Oleh: L. Gathot Widyanata
Buruh menjadi sejahtera: dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, mendapatkan kepastian kerja, upah yang baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan.
Veronika Y. Susanti, buruh pabrik asal Wonogiri Jawa –Tengah. Vero baru saja di-PHK dari PT. Jabatek- Doyong Tangerang dan mendapat pekerjaan baru di PT. Dwi Warna, Jl. Pasar Kemis Raya Tangerang. Baru setengah bulan bekerja ditempat yang baru, Vero harus menanggung cost produksi. Ia harus mengganti jarum yang patah, begitu juga kain yang rusak. Sebagai buruh borongan , Vero dibayar Rp. 400.000,- per bulan. Sering kali, ia tidak membawa uang sepeserpun ketika puluhan jarum patah dan beberapa lembar kain rusak.
Realita buruh di atas, tidak hanya dialami oleh Vero, namum kondisi tersebut juga dialami oleh buruh yang berstatus kontrak & outsorcing. Belajar dari pengalaman di atas, - ada dua fakta yang mempersulit buruh meraih kesejahteraan : Pertama, upah yang diterima Vero sebesar Rp. 400.000,- dibawah Upah Minimum Kabupaten Tangerang. Kedua,status kerja borongan merupakan konsekuensi sistem fleksibilitas hubungan kerja.
Buruh menjadi sejahtera; dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan,kesehatan, ada jaminan hari tua. Disampaing itu, buruh mendapatkan kepastian kerja, upah yang lebih baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan. Serta buruh bisa bekerja dengan tenang dan produktif.
Sejak krisis moneter tahun 1998 dan krisis finansial dunia tahun 2008, buruh semakin mengalami ketidakpastian kerja, bahkan ketidakpastian pendapatannya. Ketidakpastian kerja diakibatkan oleh langkah efesiensi perusahaan untuk menekan ongkos produksi. Efisiensi ongkos produksi yang dilakukan oleh perusahaan , tidak hanya mematok upah buruh dengan UMP (Upah Minimum Propinsi) & biaya perbaikan mesin saja atau kerusakan hasil produksi tetapi terkait juga dengan tenaga kerja, yakni perubahan status kerja tetap menjadi kontrak- outsorcing.
Upah Minimum Buruh
Peningkatan kesejahteraan & tingkat kemiskinan buruh sangat bergantung pada tingkat UMP/K (Upah Minimum Propinsi/Kabupaten). UMP/K adalah strategi pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan, dengan menghitung kebutuhan dasar. Peningkatan UMP/K tidak selalu berarti peningkatan upah
minimum riil, yaitu upah yang disesuaikan dengan biaya hidup dihitung dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Menurut UU No. 13/2003, upah minimum diarahkan pada pencapaian kebutuhan hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut data Dewan Pengupahan DKI tahun 2009 nilai UMP berdasarkan KHL dari tahun 2007 – 2009 sebagai berikut: UMP DKI Jakarta 2007 sebesar Rp 900.560 atau mencapai 90,78 persen dari nilai KHL sebanyak Rp 991.988. UMP 2008 sebesar Rp 972.604 atau mencapai 92,17 persen dari nilai KHL sebanyak Rp 1.055.275. Berdasarkan kondisi tersebut maka besar UMP DKI Jakarta pada 2009 seharusnya di atas 92,17 persen dari KHL sebesar Rp 1.314.059. Berapa besaran riil UMP 2009 masih harus memperhatikan faktor produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Dari data statistik BPS, diketahui produktivitas pekerja di DKI Jakarta secara agregat mengalami pertumbuhan positif 6,6 persen dari tahun sebelumnya. Sedang pertumbuhan ekonomi sampai dengan kuartal dua tahun 2008 mencapai 6,20 persen. Data tersebut merupakan sinyal positif yang memungkinkan penetapan upah minimum mendekati nilai KHL.
Menurut BPS, berdasarkan penghitungan Maret 2008, seorang penduduk DKI Jakarta dikategorikan miskin apabila pendapatannya hanya Rp 290.268/kapita/bulan. Kriteria kemiskinan ini sebenarnya lebih rendah dibandingkan dengan penghitungan internasional yang mematok pendapatan minimal 1 sampai 2 dolar AS/kapita/hari atau Rp 300.000 sampai Rp 600.000 pada kurs dolar Rp 10.000.
Dengan menggunakan kriteria BPS, pada pertengahan 2009 batas pendapatan untuk mengukur garis kemiskinan diperkirakan menjadi Rp 350.000/kapita/bulan. Dengan asumsi setiap rumah tangga terdiri dari empat anggota maka pendapatan rumah tangga yang kurang dari Rp 1.400.000 masuk dalam kategori miskin. Upah sebesar Rp 1.069.865 mungkin saja masih cukup untuk memenuhi kebutuhan paling dasar seorang pekerja lajang, namun apabila pekerja tersebut sudah menikah dan memilki anak maka kehidupannya dipastikan tidak layak dan berpotensi menimbulkan masalah sosial (Gibson Sihombing 2009).
Dengan demikian , secara sengaja pemerintah membiarkan buruh dan keluarganya hidup tidak layak karena akan menerima upah yang jauh dari disebut layak, terutama para buruh kontrak dan outsourcing. Dan angka kemiskinan pada 2009 akan semakin bertambah yang berimplikasi pada masalah sosial.
Kebijakan Fleksibilitas & Ketidakpastian Kerja
Badan Pernacanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2004 melalui white papernya, telah merekomendasikan kebijakan pasar kerja yang fleksibilitas untuk meningkatkan investasi, mengurangi angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
Kebijakan tersebut kemudian dituangkan dan dilegalisasi dalam UU 13/2003 dan Kepmen 100/2004 tentang Pekerja Waktu Tidak Tertentu (PKWT) maupun Kepmen 101/2004 tentang lembaga outsorcing.
Kebijakan efesiensi perusahaan tidak hanya diterapkan pada cost produski, tetapi dikenakan pada hubungan kerja. Pengusaha menganggap buruh hanya sebagai sumber biaya, bukan sumber daya perusahaan untuk mencari keuntungan. Pengusaha akan selalu berupaya agar dalam kegiatan ekonominya memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk maksud tersebut, pengusaha menekan biaya tenaga kerja.
Efesiensi biaya produsi terkait dengan tenaga kerja natara lain : (1) Perampingan jumlah tenaga kerja (downsizing) dengan PHK massal. (2) Mengubah status buruh tetap menjadi buruh kontrak dengan melakukan pemutihan. (3) Merekrut hampir seluruh tenaga kerja dengan status kontrak. (4) Mengurangi biaya jaminan sosial bagi buruh. (5) Mengurangi jam kerja dan jam lembur. (6) Menghilangkan aneka tunjangan bagi buruh di produksi. (Laporan KBC , tahun 2009).
Sejak diberlakukan UU No. 13 Tahun 2003 terjadi perubahan yang signifikan status kerja, dari status kerja tetap menjadi status kerja kontrak & outsorcing. Perubahan status kerja tersebut menjadi kendala besar bagi buruh untuk mencapai kesejahteraan.
Akibat dari perubahan (buruh tetap menjadi buruh kontrak ) tersebut adalah soal ketidakpastian kerja. Ketika menjadi buruh tetap mendapat proteksi, namun menjadi buruh kontrak & outsorcing proteksi yang pernah dinikmati hilang. Komponen utama ketidapastian kerja yang dialami oleh sebagain besar buruh adalah kehilangan hak atas kepastian pendapatan dan hak atas berorganisasi dan melindungi diri.
Hinglangnya hak atas kepastian pendapatan ditandai oleh berkurangnya sumber penghidupan buruh. Sejak berlaku kebijakan fleksibilisasi, upah menjadi berkurang, kepastian periode kerja tidak menentu dan tunjangan-tunjangan dihapuskan. Sedangkan hilangnya sumber penghidupan lebih karena PHK di pabrik semakin mudah dilakukan dan hal itu tidak langsung berkaitan dengan kinerja personal. PHK terjadi lebih sering disebabkan oleh motif anti serikat buruh, penggantian status tetap menjadi kontrak dan perusahaan tutup. (Hasil Riset LDD, SPIS, PSE Bogor, tahun 2009).
Hancurnya Serikat Buruh
Sejak lahirnya UU No. 21/2000 tentang “Kebebasan Berserikat”, secara politik buruh mulai menikmati iklim kebebasan berserikat baik di tingkat perusahaan. Iklim kebebasan berserikat berdampak menjamurnya serikat buruh, bahkan di tingkat perusahaan dapat berdiri dari 2 atau 3 serikat buruh.
Disatu sisi, buruh mengalami kebebasan berserikat, di sisi lain serikat buruh mengalami kehancuran karena berlakunya fleksibilitas hubungan kerja di tingkat perusahaan. Praktek fleksibilisasi yang dikemas dan dibungkus dalam munculnya lembaga outsorcing. Akibat langsung yang diterima oleh buruh adalah tergerusnya kekuatan kolektivisme dan pergeseran pola hubungan industrial yang semakin mengedepankan individualisasi.
Perubahan signifikan yang dialami serikat buruh akibat perubahan status kerja dari tetap menjadi kontrak yang teridentifikasi di lapangan antara lain. Pertama, penurunan sejumlah besar anggota yang dengan sendirinya turut menurunkan kekuatannya. Kedua, serikat buruh mengalami krisis peran kolektifnya, tidak mampu memperjuangkan hak – hak buruh ( hasil riset LDD, Spis, PSE Bogor 2009).
Komersialisasi Buruh
Secara politis benturan antara fleksibilisasi di satu pihak dan desentralisasi di pihak lain ternyata melemparkan buruh ke dalam rimba yang disebut sebagai komodifikasi atau komersialisasi
Berbeda kondisi yang dialami tahun 1990-an, buruh untuk mendapat pekerjaan bisa langsung dengan pihak perusahaan. Meskipun lewat perekrut tenaga kerja, buruh tidak dipotong upahnya, sedangkan perekrut tenaga kerja mendapat vie dari pihak perusahaan pengguna tenaga kerja.
Fleksibilisasi diberlakukan pada tenaga kerja sisi supply. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja, kapasitas produksi dan jenis pekerjaannya. Permintaan yang demikian, membuka bisnis perekrut tenaga kerja. Perekrut tenaga kerja bentuk bisa CV, Yayasan, tidak jarang memakai oknum tenaga kerja.
Sejak 6 tahun terakhir ini, selain akses kesempatan kerja makin sempit, juga harus merelakan sejumlah uang antara 500 ribu-1 juta kepada lembaga outsorcing untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jahit di pabrik garmen dengan status kontrak 3 bulan. Setelah dikontrak 3 bulan, upah yang diterima sebesar 70% dari kontrak yang ditandatangani. Sedangkan sisanya 30% diterima oleh perekrut tenaga kerja.
Berkurangnya Peran Negara
Posisi tawar dan kekuatan politik buruh semakin lemah dalam beragam kebijakan politik dan politik ekonomi. Negara (pemegang kuasa) lebih menuruti keinginan para pemodal untuk menekan hak politik kaum buruh. Kebijakan ekonomi yang ada, sedang dan akan menuju ke arah liberalisasi di mana mekanisme pasar menjadi rujukan. Sementara, kebijakan ekonomi dibidang ketenagakerjaan didorong untuk masuk ke dalam arena kompetisi di mana peran pemerintah dikurangi seminim mungkin.
Faktanya, paket UU ketenagakerjaan UU 21/2000; UU 13/2003 dan UU 2/2004 dipandang sebagai kebijakan yang lebih ke arah liberal karena diikuti dengan lenyapnya unit-unit proteksi yang sebelumnya diperoleh buruh.
Argumen utama pemerintah atas berlakunya UU tersebut adalah untuk menarik investasi, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produkstifitas, menaikkan status sektor informal ke sektor formal, mengurangi pengangguran dan kemiskinan (Bappenas, 2003).
Perubahan signifikan yang dapat dibaca akibat dari fleksibilisasi tersebut adalah soal ketidakpastian kerja oleh karena hilangnya proteksi yang sebelumnya pernah dinikmati. Komponen utama ketidapastian kerja yang dialami oleh sebagain besar keluarga buruh adalah kehilangan hak atas kepastian pendapatan dan hak atas berorganisasi dan melindungi diri.
Buruh Mendapatkan Kepastian Kesejahteraan
Dalam UUD 45 disebutkan peran negara untuk menjaga hak warga –negaranya (termasuk buruh) untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, masalah lambatnya pertumbuhan ekonomi dan hilangnya lapangan kerja pertama-tama bukanlah tanggung jawab buruh, pun bukanlah tanggung jawab pengusaha, melainkan negara.
Dalam paper hasil riset 3 lembaga (LDD , Spis , PSE Bogor) 2009 menampilkan pemikiran ekonom Guy Standing untuk menjamin hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi, sebagai berikut:
Ekonom Guy Standing (2002) menyebutkan bahwa hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi perlu disokong oleh jaminan sosial dasar yang menyangkut akses soal jaminan kesehatan, infrastruktur, pendidikan, tempat tinggal, informasi dan perlindungan sosial lainnya. Sedangkan hak yang berkaitan dengan kepastian kerja terdiri dari beberapa komponen dan sekaligus dapat sebagai indikator dasar bagi kerja yang layak (decent work). Komponen-komponen tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.
Pertama, kepastian pendapatan (income security) yakni kecukupan dasar dan absolut terhadap kebutuhan dasar yang diperoleh dari pendapatan atau upah maupun bentuk-bentuk jaminan sosial yang lainnya. Kepastian ini bukan saja berlaku pada periode masih bekerja tetapi juga ketika sudah tidak bisa bekerja (retirement). Mekanisme kepastian pendapatan ini secara klasik meliputi pengawasan pengupahan, indeksasi upah, jaminan sosial menyeluruh dan pajak progresif.
Kedua, jaminan keterwakilan (representation security) yang meliputi keterwakilan individual maupun kolektif dalam konteks perlindungan hukum. Keterwakilan individu menunjuk pada hak-hak individu yang dijamin dalam UU sebagaimana akses individu terhadap institusi. Sedangkan keterwakilan kolektif merujuk pada hak beberapa individu maupun kelompok untuk diwakili oleh dan atas nama organisasi yang lebih besar, lebih independen dan lebih kompeten. Keterwakilan tersebut dalam rangka pelindungan dan pangawasan misalnya upah, kondisi kerja dan praktek-praktek perburuhan lainnya.
Ketiga, kepastian pasar kerja (labour market security) yang dimengerti sebagai ketersediaan dan kecukupan kesempatan kerja yang dijamin oleh negara.
Keempat, perlindungan tenaga kerja (employment security) yakni perlindungan terhadap pemecatan, aturan tentang rekrutmen dan pemberhentian.
Kelima, jaminan pekerjaan/jabatan (job security) yakni merujuk pada harapan akan jenjang karir, batasan keahlian maupun adanya kualifikasi jabatan.
Keenam, jaminan perlindungan di tempat kerja (work security) jaminan terhadap kecelakaan maupun penyakit akibat kerja melalui aturan K3, pembatasan waktu kerja dan penghindaran kerja malam bagi perempuan.
Ketujuh, jaminan peningkatan ketrampilan (skill reproduction security) melalui perluasan kesempatan untuk peningkatan ketrampilan, magang maupun pelatihan tertentu.
Penutup
Buruh menjadi sejahtera; dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya (sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, ada jaminan hari tua). Buruh mendapatkan: kepastian kerja, upah yang baik, jaminan sosial, dan kepastian masa depan. Buruh bekerja lebih tenang dan produktif.
Pengusaha lebih untung dan aman melanjutkan dan mengembangkan usahanya. Pemerintah berhasil melaksanakan tugasnya untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka:
1. FPBN & Aliansi Serikat Buruh Wilayah Barat, “Mewujudkan Kepastian Kerja” , Kampanye FAIR 2007.
2. Riset 3 Lembaga (LDD, Spis, PSE Bogor), “Memahami Malapetaka Fleksibilisasi :Kepastian Kerja Sebagai Hak Publik”, April 2009.
3. Sumartono, M, “Industri Post- Fordisme dan Fleksibilisasi Hubungan Kerja”, Jurnal FPBN: No.1, Mei – Oktober 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar