Oleh: L. Gathot Widyanata
Sebanyak 40 buruh PT Molex Ayus- Tangerang mengadakan konggres SBJ P tingkat pabrik di Sentrum Buruh – Jl. Cello 5 , Taman Puspa - Citra Raya Tangerang, Minggu, 18/9. Dalam konggres tersebut, terpilih sdri Kalwani sebagai ketua SBJ P tingkat PT. Molex Ayus Tangerang, periode 2011 – 2014.
Untuk mensejahterakan anggota, ketua dan pengurus yang terpilih, menyampaikan program kerja jangka pendek dan jangka panjang. Dalam waktu dekat ini, pengurus terpilih akan mengadakan kegiatan tertib administrasi, yakni mendata kembali anggota SBJ P PT. Molex Ayus dan pembuatan kartu anggota. Kerja – kerja advokasi, pengurus akan merundingkan hak – hak normative, yang belum dipenuhi oleh pihak perusahaan.
Kalwani, ketua terpilih menyerukan bahwa “buruh bukan musuh perusahaan tetapi sebagai partner perusahaan”. Artinya, kedua belah pihak saling menghargai. Jika terjadi perselisihan hubungan industrial, harus ditempuh dengan jalan perundingan/dialog, bukan jalan berhadap- hadapan atau konflik.
Apakah kesejahteraan anggota dapat diraih? Sebab dalam dasa warsa terakhir, sepak terjang perjuangan Serikat Buruh berhadapan dengan kekuatan “modal.” Tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan SB sebagai alat perjuangan buruh mati ditengah –tengah “collaboration” kekuatan modal dan negara.
Serikat Buruh Di bawah Kendali Negara
Selama rezim Orde Baru berkuasa, negara melarang pendirian serikat buruh diluar serikat buruh yang direstui oleh negara, yaitu SPSI(Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).
Kekuatan kelas buruh dilemahkan dan dikontrol dengan ketat. Militer dan aparat pemerintahan merupakan mesin control yang efektif untuk meredam gerakan buruh. Banyak penangkapan yang dilakukan oleh negara terhadap aktivis buruh. Pada saat yang sama. kooptasi & pembiusan bagi aktivis buruh dipraktikan. Tak heran jika, banyak aktivis buruh lupa akan perjuangan kelas.
Negara memaksakan doktrin HIP (Hubungan Industrial Pancasila) untuk mengatur hubungan majikan- buruh. Pada kenyataan HIP merupakan doktrin untuk melemahkan perjuangan buruh. Perilaku dan pemikiran yang tidak segaris dengan doktrin tersebut, dianggap merongrong kedaulatan negara.
Ketika gerakan buruh mati dan tak membuahkan hasil, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) perburuhan menguat sebagai alternative kekuatan kelas buruh. Fenomena keterpurukan gerakan buruh dan muncul kekuatan baru membuat negara membagi kekuatan control.
Kontrol negara terhadap kelas buruh terpecah menjadi dua yakni control terhadap LSM perburuhan dan buruh sendiri. Kekuatan kelas buruh dan LSM perburuhan bergabung menjadi kekuatan social untuk menentang rezim yang menindas.
Peran LSM perburuhan dalam meingkatkan kapasitas kader buruh lebih kuat ketimbang peran Serikat Buruh. Kader- kader buruh alternative dipersiapkan untuk menyusup dan merebut kepemimpinan di dalam organisasi buruh tingkat pabrik.
Taktik tersebut diambil, besar harapan para kader dapat memperjuangkan terbentuknya PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang ramah akan kepentingan buruh.
Tak ada gading yang retak, begitu bunyi pribahasa kita, kedua kekuatan gerakan buruh terpecah. Ada pergeseran actor utama dalam penyelesaian masalah perburuhan. Banyak LSM lupa bahwa actor utama perubahan adalah buruh sendiri.
Gerakan buruh menjadi perebutan kepentingan kedua belah pihak. Tak sedikit LSM yang mengabaikan factor keamanan buruh tetapi lebih mengedepankan kepentingannya, yakni “kepopularitas”.
Serikat Buruh Di bawah Kendali Modal
Sejak diratifikasi konvensi ILO no. 87 tentang “hak berserikat”, yang disusul disahkan UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memberikan legitimasi hukum kemudahan procedural pendirian serikat buruh di republic ini.
Pada saat bersamaan Srikat Buruh berhadapan dengan perubahan system produksi massal, secara radikal mengubah suasana kerja dan pola kerja buruh. Serikat Buruh menjadi “linglung” (tak tahu yang harus diperbuat) ketika “modal” menghendaki buruh yang fleksibel.
Kondisi Serikat Buruh mendapatkan kemudahan procedural mendirikan serikat buruh sekaligus berhadapan dengan “modal” yang menghendaki fleksibilitas tenaga kerja. Di satu sisi, SB menemukan kebebasan berorganisasi, namun di sisi yang lain SB mengalami kehancuran. Berkembangnya fleksibilitas tenaga kerja memberikan peneguhan tidak adanya serikat buruh.
Re- assessment Serikat Buruh
Serikat Buruh sedang menikmati kebebasan berorganisasi tidak direspon untuk konsolidasi internal. Kebebasan berserikat banyak ditafsir kebebasan mendirikan organisasi.
Hal ini untuk membongkar fungsi serikat terbatas pada pelaku adminitratif. Mereka lupa bahwa serikat buruh berperan menciptakan aktivitas yang mensejahterakan anggotanya. Cita- cita organisasi dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan zaman. Ideologi buruh diuraikan sesuai kondisi obyektif.
“Serikat Buruh dalam Bayang- Bayang Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja” mendesak dipikirkan kembali pendekatan kepemimpinan Serikat Buruh menjadi kepemimpinan kolektif yang menganut prinsip partisipatif. Semua keputusan organisasi menjadi keputusan bersama.
Arah perjuangan serikat buruh pada jaman fleksibilitas pasar tenaga kerja adalah menjamin keberlangsungan kerja (tetap kerja) atau kepastian kerja. Dengan demikian keberlangsungan hidup terjadi.
Membangun Gerakan Sosial Baru
Banyak Serikat Buruh masih terjebak hanya membangun kekuatan di tingkat pabrik. Serikat Buruh harus melihat permasalahan perburuhan secara makro, dan berusaha untuk menjawabnya. Membangun karakter SB dan melihat masalah perburuhan secara makro agar terbangun gerakan social baru.
Mengenal karakter Serikat Buruh di tingkat perusahaan dan di luar pabrik menjadi focus untuk menyusun kekuatan. SB dituntut membuat profil perusahaan di tingkat pabrik. Sedangkan di luar perusahaan SB dapat mengusahakan memetakan penyebaran kekuatan yang dimiliki oleh buruh dan masyarakat setempat. Target untuk membangun kekuatan social baru dalam gerakan buruh.
Kekuatan kelas buruh tercabik-cabik ketika simpul – simpul kekuatan. Oleh sebab itu, SB dituntut membangun jaringan perjuangan sebagai kekuatan social baru. Program yang dikembangkan adalah program aliansi dan jaringan serta social kemasyarakatan. Ini semua menjadi kerja organisasi, bukan pihak lain.
Walaupun sejarah memperlihatkan hubungan LSM dengan SB amat kelam, namun pada era globalisasi perlu dicoba lagi untuk membangun kekuatan dengan elemen-elemen kekuatan diluar serikat buruh(NGO, Akademis) yang memiliki strategis pemihakan buruh.
Buruh perlu merapatkan barisan dengan gerakan-gerakan social lainnya yang “baru”. SB dalam melakukan propaganda untuk memperbesar dukungan gerakan buruh dari elemen- elemen gerakan rakyat lain. Sadar bahwa kekuatan buruh terbatas untuk melawan kebijakan perburuhan nasional.
Gerakan buruh harus bisa melihat bahwa gerakan social baru yang lain tidak lagi hanya melibatkan buruh saja, tetapi melibatkan elemen – elemen kekuatan diluar buruh. (***)