Ungkapan
Siti Komsiatun di atas bisa jadi ungkapan spontan,
tetapi ungkapan itu mewakili puluhanribu bahkan ratusanribu BURUH di zone-zone
industry yang sudah puluhan tahun bekerja namun upah mereka hanya Upah Minimum
Kota (UMK). Kondisi yang seakan tidak bisa diubah. Seperti kita ketahui, setiap tahun ketika UMK akan ditetapkan,
selalu terjadi “aksi” Buruh di hampir semua wilayah. Bagaimana dengan UMK 2013
?
UMK 2013 ternyata lebih “heboh” lagi
dari tahun-tahun sebelumnya. Ketika UM Provinsi DKI ditetapkan sebesar Rp.
2.200.000, justru kalangan pengusaha yang kemudian teriak lebih kencang,
meskipun di kalangan Buruh dan Serikat Pekerja-Serikat Buruh pun masih
menganggap nilai tersebut masih sangat kecil dibanding dengan kebutuhan hidup
layak bagi Buruh dan Keluarganya. Maka tahun 2013 kemudian diawali dengan “gejolak”
industry, bukan saja dari Buruh tetapi juga dari kalangan Pengusaha yang justru
“berteriak” lebih kenceng pasca ditetapkannya UMK dan UMP.
Di
satu sisi Buruh dan kalangan Serikat Buruh menilai bahwa besaran UMK/UMP
belumlah mencukupi sebagai ukuran Hidup Layak, sejalan dengan perjuangan mereka
mencapai Upah Layak sebagaimana diamanatkan oleh UU no. 13/2003 yang telah
lebih dari satu dekade, Upah Buruh takkunjung berubah menjadi upah layak. Buruh
dalam mencukupkan setiap kebutuhan hidup diri dan keluarganya sangat tidak
layak. Sementara UMK/UMP hanyalah hitungan upah bagi Buruh lajang di bawah satu
tahun masa kerja yang nilainya dihubungkan dengan angka kenaikan harga
kebutuhan setahun sebelumnya melalui survey pasar oleh anggota Dewan Pengupahan
Kota/Kabupaten atau Provinsi.
Di
sisi lain, Pengusaha dan Assosiasi Pengusaha menyangkut besaran UMK selalu
dijadikan dasar untuk membatasi pemberian upah bagi seluruh Pekerja/Buruhnya
tanpa melihat masa kerja masing-masing. Sehingga kemudian UMK menjadi bukan
lagi upah minimum justru menjadi upah maksimum yang wajib dibayarkan kepada
Pekerja/Buruh. Upah Pekerja/Buruh bagi Pengusaha adalah beban biaya. Semakin
besar upah dibayar kepada Pekerja/Buruh maka semakin tinggi biaya dan semakin
kecil keuntungan. Kalau model seperti ini kemudian menjadi wajah hubungan kerja
tentulah menimbulkan banyak persoalan. Dan itulah kondisi yang terjadi setiap
kali UMK/UMP ditetapkan, kalau dulu Buruh yang berteriak, kini sudah mulai
bergeser, bukan hanya Buruhnya tetapi Pengusaha juga demikian.
Pasca ditetapkannya UMK/UMP 2013,
kalau tahun-tahun sebelumnya kalangan Pengusaha menggunggat keputusan Gubernur
lewat jalur Hukum dengan mem-PTUN-kan Gubernur dan melakukan upaya menangguhkan
pelaksanaannya, tetapi tahun 2013 ini Pengusaha lebih menempuh jalan mengajukan
penundaan pelaksanaan UMK/UMP. Bahkan tidak sanggup membayar UMK/UMP.
Di
wilayah DKI misalnya, hampir 400 perusahaan baik kecil maupun besar
beramai-ramai mengirim pengajuan penangguhan pelaksanaan UMP 2013. Kemudian di
wilayah Banten, mendekati angka 500 perusahaan yang mengajukan penangguhan.
Ketidakmampuan
perusahaan dalam membayar UMK/UMP akibat dari harga jual hasil produksi yang
tidak sanggup menutupi biaya operasional termasuk upah Buruhnya, itulah yang
lebih banyak dijadikan alasan menyangkut kondisi keuangan perusahaan.
Sampai
tulisan ini diturunkan, berapa jumlah perusahaan yang disetujui dari pengajuan
penangguhan UMK/UMP belum diketahui. Namun apabila itu terjadi dan banyak
persetujuan diberikan, apalah artinya.
Maka kegembiraan Siti Komsiatun dan
teman-temannya menjadi pupus tatkala UMK/UMP yang seharusnya dilaksanakan dan
dinikmati Buruh milai 1 Januari 2013, menjadi terhambat akibat adanya
persetujuan penangguhan pelaksanaan UMK/UMP. Di beberapa perusahaan (Banten)
bahkan sudah ada yang membayar Upah Buruh antara Rp 1,8 jt, s.d. Rp 2 juta, nilai di bawah
UMK. Apakah kemudian yang akan terjadi ? Tentu kita tidak berharap hal ini akan
terus berjalan, tetapi bagaimana upaya semua pihak untuk menghentikan
praktek-praktek melanggar aturan demikian ini dapat diatasi.
Persoalan
demikian tentu tidak mendidik karena Pengusaha memberi pembelajaran yang salah
dan tidak memberi contoh yang baik melalui mekanisme yang benar. Praktek
membayar upah di bawah UMK/UMP ini illegal,
maka ketika Buruh melakukan perlawanan apakah yang dapat kita katakan, karena
diawali oleh ketidakjujuran dan ketidak adilan yang dilakukan Pengusaha.
Maka timbulnya gejolak dunia
industry pasca ditetapkannya UMK/UMP, apakah Buruh yang disalahkan kemudian
Pengusaha selalu benar dan menang ? Atau Pengusaha yan salah dan Buruh selalu
benar dan menang ? Tentu bukan itu, tetapi bagaimana gejolak dapat dihindari ?
Mempertemukan
kepentingan yang bertolak belakang memang tidak mudah, tetapi bersikap adil dan
jujur dalam membangun hubungan kerja selalu memberi solusi. Terus berjuang
menuju hidup layak.
.