Jumat, 08 Februari 2013

“ALHAMDULILLAH Horizontal Scroll: “Sudah 25 tahun saya memimpikan punya gaji 2 juta, baru sekarang kesampaian”, begitulah ungkapan kegembiraan Siti Komsiatun, seorang Buruh Pabrik Garment di Jl. Gatot Subroto Kota Tangerang, ketika dirinya mendengar kabar bahwa Gubernur Banten sudah memutuskan Upah Minimum Kota Tangerang tahun 2013 sebesar Rp. 2.203.000,- GAJIKU SEKARANG 2 JUTA”




            Ungkapan Siti Komsiatun di atas bisa jadi ungkapan spontan, tetapi ungkapan itu mewakili puluhanribu bahkan ratusanribu BURUH di zone-zone industry yang sudah puluhan tahun bekerja namun upah mereka hanya Upah Minimum Kota (UMK). Kondisi yang seakan tidak bisa diubah. Seperti kita ketahui,  setiap tahun ketika UMK akan ditetapkan, selalu terjadi “aksi” Buruh di hampir semua wilayah. Bagaimana dengan UMK 2013 ?

            UMK 2013 ternyata lebih “heboh” lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Ketika UM Provinsi DKI ditetapkan sebesar Rp. 2.200.000, justru kalangan pengusaha yang kemudian teriak lebih kencang, meskipun di kalangan Buruh dan Serikat Pekerja-Serikat Buruh pun masih menganggap nilai tersebut masih sangat kecil dibanding dengan kebutuhan hidup layak bagi Buruh dan Keluarganya. Maka tahun 2013 kemudian diawali dengan “gejolak” industry, bukan saja dari Buruh tetapi juga dari kalangan Pengusaha yang justru “berteriak” lebih kenceng pasca ditetapkannya UMK dan UMP.
Di satu sisi Buruh dan kalangan Serikat Buruh menilai bahwa besaran UMK/UMP belumlah mencukupi sebagai ukuran Hidup Layak, sejalan dengan perjuangan mereka mencapai Upah Layak sebagaimana diamanatkan oleh UU no. 13/2003 yang telah lebih dari satu dekade, Upah Buruh takkunjung berubah menjadi upah layak. Buruh dalam mencukupkan setiap kebutuhan hidup diri dan keluarganya sangat tidak layak. Sementara UMK/UMP hanyalah hitungan upah bagi Buruh lajang di bawah satu tahun masa kerja yang nilainya dihubungkan dengan angka kenaikan harga kebutuhan setahun sebelumnya melalui survey pasar oleh anggota Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten atau Provinsi.
Di sisi lain, Pengusaha dan Assosiasi Pengusaha menyangkut besaran UMK selalu dijadikan dasar untuk membatasi pemberian upah bagi seluruh Pekerja/Buruhnya tanpa melihat masa kerja masing-masing. Sehingga kemudian UMK menjadi bukan lagi upah minimum justru menjadi upah maksimum yang wajib dibayarkan kepada Pekerja/Buruh. Upah Pekerja/Buruh bagi Pengusaha adalah beban biaya. Semakin besar upah dibayar kepada Pekerja/Buruh maka semakin tinggi biaya dan semakin kecil keuntungan. Kalau model seperti ini kemudian menjadi wajah hubungan kerja tentulah menimbulkan banyak persoalan. Dan itulah kondisi yang terjadi setiap kali UMK/UMP ditetapkan, kalau dulu Buruh yang berteriak, kini sudah mulai bergeser, bukan hanya Buruhnya tetapi Pengusaha juga demikian.

            Pasca ditetapkannya UMK/UMP 2013, kalau tahun-tahun sebelumnya kalangan Pengusaha menggunggat keputusan Gubernur lewat jalur Hukum dengan mem-PTUN-kan Gubernur dan melakukan upaya menangguhkan pelaksanaannya, tetapi tahun 2013 ini Pengusaha lebih menempuh jalan mengajukan penundaan pelaksanaan UMK/UMP. Bahkan tidak sanggup membayar UMK/UMP.
Di wilayah DKI misalnya, hampir 400 perusahaan baik kecil maupun besar beramai-ramai mengirim pengajuan penangguhan pelaksanaan UMP 2013. Kemudian di wilayah Banten, mendekati angka 500 perusahaan yang mengajukan penangguhan.
Ketidakmampuan perusahaan dalam membayar UMK/UMP akibat dari harga jual hasil produksi yang tidak sanggup menutupi biaya operasional termasuk upah Buruhnya, itulah yang lebih banyak dijadikan alasan menyangkut kondisi keuangan perusahaan.
Sampai tulisan ini diturunkan, berapa jumlah perusahaan yang disetujui dari pengajuan penangguhan UMK/UMP belum diketahui. Namun apabila itu terjadi dan banyak persetujuan diberikan, apalah artinya.

            Maka kegembiraan Siti Komsiatun dan teman-temannya menjadi pupus tatkala UMK/UMP yang seharusnya dilaksanakan dan dinikmati Buruh milai 1 Januari 2013, menjadi terhambat akibat adanya persetujuan penangguhan pelaksanaan UMK/UMP. Di beberapa perusahaan (Banten) bahkan sudah ada yang membayar Upah Buruh antara  Rp 1,8 jt, s.d. Rp 2 juta, nilai di bawah UMK. Apakah kemudian yang akan terjadi ? Tentu kita tidak berharap hal ini akan terus berjalan, tetapi bagaimana upaya semua pihak untuk menghentikan praktek-praktek melanggar aturan demikian ini dapat diatasi.
Persoalan demikian tentu tidak mendidik karena Pengusaha memberi pembelajaran yang salah dan tidak memberi contoh yang baik melalui mekanisme yang benar. Praktek membayar upah di bawah UMK/UMP ini illegal, maka ketika Buruh melakukan perlawanan apakah yang dapat kita katakan, karena diawali oleh ketidakjujuran dan ketidak adilan yang dilakukan Pengusaha.

            Maka timbulnya gejolak dunia industry pasca ditetapkannya UMK/UMP, apakah Buruh yang disalahkan kemudian Pengusaha selalu benar dan menang ? Atau Pengusaha yan salah dan Buruh selalu benar dan menang ? Tentu bukan itu, tetapi bagaimana gejolak dapat dihindari ?
Mempertemukan kepentingan yang bertolak belakang memang tidak mudah, tetapi bersikap adil dan jujur dalam membangun hubungan kerja selalu memberi solusi. Terus berjuang menuju hidup layak.
.