Jumat, 03 Desember 2010

Dari Solidaritas ke Serikat Buruh

Oleh: L. Gathot Widyanata

Pengantar

“Mari Berbagi” merupakan tema APP tahun 2011 yang disepakati oleh umat katolik se KAJ (Keuskupan Agung Jakarta). Tema tersebut memberi focus perhatian untuk pertobatan dan gerak bersama dalam rangka bekerjasama melawan kemiskinan adalah berbagi. Sejak Sinode I KAJ (1990) hingga SAGKI 2005 melalui Biro Pelayanan Buruh LDD, Gereja setia untuk hadir di tengah – tengah kaum buruh, sebagai bukti bahwa Gereja memiliki kepedulian pada masalah perburuhan.

Dalam konteks hubungan- industrial yang fleksibel, tema tersebut dapat menginspirisari masyarakat industri untuk mengembangkan solidaritas dan mewujudkan buruh dalam model kerja yang fleksibel terorganisir. Di dalam tulisan selanjutnya, penulis akan memfokuskan diri pada perubahan model kerja dan dampaknya bagi buruh sendiri dan bagaimana buruh dengan model kerja “fleksibel” membangun kekuatan kolektifnya? Tawaran perubahan: terciptanya solidaritas pada sesama pekerja/buruh dan serikat buruh yang berbasis buruh kontrak dan outsourcing.

Perubahan Model Kerja

Saat ini, teridentifikasi ada perubahan dunia kerja dari model kerja “tetap” diganti model kerja “fleksibel” di tingkat perusahaan. Dalam model kerja “tetap” maksudnya adalah model kerja dimana perusahaan memberikan kerja jangka panjang bagi si buruh dan dengan demikian dapat menjamin terjadinya promosi jabatan di dalam perusahaan. Dalam model kerja “fleksibel”, buruh dituntut untuk lebih lentur dalam melakukan pekerjaan, tidak tersekat oleh rincian kerja (job description) yang kaku, dan diharapkan mampu beradaptasi lebih cepat dengan perubahan – perubahan.

Model kerja “fleksibel” , kalau dilihat dari durasi masa kerja: jangka pendek dan rotasi kerja. Bentuk model kerja “fleksibel” adalah kontrak dan outsourcing. Sistem kerja “fleksibel” mematahkan hubungan kerja kolektif menjadi hubungan kerja yang lebih individual. Buruh yang terjebak dalam model kerja “fleksibel” memiliki karakter yang terpenting dapat bekerja (employability security) dan buruh dituntut dapat melakukan berbagai pekerjaan (multi skill & job).

Logika pasar memberikan alasan, mengapa banyak perusahaan menggunakan model kerja “fleksibel”? Model kerja “fleksibel” menjadi salah satu strategi survivalness korporasi, stabilitas ekonomi dan pertumbuhan dalam menghadapi krisis ekonomi dunia. Oleh sebab itu, model kerja “fleksibel” akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan pemerataan kesempatan kerja yang pada gilirannya dapat menciptakan perbaikan tingkat pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan.

Dalam kenyataannya, model kerja “fleksibel” dalam konteks pasar kerja kerja yang fleksibel dipandang oleh pemakai tenaga kerja sebagai langkah efesiensi produksi dan melipatgandakan keuntungan modal. Mengingat, sistem pasar kerja yang fleksibel memperkecil biaya rekrutmen dan PHK. Jam kerja dan besaran upah difleksibilisasikan sesuai dengan siklus bisnis atau fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang diproduksi (Tjandraningsih & Nugroho, 2007).

Proteksi Bagi Buruh Dihilangkan

Bagi perusahaan, praktek penggunaan model kerja fleksibel bukan perilaku yang melanggar hukum, sebab praktek tersebut didukung oleh negara. Negara menciptakan berbagai instrument regula yang melegalkan praktek penggunaan model kerja fleksibel. Sejumlah instrumen regulasi yang dianggap terlalu ketat membatasi kebebasan dicabut atau diperlunak. Aturan-aturan yang terlampau protektif bagi pekerja dihilangkan.

Negara juga didorong untuk melegalkan sistem kontrak kerja dan outsourcing seluas mungkin untuk menjamin keleluasaan bergerak pekerja maupun modal. Sejalan dengan prinisip pasar bebas, pengurangan campur tangan negara bukan hanya dilakukan terhadap pengaturan pasar kerja tapi juga pada sistem perlindungan sosial.

Kebijakan pasar kerja yang fleksibel yang telah tercermin di dalam UUK 13/2003 (terutama pada pasal 59-66) dipandang masih perlu lebih difleksibelkan. Apalagi jika dikaitkan dengan pasal-pasal yang mengatur PHK. Pasal-pasal ini dianggap masih terlalu kaku.

Pengawasan terhadap penerapan pasal-pasal mengenai pekerja kontrak atau PKWT, pekerja outsourcing dan pemberian pesangon PHK di dalam UU 13/2003 tergolong sangat lemah. Kecenderungan terjadinya perluasan cakupan pekerjaan untuk pekerja outsourcing dan penggunaan tenaga kontrak yang melebihi batas ketentuan hukum serta banyaknya kasus PHK tanpa pesangon yang jelas, berlangsung tanpa mendapat sanksi hukum yang berarti.

Keleluasaan Interpretasi Hukum

Perundang-undangan yang ada mengandung celah hukum yang memungkinkan terbukanya peluang praktek pelanggaran hukum tanpa kontrol yang efektif. Celah ini memberikan ruang keleluasaan interpretasi hukum yang dapat dimenangkan melalui tarik-menarik kekuatan ekonomi politik di antara pengusaha, pekerja dan serikat buruh, serta pemerintah. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal seperti ini terjadi pada pasal-pasal UU 13/2003 yang berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja outsourcing dan kontrak.

UU 13/2003 telah mengatur pembatasan cakupan pekerjaan outsourcing. Namun ruang interpretasi yang agak longgar masih tersedia untuk itu. Dasar penentuan kriteria usaha pokok (core business) yang kurang spesifik cenderung diinterpretasikan secara beragam oleh pengusaha dan serikat buruh serta aparat Disnaker (AKATIGA-TURC-LabSosio UI, 2006). Ada kecenderungan pengusaha mempersempit pengertian cakupan usaha pokok agar jenis dan jumlah pekerjaan penunjang yang dapat diserahkan pada pekerja outsourcing menjadi lebih banyak. Jika memperhatikan bahwa proses fleksibilisasi kini banyak merambah masuk ke dalam inti produksi dan diikuti oleh meningkatnya jumlah pekerja outsourcing secara pesat, maka hal ini mengindikasikan bahwa pengusaha lebih mudah untuk memperoleh keuntungan dari ruang interpretasi tersebut. Hal yang serupa juga terjadi di dalam interpretasi mengenai pekerja kontrak. Pembatasan pekerjaan kontrak yang hanya diberikan untuk jenis pekerjaan jangka pendek, sementara, musiman, berkaitan dengan produk baru, dan paling lama 3 tahun, dalam praktek dapat diperluas menjadi pekerjaan yang reguler dan melebihi jangka waktu tersebut.

Degradasi Kesejahteraan

Gustavo Gutierrez Merino, teolog pembebasan yang lahir pada tanggal 8 Juni 1928 di Monserat, sebuah kawasan miskin di Lima, ibu kota Peru, dalam bukunya “Liberation and Change” menyatakan bahwa kapitalisme yang dibangun oleh ideologi borjuis sangat menekankan individu. Individu adalah titik tolak dan motor kegiatan ekonomi. Individu pula yang berhak atas modal dan pemilikan hasil – hasil produksi. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan eksploitasi buruh demi kepentingan modal.

Individu – individu yang berhak atas modal dan hasil – hasil produksi, serta merta berhak menciptakan sistem hubungan kerja yang fleksibel. Secara eknomi, buruh dengan model kerja “fleksibel” realitanya mengalami degradasi kesejahteraan. Sementara itu degradasi ini adalah konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar kerja. Dore merumuskan fleksibilitas sebagai sebuah cara untuk menghilangkan ‘social evil of unemployment’ melalui penciptaan kesempatan kerja yang ‘atypical’ (pekerja tidak tetap, kontrak pendek, paruh waktu, ‘agency despatched’) yang mengandung biaya tenaga kerja rendah sehingga memudahkan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja baru. Kemudahan ini membuat kesempatan kerja menjadi lebih mudah tersedia.

Di dalam pasar kerja yang dualistik dan ditandai oleh tingkat pengangguran yang tinggi ketersediaan pekerjaan ini menjadi sangat penting artinya bagi pekerja dan pencari kerja. Oleh karenanya pekerjaan-pekerjaan yang berupah rendah dan tidak memberi jaminan kerja apapun masih dianggap tersebut lebih baik daripada mereka menganggur (Dore, 2003:31).

Hancurnya Nilai Solidaritas Buruh

Hancurnya nilai solidaritas antar buruh akibat perilaku bisnis yang pragmatis, yang mementingkan individu dan golongan sebagai konsekuensi praktek LMF (Labour Market Flexibility) di Indonesia. Model kerja “fleksibel” adalah anak kandung LMF sebagai strategi untuk menghancurkan ikatan solidaritas antar buruh.

Model kerja “fleksibel”, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke arah individualisme. Individualisasi juga dilakukan terhadap sistem pengupahan dan penyelesaian perselisihan. Individualisasi hubungan-hubungan kerja tersebut dianggap sebagai kunci penting untuk mendorong produktivitas dan mengurangi kontrol kolektif serikat buruh terhadap kepentingan-kepentingan produksi dan ekspansi modal.

Sejak diterapkan model kerja “fleksibel” ikatan solidaritas horizontal buruh kian berkurang. Ikatan perekat berskala besar dalam proses hubungan industrial semakin tidak ada. Semakin banyak dari mereka menjadi buruh kontrak dan outsourcing, kian mengedepankan individu –individu tanpa ikatan yang kehilangan akses keberlangsungan pekerjaan.

Fakta dilapangan, buruh dengan model kerja yang fleksibel lebih berkonsentrasi untuk dapat memperpanjang kontrak kerja ketimbang untuk membangun organisasi sebagai ikatan kelas. Mereka terus merangkak untuk memilih pembangunan ikatan - ikatan kelas yang mampu memberikan harapan yang mensejahterakan hidup. Dengan kata lain, buruh kontrak – outsourcing lebih suka bertemu, jika pertemuan tersebut memberikan harapan kesejahteraan hidup.

Hancurnya Serikat Buruh

Perubahan model kerja “tetap” menjadi model kerja “fleksibel” merupakan bentuk strategi pemecah belah persatuan buruh. Model kerja “fleksibel” merupakan senjata ampuh untuk merontokan kekuatan serikat buruh. Sebab serikat buruh dengan kekuatan kolektifnya, dianggap oleh pemuja LMF sebagai penghambat fleksibilitas modal dalam menghadapi fluktuasi tekanan pasar. Untuk itu peran serikat buruh sebagai basis kekuatan kolektif mulai dikurangi dengan cara memperkerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Lahirnya buruh kontrak dan outsourcing sebagai strategi untuk menggeser kekuatan kolektivisme dalam hubungan industrial ke arah individualisme.

Penghancuran serikat buruh yang dilakukan secara sistematis melalui penerapan model kerja “fleksibel” dalam bentuk sistem kerja kontrak dan outsourcing membawa efek berkurangnya tenaga tetap yang menjadi basis serikat buruh. Menurut Tjandraningsih & Nugroho: “Bahwa beberapa serikat utama mengakui kehilangan anggota hingga 30% akibat fleksibilisasi hubungan kerja. Di tingkat basis kehilangan itu bahkan mencapai 50%. Makin banyaknya pekerja kontrak dan outsourcing yang menggantikan pekerja tetap secara dengan sendirinya telah mengurangi anggota serikat buruh yang menjadi basis kekuatan utama serikat”.

Kini banyak terdapat buruh kontrak , bahkan buruh outsourcing merajalela diberbagai perusahaan manufaktur di Indonesia. Sementara banyak serikat buruh belum menerima dan mengorganiisir buruh kontrak & outsourcing. Buruh kontrak & outsourcing enggan untuk membangun kekuatan secara kolektif (organisasi buruh/Serikat Buruh – red) dengan alasan takut kehilangan pekerjaan.

Status kontrak telah secara langsung menutup peluang menjadi anggota serikat buruh karena serikat buruh hanya mengorganisir buruh tetap. Status sebagai buruh outsourcing juga demikian halnya karena periode kontrak mereka lebih pendek antara 3-6 bulan. Buruh outsourcing juga secara eksplisit maupun implisit diperingatkan oleh perusahaan untuk tidak bergabung dengan serikat bila ingin tetap bisa bekerja atau masa kontrak kerjanya diperpanjang (Tjandraningsih & Nugroho, 2007).

Mengembangkan Solidaritas Buruh

Sangat terasa, sejak keberhasilan berbagai perusahaan menggunakan buruh kontrak dan outsourcing terjadi kemerosotan solidaritas antar buruh. Hubungan – industrial yang individu mendorong para buruh untuk berfikir, bertindak bagi kepentingan diri. Roh solidaritas demi kepentingan bersama termarginalkan dan digerus oleh sistem kerja yang fleksibel.

Bapak Paus Leo XIII, dalam ensiklik Rerum Novarum dalan artikel 49 mengutip Kitab Suci, yang dapat dijadikan inspirasi pembangunan solidaritas antar buruh: “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wahai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya” (Pkh 4: 9-10), dan dilain nas : “Saudara yang dibantu oleh saudaranya ibarat baluarti; teman –teman ibarat penopang kehidupan” (Ams 18:19). Spirit demikian yang harus terus-menerus berkobar di setiap sanubari buruh dalam model kerja “fleksibel” untuk merapatkan barisannya dalam memperjuangkan hak-haknya dalam kerangka solidaritas.

Solidaritas juga berarti sikap bela rasa, senasib; oleh sebab itu solidaritas adalah tekad yang teguh dan tegar untuk melibatkan diri dalam kepentingan bersama “bonum commune”, yaitu kepada kepentingan semua orang dan masing- masing orang, karena kita bertanggung jawab atas semua.

Solidaritas kaum buruh mendorong kaum buruh dapat menjalankan perusahaan dan mengendalikan produktivitas. Disamping itu, solidaritas buruh mampu mempengaruhi kinerja Serikat Buruh agar dapat mempengaruhi syarat- syarat kerja dan pembayaran upah dan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Gerakan –gerakan solidaritas didalam lingkup model kerja “fleksibel –solidaritas tak pernah boleh berarti tertutup bagi dialog dan kerjasama dengan pihak pemodal. Buruh dan pemilik modal itu bekerjasama untuk menghasilkan barang produksi, demi keuntungan bersama, baik untuk buruh maupun pemilik modal itu maupun masyarakat luas.

Solidaritas di lingkup kerja yang fleksibel mampu membentuk sikap saling percaya. Saling percaya adalah salah satu kunci yang patut diusahakan agar kerjasama dapat terjalin dengan baik. Saling percaya dalam hubungan kerja yang fleksibel, diharapkan membawa kerjasama itu menjadi hal yang sungguh saling menguntungkan.

Model Serikat Buruh

Apakah buruh dengan model kerja “fleksibel” (kontrak & outsourcing) perlu berserikat sebagai bentuk perlawanan terhadap model kerja yang “fleksibel”? Secara umum, buruh kontrak & outsourcing memiliki hak yang sama dengan buruh tetap, salah satunya berhak mendirikan serikat atau bergabung dengan serikat yang ada. Berdasarkan hak tersebut, buruh kontrak & outsourcing bangun dari tidur, memikirkan serikat buruh/organisasi buruh sebagai alat/ kendaraan untuk memperjuangkan hak – haknya sebagai buruh.

Taktik berserikat buruh kontrak & outsourcing didasarkan pada beberapa pengandaian. Pertama, bahwa buruh – buruh kontrak & outsourcing sadar akan persoalannya dan mau berbagi waktu untuk bertemu, untuk bertukar ide diantara mereka untuk keluar dari kesulitan hidup. Sadar bahwa buruh dengan model kerja yang fleksibel masuk dalam sistem fleksibisasi pasar kerja yang menjadi kebutuhan bagi peruhasaan agar tetap mendapat keuntungan modal yang besar. Membangun kekuatan kolektif buruh di tingkat basis, yakni serikat buruh yang berbasis buruh dengan model kerja yang fleksibel. Peran advokasi serikat buruh adalah memberikan pendidikan dan pelatihan penyadaran bagi anggotanya.

Kedua, serikat buruh yang berbasis buruh kontrak & outsourcing memiliki model kepengurusan dan pola kerja yang relative lentur – dinamis, dan tidak struktur kaku, secara hirarkis seperti serikat buruh pada umumnya. Dengan cara menguatkan komunikasi antara mereka berdasarkan jaringan kerja. Setiap anggota menjadi jembatan dan dinamisator organisasi.

Ketiga, Serikat buruh yang berbasis kenggotaanya pada individual buruh (bukan tingkatan pabrik seperti serikat buruh umumnya) memiliki/terbangunnya daya ikat , yakni keanggotaan menjadi anggota koperasi (credit union), sebagai entry point terbentuknya serikat buruh.

Keempat, bahwa serikat yang beranggotakan pada individu buruh harus berfokus pada persoalah kerja buruh kontrak & outsourcing. Maka peran advokasi pada mengatasi rendahnya upah, keberlanjutan kerja buruh kontark & outsourcing, dengan cara membuat negosiasi dan perundingan (sampai pada tingkat perjanjian – red) dengan pihak penyedia tenaga kerja, pengguna tenaga kerja serta pihak pemerintah.

Kelima , serikat buruh yang memiliki anggota yang bekerja pada model kerja “fleksibel”, sewaktu – waktu berakhir kontraknya, harus memiliki sistem dana bantuan bagi buruh yang menganggur sementara waktu. Maka sistem jaminan social merupakan suatu instrument kebijakan yang terbuka bagi buruh yang bersangkutan untuk mendapatkan perlindungan social dari negara. Peran advokasi serikat buruh mendesak pemerintah baik pusat maupun daerah agar sistem jaminan social diletakan sebagai bagian dari sistem perlindungan social yang mencakup pada buruh dengan model kerja fleksibel.

Keenam, serikat buruh yang beranggotakan buruh kontrak & outsourcing yang dituntut dapat melakukan pekerjaan, mampu melakukan serangkaian pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan (skill), tujuannya untuk menjamin keberlangungan pekerjaan dan meningkatkan daya tawar di pasar kerja. Peran advokasi serikat buruh adalah mendesakan program ketrampilan (skill) bagi anggotanya pada pemerintah. Penyediaan pelatihan ketrampilan ( skill) adalah mutlak bagi buruh model kerja yang fleksibel untuk dapat meningkatkan posisi tawar buruh yang bersangkutan di pasar kerja.

Ketujuh, serikat buruh yang berbasis individual buruh memiliki batas umur dipekerjakan di pabrik, 35 tahun batas usia kerja produktif sebagai buruh kontrak dan outsourcing. Serikat buruh harus memiliki program alih profesi (banting stir: dari bekerja pada orang lain menjadi memiliki usaha sendiri- red). Peran serikat buruh mampu mengubah mindset dari buruh menjadi entrepreneurship (menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri- red)

Penutup

Sudah saatnya, perubahan model kerja “tetap” menjadi model kerja “fleksibel” dan berakibat perubahan bentuk dari buruh tetap menjadi buruh kontrak & outsourcing, mengembangkan solidaritas dan mengorganisasi diri untuk menatap masa depan terciptakan hubungan industrial yang berkeadilan dan bermartabat serta berkelanjutan.

(***)

Bacaan Pilihan:

  1. BPB LDD KAJ – SPIS – Kom PSE Bogor, 2009 , “Memahami Petaka Fleksibilisasi : Kepastian Kerja Sebagai hak Publik”, hasil riset merupakan kerjasama antara LDD, PSE Bogor, SPIS, KBC, KBB- Bogor, Gesburi- Bekasi, FSBS Serang.
  2. Hari Nugroho & Tjandraningsih, 2007, “Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara” (Nugroho & Tjandraningsih, merupakan hasil kerjasama antara : LIPS-Bogor, LabSosio UI-Depok, AKATIGA-Bandung, dan Perkumpulan PraKarsa-Jakarta.
  3. Indah Saptorini & Jafar Suryomenggolo, 2007, “Kekuatan Sosial Serikat Buruh”, Discussion Paper No. 4, TURC, Jakarta.
  4. PSE/APP – LDD KAJ – PSE KWI, 2007, “Berbuat demi Kesejahteraan Bersama”, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar