bulak Kapal Bekasi merupakan target program BPB 2011. Komitmen itu, dijalankan atas pertimbangkan keberadaan sentrum bulak kapal dan 2 frater SX yang ingin terlibat dalam pastoral perburuhan serta fokus program BPB 2011.

Biro Pelayanan Buruh- LDD KAJ membangun kontak dengan koordinator komunitas Bulak Kapal – Bekasi, di Sentrum Buruh, Jl Cendrawasih II,Sabtu (16//4).

Kontak dilakukan untuk membangun kesepahaman relasi baru dengan komunitas bulak kapal dalam pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing di wilayah tersebut.

Selain sosialisasi program BPB tahun 2011, merekomendasikan dampingan baik dalam persiapan maupun sudah terbentuk sebagai langkah pengorganisasian yang dilakukan tahun 2010 – 2011.

Bagi komunitas Bulak Kapal, semula terbangun relasi dengan BPB berdasarkan buruh katalik, sekarang musti terbuka relasi dengan BPB berbasis buruh kontrak & outsourcing.

Buruh Melawan Kemiskinan

JAKARTA,- BPB – Telah terbit Majalah GARIS, edisi : 07/VIII/Jan – Mar 2011 dengan tema besar ”Buruh Melawan Kemiskinan ”, Jum’at (15/4). ”Gerak Arus Informasi Forum Garis”, demikian motto GARIS sebagai alat pendidikan penyadaran & pencerdasan bagi buruh.

Edisi pertama tahun 2011, mengajak buruh bahwa hak ekonomi, nilainya sama dengan hak normatif yang selalu diperjuangkan oleh buruh. Oleh sebab itu, kegiatan ekonomi buruh diluar pabrik perlu mendapat perhatian dan dihidupi yang selama dilupakan oleh LSM perbruruhan dan serikat buruh.

Bentuk perlawanan terhadap kemiskinan buruh adalah menciptakan jiwa entrepreneur bagi buruh industri. Pengalaman di lapangan bahwa buruh dapat mengembangkan jiwa entrepreneur, seperti : Atjep Atmaja, buruh PT Molex Ayus mengembangkan bisnisnya berternak ayam potong. Begitu juga, Bowo buruh PT Sparindo Mustika membuka usaha salon dan menerima jasa menjahit sebagai usaha mandiri.

Bantuan Susu Formula

JAKARTA, - BPB – Sebanyak 40 kg susu formula didistribusikan ke Kelompok Buruh Kontrak & Outsourcing Tigaraksa, Kamis (21/4). Pengadaan susu bubuk atas kerjasama dengan Biro Pelayanan Masyarakat – LDD KAJ diperuntukan peningkatan kesehatan buruh.

Disamping itu, pengadaan bantuan susu formula bagi buruh merupakan cara menghidupi usaha bersama memenuhi kebutuhan pangan. Maka bantuan tersebut tidak gratis, anggota kelompok dapat membeli dengan harga relatif murah. Hasil dari penjualan ”Susu Bubuk” super murah, - dikumpulkan untuk modal usaha sembako murah.

Isu May Day 2011

JAKARTA, BPB - Puluhan ribu buruh se Jabotabek mengadakan perhelatan Hari Buruh Internasional di Bundaran HI & Istama Merdeka, Minggu (1/5)

Mulai jam 12.00 WIB, ribuan masa buruh memadati Jl. Merdeka Utara. Melalui gerbong FSPMI, para buruh menyerukan agar pemerintah menjalankan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional 100 % dan mendesak pengesahan Rancangan Undang – Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Sementara di Kabupaten Tangerang ribuan buruh pawai motor ke pusat kegiatan perayaan May Day di depan PT Chinluh – Cipupa Tangerang. Masa buruh yang dimotori oleh KASBI & SPSI mengutuk kehadiran ”neoliberalisme’.

Tuntutan buruh: Naikan Upah Buruh sesuai dengan Upah Layak, Berikan jaminan kepastian kerja, hapus sistem kontrak & outsourcing, berikan jaminan sosial bagi buruh dan keluarganya, berikan perlindungan kebebasan berserikat, cabut dan menghentikan rencana revisi UU perburuhan yang tidak berpihak pada buruh, serta menuntut 1 Mei sebagai Hari Buruh dan Libur Nasional.

Pensiun Dini

JAKARTA- BPB – Maria Theresia Antonia Deliana Pepe yang bekerja di LDD KAJ sebagai staf BPB sejak 01 November 1991 mengajukan pensiun dini.

Pensiun dini tertanggal 04 Mei 2011. Mbak Deli secara khusus mohon pamit kepada teman – teman mitra, CO dan buruh dampingan. Mohon maaf jika ada kesalahan. (***)

Upah Buruh Murah

Oleh: L. Gathot Widyanata

Pengantar

Sudarti, buruh perempuan asal Banyumas – Jawa Tengah. Ia datang ke Tangerang 5 tahun yang lalu. Berbekal ijasah SMA, ia diterima kerja di perusahaan tekstil di kawasan Industri Manis Tangerang. Oleh pemilik modal, tenaganya dihargai sebesar UMK (Upah Minimum Kota) Tangerang. Upah sebesar UMK sebagai imbalan atas tenaganya, ia berharap dapat memenuhi biaya yang diperlukan untuk menghadirkan kemampuan kerjanya yang sehat secara fisik dan di pabrik.

Sejak tahun 2007, perusahaannya melakukan efesiensi perusahaan dengan strategi pemutihan. Darti harus menelan pil pahit, status kerja kontrak harus diterima. Nilai nominal upah rendah dan tidak sebanding dengan tingginya biaya hidup.

Baru 2 tahun, Darti menjalani kontrak kerja, pihak pemilik modal men-outsoucing-kan Darti ke perusahaan perekrut tenaga kerja. Dengan demikian, hubungan kerja Darti dibawah manajemen perusahaan perekrut tenaga kerja tersebut. Selain menerima upah yang rendah, ia harus rela upahnya dipotong oleh agen perekrut tenaga kerja.

Hingga hari ini, Darti dan keluarganya menempati sepetak kontrakan di Desa Gandasari Cikoneng Tangerang. Upah sebesar UMK menjebak Darti kedalam jurang kemiskinan tanpa ada kemungkinan untuk keluar dari dalamnya. Karena upah yang diterima, sebagian besar dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang.

Dari fakta di atas, juga dialami oleh jutaan buruh, hidup di bawah atau pada garis kemiskinan. Saat ini, jutaan buruh sedang menghadapi pemiskinan yang bekerja disektor industri manufaktur. Mengapa buruh tetap terbelenggu dalam kemiskinan? Kemiskinan buruh di sector industri merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam rangka menarik investor – investor asing masuk ke Indonesia.

Indrasari Tjandraningsih, peneliti perburuhan AKATIGA, menyebutkan ada dua strategi dasar yang dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan.

Upah Murah & UMP/K

Dalam rangka menarik investor-investor asing masuk ke Indonesia, pemerintah mengajukan berbagai penawaran kepada para investor. Dalam rangka meyakinkan investor bahwa berinvestasi di Indonesia menguntungkan, salah satu yang ditawarkan ialah upah murah dari buruh di Indonesia.

Kebijakan politik upah murah yang ciptakan oleh rezim Orde Baru, tak pernah dicabut bahkan dipertahankan hingga hari ini. Sebagai bukti politik upah murah masih ada, seperti yang dikutip Koran Kontan Kamis , 21 April 2011, secara terang –terangan, Menteri Perdagangan RI Mari Pangestu mengakui bahkan ”menyukuri” tingkat upah buruh Indonesia yang murah dibandingkan dengan Negara – Negara lain sebagai “keunggulan” dan “daya tarik” industri yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.

Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 88, Bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Menurut Oki Hajiansyah Wahab, Alummus Magister Unila, layak ini kemudian ditafsirkan oleh pemerintah dengan menetapkan mekanisme upah minimum yang penetapannya dibuat berdasarkan survei kebutuhan hidup layak yang mekanisme penetapannya diatur dalam Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005.

Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga yang bertanggung jawab dalam proses menuju penetapan upah minimum. Ia merupakan lembaga non-struktural yang terdiri dari unsur tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah). Lembaga inilah yang membentuk Tim untuk melakukan Survei Harga, menetapkan nilai KHL, serta mengajukan usulan kenaikan upah minimum yang akan ditetapkan oleh Gubernur.

Kebijakan pengupahan tentang UMP/K (Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota adalah strategi pemerintah untuk mempertahankan politik upah murah. UMP/K ditetapkan berdasarkan surve KHL yang terendah, tanpa mempertimbang tingkat inflasi. Oleh sebab itu, UMP/K yang ditetapkan oleh Gubernur itu, selalu tidak memenuhi kebutuhan buruh. Dengan kata lain, UMP/K tidak pernah 100% KHL.

Ketetapan UMP/K yang tak pernah 100% KHL, secara normatif, pengusaha masih diberikan peluang untuk tidak membayar upah buruhnya sesuai dengan kenaikan upah minimum, atas nama penangguhan pelaksanaan.

Setiap tahun buruh di Indonesia selalu dikecewakan oleh keputusan pemerintah tentang Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota. Kecewa, karena kenaikan upah yang terjadi tidak pernah sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari.

Upah Murah & Kebijakan Fleksibilitas Hubungan Kerja

Selain kebijakan UMP/K, politik upah murah dipertahankan lewat kebijakan fleksibilitas ketenagakerjaan. Dalam kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel memperlihat tekanan kapitalis global agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing.

Penerapan buruh kontrak dan outsourcing secara bebas tanpa control pemerintah, pada akhirnya telah membebaskan pengusaha dari keharusan membayar upah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ke depan, pengupahan buruh akan semakin menyulitkan buruh, jika perjuangan Pengusaha melalui Apindo dan Kadin berhasil menghapuskan campur tangan pemerintah melalui penetapan upah minimum dan menggantinya dengan penentuan upah berdasarkan kepentingan pasar. Jika ini menjadi kenyataan, maka tidak akan ada lagi perlindungan Negara terhadap upah buruh.

Salah satu dampak langsung harus dialami buruh dari hubungan kerja kontrak & outsourcing adalah upah. Dari data yang ditemukan ada kecenderungan bahwa status kontrak dan outsourcing berarti besaran upah menurun. Penurunan upah disebabkan oleh UMK menjadi patokan tetapi banyak yang dibawah UMK, nilai nominal upah rendah dan tidak sebanding dengan biaya hidup, upah masih dipotong oleh agen tenaga kerja.

Buruh Terjebak Upah Murah

Dengan upah murah kaum buruh terjebak dalam kemiskinan tanpa ada kemungkinan untuk keluar dari dalamnya. Upah murah yang didapat oleh kaum buruh akan habis untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang.

Keberadaan upah murah akan berdampak pada rendahnya daya beli dan rendahnya investasi maupun tabungan dari kaum buruh. Dari sisi daya beli, maka dengan murahnya upah buruh mengakibatkan lesunya pergerakan sektor riil yang menjual baranng atau jasa disamping penyediaan barang dan jasa pemenuhan kebutuhan primer.

Dengan upah murah, kemampuan buruh untuk menyekolahkan anak menjadi rendah dan tingkat intelektualitas buruh menjadi rendah dan dunia usaha akan kesulitan memperoleh tenaga kerja yang terdidik (Simon J Sibarani 2011)

Upah buruh murah melahirkan permasalahan urban yang luar biasa pelik. Penghasilan minim dari bekerja di pabrik membuat lebih banyak orang memilih terjun di sektor informal, seperti menjadi PKL, pedagang asongan bahkan pengamen.

Penutup

Politik upah murah merupakan produk kebijakan pengupahan rezim Orde Baru dan dipertahankan dalam pengaturan upah minimum dalam wujud berlakunya UMP/K sampai hari ini. Politik upah murah diperluas dengan lahirnya kebijakan fleksibilitas ketenagakerjaan yang berakibat langsung penurunan upah buruh.

Upah murah dan ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia (Indrasari Tjandraningsih).

Indonesia adalah salah satu negara yang sudah meratifikasi DUHAM, sehingga memiliki kewajiban dan pertanggung-jawaban terhadap dunia internasional untuk menjamin bahwa buruh menerima upah yang layak.

Indonesia sendiri sebagai negara hukum telah menjamin penghidupan yang layak bagi setiap warga negaranya (Pasal 27 UUD 1945). Bagi buruh penghasilan tersebut diterjemahkan sebagai upah. Selanjutnya Pasal 88 UU No. 13 tahun 2003 mengatur bahwa penetapan upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan yang hidup yang layak bagi buruh dan keluarganya. (Penulis adalah Kepala Biro Pelayanan Buruh – LDD KAJ)