Kamis, 08 Maret 2012

Praktek Kerja Kontrak & Outsourcing

Oleh: L. Gathot Widyanata

Arus penggunaan buruh kontrak dan outsourcing pada era hubungan kerja yang fleksibel semakin merugikan buruh, tidak hanya merugikan upah yang diterima, tetapi keamanan keberlangsungan kerja.

Fakta masih banyak perusahaan – perusahaan yang memperkerjakan buruh kontrak & outsourcing di Indonesia. Walau, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa perlakuan terhadap pekerja kontrak selama ini bertentangan dengan konstitusi dan hak-hak pekerja outsourcing harus sama dengan pekerja tetap.

Kurniasih, buruh perempuan asal Klaten Jawa Tengah, - baru 1 bulan yang lalu diakhiri kontraknya di PT Sion, Cilengsi- Bogor. Ia mengaku, sudah lelah bekerja di pabrik dengan system kontrak,- karena harus melakukan ritual pembaharuan kontrak terus menerus.

Ada dua model perekrutan tenaga kerja: pertama, calon tenaga kerja menjadi buruh kontrak langsung direkrut pabrik. Kedua, calon tenaga kerja menjadi buruh lewat yayasan perekrut tenaga kerja. “Saya termasuk menggunakan model yang pertama”, ungkapnya

Bagi calon tenaga kerja yang memiliki skil (misal : menjahit) dikenakan beban Rp. 750.000,- Berbeda bagi calon tenaga kerja yang tidak memiliki skil, ia dikenakan dua kali lipat beban biaya buruh yang memiliki skil, yakni Rp. 1.500.000,-

“Lama kontrak juga menentukan harga”, katanya. Untuk pekerjaan 3 bulan, - buruh hanya mengelurkan uang sebesar Rp. 700.000,- begitu selanjutnya. Yayasan perekrut tenaga kerja di wilayah Celengsi- Bogor mematok jasa dalam kisaran Rp. 500.000,- - Rp. 1.000.000,-Tidak semua calon tenaga kerja memilik modal. Jika calon tenaga kerja tidak memiliki modal, ada Yayasan tenaga kerja yang menawarkan model pemotongan upah.

Pengalaman buruh yang direkrut langsung pabrik harus puas dibayar upahnya dengan UMK tahun yang lalu. Mereka tidak jelas masa kontraknya. Jika perusahaan tidak menginginkan, maka buruh tersebut diakhiri kontraknya. Jika perusahaan menginginkan, buruh tersebut terus bekerja tanpa ada perjanjian kontrak.

Menurut Dedeh, buruh yang berstatus kontrak harus melakoni jam kerjanya 14 jam se hari. “Paling cepat mereka pulang jam sembilan malam”, ungkapnya. Biasanya buruh model tersebut, cepat – cepat hengkang dari perusahaan tersebut.

Banyak perusahaan di Cilengsi menggunakan tenaga kerja kontrak, seperti PT Tanasin, 100% buruhnya berstatus kontrak. Selain upah yang rendah, perusahaan memiliki kemudahan untuk mengakhiri kontraknya. Menjelang lebaran (H-7) buruh kontrak diakhiri kontraknya. Setelah lebaran buruh tersebut dipekerjakan kembali.”Hampir semua pabrik melakukan hal serupa untuk menghindari pembayan THR”, ungkap Kurniasih.

Ada model untuk mengakhiri kontrak tenaga kerja, beberapa perusahaan mengakhiri kontrak tenaga kerjanya karena menikah. Kinerja produksi tidak mau direpotkan oleh urusan ijin (anak sakit, misalnya).

Kurniasih dan teman – teman, tidak peduli dengan berapa ratus ribu, harus membayar untuk mendapatkan pekerjaan di pabrik, tidak peduli dengan waktu yang panjang ia dipekerjakan, tidak peduli kapan diakhiri kontraknya sesuai dengan keinginan pengusaha. Yang penting mendapatkan pekerjaan, mendapatkan penghasilan, dapat menyambung hidup,.. titik.

Membaca fakta di atas hubungan industrial yang ada berdasarkan kekuatan modal dan orientasinya keuntungan melulu. Tidak ada pengusaha yang berani mengubah orientasi ekonomi dari orientasi modal ke orientasi manusia.

Sementara serikat buruh ribut dengan kenaikan UMK sektoral yang tidak jelas pelaksanaannya dan tak berdaya menghadapi system hubungan kerja yang fleksibel. Tidak ada Aliansi atau Serikat Buruh secara konsisten mengtakan bahwa system kontrak dan outsourcing merugikan buruh.

Peran pemerintah sekedar sebagai mediator antara buruh dan pengusaha, tetapi tidak memiliki semangat pemihakan kepada kaum buruh. Ada proses pembiaran terhadap pratek pratek hubungan industrial yang merugikan buruh. Sehingga hubungan industrial yang demikian merusak hak – hak buruh, dan tidak menjamin kesejahteraan kaum buruh.

L. Gathot W

Tidak ada komentar:

Posting Komentar