Hari Nugroho & Indrasari Tjandraningsih
Catatan: artiket Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara kami poskan sebagai referensi pengorganisasian aliansi serikat buruh dan buruh kontrak & outsourcing.
Abstract: This article critically discusses the positive assumptions of the concept of labour market flexibility and the roles of state in labour market policy based on current empirical facts. Labour market flexibility is a liberalist concept that is taken as one of policy strategies for promoting investment, increasing employment opportunities and poverty reduction. In reality, the practice of labour market flexibility poses a number of unfavourable impacts on workers such as degradation of working conditions, raising job insecurity, increasing welfare uncertainty and weakening union power. These negative impacts indicate some internal contradictions within the concept of labour market flexibility. At the same time the declining role of the state to provide protection and social welfare in the middle of forceful liberalisation stream has made the negative consequences worse. By assuming that the labour market flexibility is unavoidable forceful stream, the responsibility of the state in determining more secure labour market policy is crucial. This article proposes ideas on how state and labour should respond such situation.
Kata dan frase kunci: asumsi dan realitas fleksibilitas pasar kerja, dualisme pasar kerja, kontradiksi internal sistem fleksibilitas pasar kerja, ketidakpastian kerja, pelemahan serikat buruh, peran negara
PENDAHULUAN
Dewasa ini sistem pasar kerja di banyak negara mengalami perubahan sebagai akibat perubahan orientasi ekonomi global. Pasar kerja kini didorong ke arah bentuk yang lebih fleksibel (flexible labour market) bersamaan dengan menguatnya liberalisasi perekonomian dunia. Pasar kerja yang fleksibel – berikut sistem produksi yang fleksibel (flexible production) – diyakini oleh para pendukungnya dapat lebih merangsang pertumbuhan ekonomi serta memperluas pemerataan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat di tengah iklim kompetisi ekonomi global yang semakin ketat.
Sejalan dengan perubahan tersebut, peran negara dalam mengatur bekerjanya pasar kerja serta bentuk tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya pun mengalami perubahan. Peran dan tanggung jawab negara tersebut cenderung menyurut. Hal ini terlihat dari menurunnya alokasi anggaran untuk tanggung jawab negara yang berkaitan dengan kesejahteraan warganya (lihat Lindert, 2004). Demikian pula regulasi negara yang mengatur bekerjanya pasar tersebut berkurang. Sebaliknya, bekerjanya pasar kerja dan penyelenggaran kesejahteraan tersebut lebih banyak diserahkan kepada mekanisme pasar itu sendiri. Dinamikanya diserahkan langsung kepada hubungan antara pemodal dengan para pekerja atau pencari kerja. Melalui praktek hubungan-hubungan kerja di tingkat perusahaan, fleksibilitas pasar kerja diasumsikan dapat menghasilkan efek-efek positif bagi pertumbuhan ekonomi maupun keadilan sosial. Oleh sebab itu fleksibilitas kini menjadi modus utama operasi modal di banyak sektor.
Dalam kenyataan, perkembangan fleksibilitas pasar kerja menghasilkan efek yang beragam. Di banyak negara, khususnya negara berkembang, fleksibilitas justru menciptakan masalah yang tidak kecil baik bagi kelompok pekerja maupun kelompok masyarakat miskin (Gallie & Vogler, 1995; Vecernik, 2001; Caraway: 2007, Beleva & Tsanov, 2001). Alih-alih berdampak positif, pasar kerja yang fleksibel justru memiliki kerentanan dalam menciptakan degradasi kondisi kerja, ketidakpastian pendapatan dan kesejahteran serta melemahnya posisi tawar dari pekerja. Pasar kerja fleksibel menghasilkan pembagian kesempatan kerja dengan mengorbankan kualitas kesempatan kerja itu sendiri. Tingkat kerawanan yang lebih tinggi terjadi dalam pasar kerja yang memiliki suplai angkatan kerja tidak terampil yang berlebih (over supply). Di dalam konteks ini, menyurutnya peran negara dari sejumlah peran pelindungan sosial ekonominya justru membuat efek negatif dari fleksibilitas pasar kerja semakin menjadi lebih besar.
Situasi dan dampak tersebut terjadi pula di dalam sistem pasar kerja di Indonesia yang sedang berubah ini. Upaya fleksibilisasi pasar kerja secara keras dilakukan baik oleh pemerintah maupun pengusaha melalui kebijakan dan praktek ketenagakerjaan. Langkah-langkah ini ternyata menghasilkan berbagai dampak negatif di kalangan pekerja hampir di berbagai sektor. Dampak negatif bahkan juga dirasakan oleh para pencari kerja serta kelompok-kelompok masyarakat yang bergantung kehidupannya dari para pekerja dan pencari kerja tersebut. Ketidaksesuaian antara perencanaan kebijakan ketenagakerjaan dengan kondisi obyektif angkatan kerja, kondisi institusi-institusi pasar tenaga kerja, kebijakan makro perekonomian dan – yang lebih terpenting – menurunnya tanggung jawab negara terhadap perlindungan pekerja dan kesejahteraan warganya menjadi faktor-faktor kunci yang menyebabkan luasnya dampak negatif tersebut.
FLEKSIBILITAS PASAR KERJA: ASUMSI DAN REALITAS
Pembedahan secara kritis terhadap sistem pasar kerja fleksibel harus dimulai dari telaah terhadap asumsi-asumsi yang mendasarinya dan bentuk-bentuk kebijakan yang menjadi turunannya. Perbandingan antara asumsi-asumsi pemikiran tersebut dengan pola-pola kebijakan nyata tentang pasar kerja serta keadaan obyektif pasar kerja akan memberi gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan yang terjadi di seputar pasar kerja fleksibel.
Asumsi-asumsi Fleksibilitas Pasar Kerja
Pasar kerja fleksibel merupakan sebuah institusi dimana pengguna tenaga kerja (employer) dan pekerja serta pencari kerja bertemu pada suatu tingkat upah tertentu dimana kedua belah pihak memiliki keleluasaan dalam menentukan keputusan untuk bekerjasama tanpa hambatan sosial politik. Keleluasaan ini merupakan bentuk strategi adaptasi masing-masing terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya (Meulders & Wilkin, 1991; Ul Haque, 2002).
Menurut para pendukung gagasan pasar kerja fleksibel, prinsip-prinsip pasar kerja ini diasumsikan menghasilkan dua efek positif sekaligus. Pertama, persaingan yang terbuka dan bebas–intervensi non-ekonomi di dalam pasar yang fleksibel akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Kedua, fleksibilisasi pasar kerja akan menghasilkan pemerataan kesempatan kerja yang pada gilirannya dapat menciptakan perbaikan tingkat pendapatan dan pengurangan tingkat kemiskinan. Pasar diserahkan sepenuhnya kepada pelaku-pelaku ekonomi untuk melakukan pertukaran rasional (Rapley, 1997). Berbagai peraturan yang membatasi dan menghambat gerak para pelaku ekonomi tersebut ditiadakan.
Di dalam pasar tenaga kerja, interaksi yang bebas di antara pengguna tenaga kerja (employer) dengan tenaga kerja (pekerja atau pencari kerja) dipandang sebagai kondisi yang perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi. Pengguna tenaga kerja bebas mencari tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan rasional pengguna, sedangkan tenaga kerja bebas memilih pengguna tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan rasional tenaga kerja (Islam, 2001). Kebutuhan rasional pengguna ditentukan oleh jenis dan kapasitas produksi yang dibutuhkan sesuai dengan persaingan yang dihadapinya dalam pasar komoditas. Kebutuhan rasional tenaga kerja ditentukan oleh seberapa jauh pendapatan yang diberikan oleh pengguna tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Islam, 2001).
Di dalam sistem pasar kerja yang fleksibel, keleluasaan dan kebutuhan-kebutuhan tersebut diasumsikan dapat saling terpenuhi. Hal ini karena pemakai kerja mendapat kemudahan untuk merekrut dan memberhentikan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhannya. Hambatan regulasi dan campur tangan negara untuk merekrut dan melakukan PHK dikurangi atau bahkan ditiadakan. Biaya rekrutmen dan PHK diperkecil. Model hubungan kerja berdasarkan sistem kontrak dan outsourcing diterapkan dan diperluas cakupannya untuk memungkinkan fleksibilisasi tersebut. Jam kerja dan besaran upah difleksibilisasikan sesuai dengan siklus bisnis atau fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang diproduksi. Fleksibilisasi seperti ini akan menciptakan efisiensi produksi dan maksimalisasi keuntungan modal.
Dari sisi tenaga kerja, pekerja didorong untuk tidak terikat pada satu pemberi kerja (employer) dalam jangka waktu lama, melainkan dapat berpindah-pindah pekerjaan dengan pilihan tingkat pendapatan yang lebih baik. Kemudahan berpindah kerja tersebut diasumsikan dapat membuka peluang kesempatan kerja yang lebih besar kepada lebih banyak pencari kerja karena pekerjaan akan menjadi selalu tersedia bagi para pencari kerja (World Bank, 2005, 2006). Konsep keamanan lapangan kerja (employment security) menjadi lebih utama dibanding keamanan kerja (job security).
Fleksibilitas pasar kerja juga dianggap mempunyai fungsi penting dalam memecahkan masalah dualisme pasar kerja. Fleksibilitas pasar kerja menjamin terbukanya peluang para pekerja di sektor informal untuk berpindah ke sektor formal yang lebih aman dan mensejahterakan (World Bank, 2005; World Bank 2006). Dengan semakin banyak orang bekerja di sektor formal, maka akan lebih banyak pekerja yang memperoleh jaminan perlindungan hukum formal, tunjangan kesehatan, pendidikan dan pensiun, dan peningkatan keterampilan. Keseimbangan gender pun dianggap menjadi lebih baik karena para perempuan yang dominan di ekonomi informal dapat berpindah ke sektor formal. Dengan demikian sektor informal yang dipandang rentan terhadap eksploitasi kerja serta memiliki tingkat produktifitas yang lebih rendah akan berkurang dominasinya dan berganti ke arah dominasi sektor formal yang lebih aman dan produktif.
Sementara itu dari sisi hubungan kerja, fleksibilitas pasar kerja dapat mengurangi dominasi serikat buruh yang dianggap terlalu mempertahankan kepentingan aristokrasi pekerja tetap dengan mengorbankan kesempatan kerja bagi penganggur (Douglas, 2000). Serikat buruh dengan kekuatan kolektifnya juga dianggap menghambat fleksibilitas modal dalam menghadapi fluktuasi tekanan pasar. Fleksibilitas biaya tenaga kerja dan fleksibilitas cara produksi yang diperlukan oleh modal untuk melakukan efisiensi biaya produksi sering tidak dapat dengan mudah dilakukan karena mendapat tekanan serikat buruh. Untuk itu peran serikat buruh sebagai basis kekuatan kolektif mulai dikurangi atau setidaknya didorong ke arah bentuk yang lebih korporatis. Selain itu melalui bentuk hubungan kerja kontrak dan outsourcing, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke arah individualisme. Individualisasi juga dilakukan terhadap sistem pengupahan dan penyelesaian perselisihan. Individualisasi hubungan-hubungan kerja tersebut dianggap sebagai kunci penting untuk mendorong produktivitas dan mengurangi kontrol kolektif serikat buruh terhadap kepentingan-kepentingan produksi dan ekspansi modal.
Keseluruhan prinsip pasar kerja fleksibel tersebut diyakini mempunyai efek positif bagi kebutuhan pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah pengangguran serta kemiskinan. Prinsip-prinsip tersebut dipandang sangat sesuai dengan dominasi sistem perekonomi liberal yang berkembang meluas dewasa ini. Sebaliknya sistem pasar kerja yang kaku dipandang tidak dapat memberi peluang bagi pertumbuhan ekonomi dan pemecahan masalah pengangguran dan kemiskinan. Pasar kerja seperti ini dianggap cenderung tertutup khususnya bagi penganggur dan kelompok pekerja ekonomi informal untuk masuk ke sektor formal. Hal ini karena pekerja-tetap selalu mempunyai kecenderungan untuk berusaha mempertahankan keamanan dan keuntungan kerja (World Bank, 1995; Douglas, 2000). Di tingkat produksi, kekakuan sistem pasar kerja (labour market rigidity) juga dianggap tidak memacu produktivitas kerja karena tingkat kompetisi di antara pekerja cenderung rendah akibat rasa aman dalam pekerjaannya (World Bank, 2006). Pasar kerja yang kaku membuat biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel karena jumlah dan jenis pekerja yang digunakan tidak dapat menyesuaikan fluktuasi tekanan persaingan dalam pasar komoditas.
Oleh para pendukungnya, pasar kerja yang kaku diyakini tidak sesuai lagi untuk kondisi perekonomian global yang semakin kompetitif dan liberal dewasa ini. Sebaliknya pasar kerja yang fleksibel adalah sistem pasar yang dianggap paling tepat bagi kelompok sosial manapun (World Bank, 2005). Namun di sisi lain sistem tersebut juga memerlukan serangkaian kondisi struktural penunjang. Pasar kerja fleksibel memerlukan dukungan sebuah kebijakan pasar kerja yang koheren dan terintegrasi dengan sistem hubungan industrial, strategi industrialisasi dan sistem jaminan sosial yang baik. Secara lebih spesifik struktur pasar kerja yang ditandai oleh suplai yang besar dari buruh terampil, aksesibilitas yang luas terhadap informasi mengenai pasar kerja dan penarikan sumber dana untuk jaminan sosial yang diredistribusikan secara merata menjadi faktor-faktor penting yang menentukan efektivitas pasar tersebut .
Untuk mendukung asumsi-asumsi positif ini negara juga didorong untuk menciptakan berbagai institusi yang menjamin bekerjanya pasar kerja fleksibel dengan optimal. Sejumlah instrumen regulasi yang dianggap terlalu ketat membatasi kebebasan dicabut atau diperlunak. Aturan-aturan yang terlampau protektif bagi pekerja dihilangkan. Negara juga didorong untuk melegalkan sistem kontrak kerja seluas mungkin untuk menjamin keleluasaan bergerak pekerja maupun modal. Sejalan dengan prinisip pasar bebas, pengurangan campur tangan negara bukan hanya dilakukan terhadap pengaturan pasar kerja tapi juga pada sistem perlindungan sosial.
Kebijakan-kebijakan Fleksibilitas Pasar Tenaga kerja
Di negara-negara industri maju sistem pasar kerja yang fleksibel telah menjadi arus utama strategi kebijakan ekonomi. Eropa yang telah lama menganut konsep welfare-state dengan perlindungan tenaga kerja yang kokoh mengubah secara signifikan sistem pasar kerjanya menjadi lebih fleksibel (Bamber & Lansbury, 1993; Foroohar & Emerson, 2004). Demikian pula Jepang yang lama menganut sistem long-life employment kini mengubah sistem tersebut ke arah pasar kerja yang lebih fleksibel yang mempekerjakan orang dengan jangka waktu yang lebih pendek (Weathers, 2001; Kuwahara, 1993). Bank Dunia dan IMF juga menjadikan prinsip ini sebagai resep pembangunan sosial ekonomi yang ditawarkan kepada negara-negara berkembang. Prinsip ini diletakkan dalam satu paket usulan kebijakan liberalisasi ekonomi serta pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran sekaligus. Index Level of labour Market Rigidity Iseperti hiring & firing cost) kerap digunakan sebagai indikator-indikator tingkat keterbukaan suatu negara terhadap investasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus indikator tingkat keterbukaan kesempatan kerja bagi kelompok penganggur dan besarnya peluang peralihan tenaga kerja dari sektor informal yang miskin ke sektor formal yang lebih mensejahterakan (World Bank, 2006; Bernabè & Krstić, 2005).
Di Indonesia, gagasan pasar kerja fleksibel disokong dengan kuat oleh pemerintah, pengusaha, dan kalangan ekonom neoklasik. Gagasan ini dipandang sebagai sebuah langkah strategis untuk memecahkan masalah kemiskinan dan pengangguran sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Sistem pasar kerja yang ada selama ini dipandang terlalu kaku dan tidak membantu pemecahan masalah tingginya angka pengangguran yang kini telah mencapai 10,4% (BPS, 2006), tingginya angka kemiskinan (39 juta jiwa penduduk miskin), terlalu besarnya konsentrasi penduduk di sektor ekonomi informal, rendahnya pertumbuhan investasi (ADB, 2007), serta tingginya tingkat ketidakpastian iklim bisnis di Indonesia. Untuk itu beberapa langkah kebijakan diambil oleh pemerintah untuk melakukan restrukturisasi pasar kerja. Langkah-langkah tersebut adalah 1) perubahan kebijakan ketenagakerjaan yang diintegrasikan ke dalam satu paket kebijakan dengan rencana pertumbuhan investasi, seperti perpajakan, perijinan investasi, dan lain-lain; 2) mengintegrasikan perubahan kebijakan ketenagakerjaan dengan konteks pemecahan masalah kemiskinan dan pengangguran (Widianto, 2006).
Agenda terpenting dari perubahan kebijakan ketenagakerjaan tersebut adalah penciptaan pasar kerja yang lebih fleksibel. Kebijakan pasar kerja yang fleksibel yang telah tercermin di dalam UUK 13/2003 (terutama pada pasal 59-66) dipandang masih perlu lebih difleksibelkan. Apalagi jika dikaitkan dengan pasal-pasal yang mengatur PHK. Pasal-pasal ini dianggap masih terlalu kaku. Hingga saat ini proses perumusan kebijakan tersebut masih berlangsung. Pergulatan kepentingan antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha menjadi salah satu faktor penentunya. Pergulatan ini sekaligus menandai adanya permasalahan yang lebih dari sekedar politik kebijakan tetapi juga permasalahan nyata dari validitas dan reliabilitas kebijakan pasar kerja itu sendiri. Praktek fleksibilitas pasar kerja yang dihasilkan dari UU 13/2003 ternyata telah membuahkan cukup banyak dampak yang tidak menguntungkan pekerja bahkan kelompok miskin pencari kerja. Dari realitas dampak tersebut, ada dua pokok permasalahan yang perlu mendapat tinjauan lebih kritis. Pertama, permasalahan asumsi teoritis dari konsep pasar kerja fleksibel. Kedua, permasalahan operasional dari implementasi kebijakan yang melibatkan beragam faktor yang berpengaruh.
Kritik terhadap konsep fleksibilitas pasar kerja dan implikasinya kepada tenaga kerja di Indonesia.
Ada dua pertanyaan kritis dan mendasar yang penting untuk diajukan terhadap asumsi-asumsi dasar fleksibilitas. Pertama adalah pertanyaan yang berkaitan dengan pasar kerja dan yang kedua berkaitan dengan kualitas pekerjaan dan kualitas pembagian kesempatan pekerjaan yang terjadi di dalam pasar kerja fleksibel. Pertanyaannya adalah bagaimana karakter pasar kerja yang ada di pertimbangkan dalam perumusan dan penerapan kebijakan fleksibilitas dan seberapa jauh persoalan kualitas kesempatan kerja diperhatikan dalam kebijakan yang sama. Kedua pertanyaan ini menjadi sangat esensial karena karakter pasar kerja sangat mempengaruhi kondisi kerja yang muncul akibat fleksibilitas yang diterapkannya dan karena pembagian kesempatan kerja tidak serta merta menghasilkan perbaikan kondisi kemiskinan. Pertanyaan yang berkaitan dengan pasar kerja akan membantu memeriksa mengapa kebijakan pasar kerja yang fleksibel membawa dampak negatif bagi pekerja. Pertanyaan mengenai kualitas pembagian kesempatan kerja menjadi dasar pemikiran penting untuk melihat apakah kondisi bekerja menjadi berbeda secara signifikan dari kondisi menganggur atau kondisi bekerja di sektor informal.
Kedua pertanyaan tersebut memunculkan tiga kritik utama terhadap asumsi-asumsi positif dari sistem pasar kerjafleksibel.
Kritik-1 : Menguatnya dualisme pasar kerja
Fleksibilisasi pasar kerja secara optimis dipandang sebagai sebuah jalan keluar untuk mengatasi kemandegan ekonomi yang diakibatkan oleh pasar kerja yang dualistik (World Bank, 2006; Bernabè & Krstić, 2005). Fleksibilisasi dianggap dapat mengalihkan tenaga kerja di sektor ekonomi yang informal atau tradisional ke sektor formal dan modern. Namun demikian dalam kasus Indonesia ada aspek yang tidak mendapat perhatian kritis dari para pendukung gagasan ini yakni karakter dasar dari pasar tenaga kerja.
Berbagai diskusi mengenai kebijakan pasar kerja fleksibel di Indonesia tidak menyentuh secara mendalam aspek karakter pasar kerja maupun karakter kebijakan negara tentang pasar kerja (Islam 2000; World Bank 2004, SMERU 2003). Diskusi-diskusi tersebut hanya menyinggung mengenai dualisme pasar kerja antara formal dan informal, terampil dan tidak terampil tanpa mempersoalkan dualisme tersebut sebagai akar persoalan distorsi fleksibilitas pasar kerja. Pengalaman berbagai negara Eropa menunjukkan karakter pasar kerja dan kebijakan pasar kerja aktif menjadi syarat wajib yang melekat untuk kebijakan pasar kerja fleksibel yang adil dan melindungi pekerja. Oleh karena itu berbagai studi mengenai fleksibilitas di Eropa tidak pernah membahas keduanya karena sudah dianggap sebagai prasyarat yang sudah dengan sendirinya ada (Wallace 2003, Dore 2003, Monastiriotis 2003, Coats 2006).
Masalah muncul ketika syarat wajib itu dianggap sudah dimiliki oleh Indonesia. Kebijakan LMF diadopsi secara sempurna dari sisi mekanismenya tanpa memperhatikan ciri pasar tenaga kerjanya. Pasar kerja di Indonesia selain ditandai oleh ciri-ciri yang dualistik yakni sektor formal yang modern dan sektor informal yang tradisional juga didominasi oleh tenaga kerja tidak terampil di kedua sektor tersebut. Karakter dualistis pasar kerja di Indonesia dan over supply tenaga tidak terampil menyebabkan logika kebebasan untuk berpindah dari sektor informal ke sektor formal serta kebebasan bertransaksi yang setara antara tenaga kerja dan pengguna kerja menjadi tidak berlaku. Kondisi obyektif 95% tenaga kerja Indonesia kurang terampil dan 60% hanya berpendidikan SD menunjukkan dengan sendirinya kecilnya peluang atau ketidakmungkinan pekerja untuk dapat secara fleksibel berpindah dari satu pabrik ke pabrik lain, atau industri lain, atau sektor lain, atau daerah lain. Hal ini berarti, pekerja telah secara melekat tidak memiliki peluang yang sama dengan pengusaha untuk secara bebas melakukan pilihan (Tjandraningsih 2004). Bahkan di antara sesama kategori pekerja, peluang pilihan-bebas pun sebenarnya tersebut tidak sama. Pekerta tidak terampil mempunyai pilihan jauh lebih terbatas dibanding pekerja terampil. Apabila mengikuti logika definisi fleksibilitas pasar kerja, indikator tersebut tidak memungkinkan pasar kerja dapat beroperasi secara lancar sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya majikan lebih terbuka untuk memilih tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhannya. Perangkat hukum yang dibangun oleh Negara untuk menjamin fleksibilisasi memberikan kemudahan lebih besar bagi perusahaan untuk merekrut dan mengurangi pekerja setiap saat. Dengan demikian kebijakan ini menggandakan posisi tawar perusahaan.
Di tingkat perusahaan juga terjadi dualisme pasar kerja berdasarkan keterampilan dan status hubungan kerja. Pekerja terampil biasanya adalah pekerja tetap dengan upah baik dan pekerja tidak terampil berstatus tidak tetap dengan upah rendah. Hal ini sudah terjadi di negara-negara lain yang sudah lebih dulu menerapkan fleksibilitas. Pengalaman di Eropa maupun AS menunjukkan dalam derajat tertentu fleksibilitas hanya dimiliki oleh buruh yang memegang posisi manajerial dan professional-buruh terampil yang berpendidikan tinggi (Wallace 2003). Pengalaman Jepang mengatakan bahwa fleksibilitas memang menguntungkan buruh terampil dan pada saat yang sama menimbulkan tekanan untuk menurunkan upah dan tunjangan untuk buruh kurang atau tidak terampil. (Weathers 2001). Kondisi di Indonesia tidak berbeda. Penempatan buruh terampil di lapis pusat struktur tenaga kerja dengan status hubungan kerja tetap lengkap dengan berbagai fasilitas kerja dan tunjangan yang sangat memadai di beberapa perusahaan merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan apa yang juga terjadi di Jepang. Dualisme pasar kerja internal ini terus dipertahankan oleh perusahaan sambil melakukan proses pengurangan tenaga terampil dan tetap.
Hak pekerja tidak tetap (kontrak maupun outsourcing) yang terbatas hanya pada upah pokok sebesar atau di bawah upah minimum serta ketentuan kontraknya yang tidak menentu dan tidak sesuai dengan peraturan menunjukkan bahwa perpindahan ke sektor formal sama sekali tidak menjamin peroleh jaminan sosial dan perlindungan kerja dibanding dengan sektor informal sebagaimana yang diasumsikan. Formalisasi pekerjaan tidak terjadi karena kategori pekerja yang fleksibel (kontrak dan outsourcing) umumnya tidak menikmati keistimewaan kerja sebagaimana dimiliki oleh pekerja tetap. Perpindahan ke sektor formal juga tidak membuat posisi hukum dari pekerja yang pindah dari sektor informal menjadi lebih baik karena ketidakberdayaan pekerja untuk memanfaatkan institusi hukum di dalam berhadapan dengan pengusaha, sistem hukum peradilan yang kurang menguntungkan bagi pekerja, dan terlepasnya pekerja dari sistem perlindungan kolektif yang berasal dari serikat buruh.
.
Di sisi kebijakan pasar kerja, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu tenaga kerja sudah diidentifikasi dengan baik (Widianto 2003, 2005) dan sangat disadari merupakan salah satu langkah untuk menarik investor (World Bank 2004). Akan tetapi juga disadari bahwa sebagai langkah struktural untuk mereformasi pasar kerja kebijakan pasar kerja aktif merupakan sebuah investasi jangka panjang yang tidak terlalu menarik dan tidak dianggap penting. Pilihan lebih diambil untuk melakukan langkah-langkah praktis sebagaimana didesakkan oleh Bank Dunia yang hanya terkait dengan kebijakan yang berkait dengan hubungan kerja dan kesejahteraan sosial jangka pendek (2004). Pragmatisme kebijakan yang diambil juga tercermin dari dilakukannya berbagai bentuk kebijakan pasar kerja pasif melalui pemberian BLT atau pembagian sembako, kartu miskin untuk akses pelayanan kesehatan, bantuan uang sekolah. Ketika fleksibilitas tidak dapat dihindari, perangkat kebijakan yang praktis-pragmatis tidak akan banyak membantu mengurangi dampak negative fleksibilitas pasar tenaga kerja. Sebagaimana yang menjadi rumus di Negara-negara Eropa, seperangkat kebijakan yang menggabungkan jenis fleksibilitas, peraturan perlindungan kerja, system tunjangan dan investasi signifikan untuk kebijakan pasar kerja aktif (ALMP) merupakan syarat untuk mendapatkan keluaran yang baik untuk LMF (Coats 2006).
Kritik – 2 : Peningkatan ketidakpastian kerja, penurunan tingkat kesejahteraan dan degradasi kondisi kerja
Hal yang tidak atau kurang diperhatikan oleh proponen fleksibilitas di Indonesia adalah kenyataan terjadinya degradasi kesejahteraan dan kondisi kerja para pekerja. Sementara itu degradasi ini adalah konsekuensi logis dari fleksibilitas pasar kerja. Dore merumuskan fleksibilitas sebagai sebuah cara untuk menghilangkan ‘social evil of unemployment’ melalui penciptaan kesempatan kerja yang ‘atypical’ (pekerja tidak tetap, kontrak pendek, paruh waktu, ‘agency despatched’) yang mengandung biaya tenaga kerja rendah sehingga memudahkan perusahaan dalam merekrut tenaga kerja baru. Kemudahan ini membuat kesempatan kerja menjadi lebih mudah tersedia. Di dalam pasar kerja yang dualistik dan ditandai oleh tingkat pengangguran yang tinggi ketersediaan pekerjaan ini menjadi sangat penting artinya bagi pekerja dan pencari kerja. Oleh karenanya pekerjaan-pekerjaan yang berupah rendah dan tidak memberi jaminan kerja apapun masih dianggap tersebut lebih baik daripada mereka menganggur (Dore, 2003:31).
Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan kesempatan kerja dalam pasar kerja dualistik yang fleksibel cenderung berbanding terbalik dengan penurunan mutu kesempatan kerja. Pekerja tidak terampil memang menjadi relatif lebih mudah mendapat pekerjaan tetapi ketidakpastian kerjanya semakin meningkat, kesejahteraannya semakin turun dan kondisi kerjanya semakin terdegradasi. Pekerja tidak terampil begitu mudah untuk direkrut dan dikeluarkan tanpa perlindungan kerja. Pekerja tidak terampil semakin mudah untuk difleksibelkan kondisi kerjanya maupun status kerjanya menjadi pekerja tidak tetap. .
Situasi konkrit yang ditemukan di lapangan menunjukkan bentuk fleksibilitas adalah penggantian status buruh tetap menjadi buruh kontrak baik yang direkrut langsung oleh perusahaan atau melalui agen-agen penyalur tenaga kerja yang dikenal dengan istilah outsourcing, penggunaan buruh outsourcing di bagian-bagian produksi atau bagian inti pekerjaan yang sebenarnya dilarang oleh UU 13.2003, hak-hak buruh kontrak dan outsourcing yang tidak jelas, periode kontrak yang keluar dari aturan undang-undang misalnya kontrak 1 tahunan yang terus diperpanjang lebih dari 3 kali, atau di antara kontrak ada jeda waktu satu bulan, melepas pekerja tetap yang aktif di serikat dan menggantinya dengan pekerja kontrak, pemutusan hubungan kerja tiba-tiba dengan pemberitahuan singkat atau tanpa pemberitahuan samasekali sebelumnya. Para pekerja kontrak dan outsourcing pada umumnya tidak mendapatkan fasilitas apapun kecuali gaji pokok, selain harus membayar semacam komisi kepada penyalurnya setiap bulan |
Penurunan mutu kesempatan kerja ini pada gilirannya menyebabkan penurunan kesejahteraan bahkan meningkatkan kemiskinan karena upah riil dan upah nominal yang turun secara signifikan serta kesempatan bekerja yang menjadi lebih pendek. Degradasi juga terjadi melalui fleksibilisasi waktu kerja. Melalui penerapan sistem kerja yang berbeban lebih (skorsing), maka pekerja tidak tetap dapat dipekerjakan tanpa batasan jam kerja dan tanpa upah. Sebagian memperoleh upah lembur namun sebagian tak memperoleh upah lembur. Pada pekerja tidak tetap, hal ini membuat mereka bekerja tanpa ketetapan batasan jam kerja. Sementara bagi kelompok pekerja tetap, mekanisme ini mengurangi tingkat pendapatan yang mereka peroleh karena perusahaan lebih condong menyerahkan pada pekerja tidak tetap.
Secara keseluruhan hal-hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari fleksibilitas yang tidak dapat dihindari. Dalam jangka tidak terlalu panjang degradasi kondisi kerja juga akan dialami oleh pekerja tetap dalam jumah lebih besar karena tren perubahan hubungan kerja yang lebih fleksibel terus berlangsung. Selama ini penggantian pekerja tetap menjadi kontrak sering dilakukan dengan menutup perusahaan begitu saja tanpa memberikan hak-hak pekerja. Modus yang banyak terjadi adalah pabrik tutup tiba-tiba dan para pengelola atau pemiliknya menghilang. Para pekerja kemudian berjuang sendiri untuk memperoleh hak-haknya.
Berbagai efek negatif ini semakin lebih besar juga karena tidak ada langkah-langkah perlindungan pemerintah dalam kebijakan ketenagakerjaan maupun kebijakan pasar kerja yang menyertai pelaksanaan fleksibilitas (lihat juga Lindenthal 2005). Semua bentuk atau mekanisme fleksibilisasi semacam itu sangat dimungkinkan oleh lemahnya peran negara dalam melakukan law enforcement terhadap peraturan-peraturan yang dibuatnya dan makin berkurangnya peran perlindungan negara terhadap warga pekerjanya. Pendulum negara memang selalu bergerak ke arah pengusaha meskipun dalam konteks otonomi daerah pengusaha juga bukannya tidak mengalami komplikasi kinerja aparat negara yang cenderung menurun seiring reformasi.
Kritik – 3. Pelemahan kekuatan serikat buruh
Tujuan utama fleksibilitas adalah menghilangkan semua hambatan gerak modal. Pelemahan serikat buruh adalah salah satu di antaranya. Fungsi perlindungan negara terhadap pekerja dan serikat buruh “dipaksa” oleh modal untuk dihilangkan melalui berbagai mekanisme ekonomi politik. Dalam sejarah penerapan fleksibilitas di Inggris, fleksibilitas dilakukan untuk mematahkan kekuatan kontrol serikat -yang memang sangat kuat di era sebelum 80an – terhadap pekerjaan serta kekuatan negosiasi mereka (Dore 2003).
Dalam konteks Indonesia situasinya berbeda. Sepanjang sejarah Orde Baru serikat buruh tidak pernah memiliki kekuatan politik untuk berhadapan dengan negara maupun modal. Dalam Orde Reformasi dan kebebasan berserikat kekuatan serikat buruh pun tidak muncul karena terjadi fragmentasi yang membawa serta perbedaan ’orientasi politik’ dalam perjuangan mereka. Catatan juga perlu diberikan dalam melihat kekuatan serikat buruh dalam konteks kebijakan otonomi daerah. Secara umum otonomi daerah makin melemahkan serikat karena persoalan yang dihadapi serikat semakin kompleks terutama berkaitan dengan prioritas kebijakan daerah dan munculnya kelompok-kelompok kepentingan baru yang potensial maupun faktual menjadi lawan serikat buruh (Tjandraningsih & Nugroho, 2007). Di dalam konteks dan kondisi obyektif semacam itu, maka fleksibilitas sebenarnya bertujuan menghapus serikat buruh. Hal ini erat kaitannya dengan pandangan kebanyakan pengusaha di Indonesia yang menganggap serikat buruh hanya sebagai pengganggu kelancaran produksi melalui upaya-upaya pemenuhan hak normatif. Beberapa tokoh serikat buruh juga menyebutkan bahwa banyak pengusaha yang menolak serikat karena alasan sejarah bahwa serikat buruh identik dengan komunis, tanpa memahami tentang fungsi serikat buruh.
Penghapusan serikat buruh yang dilakukan secara sistematis melalui penerapan fleksibilitas hubungan kerja dalam bentuk hubungan kerja kontrak dan outsourcing tenaga kerja membawa efek berkurangnya tenaga tetap yang menjadi basis serikat buruh. Beberapa serikat utama mengakui kehilangan anggota hingga 30% akibat fleksibilisasi hubungan kerja. Di tingkat basis kehilangan itu bahkan mencapai 50%. Makin banyaknya pekerja kontrak dan outsourcing yang menggantikan pekerja tetap secara dengan sendirinya telah mengurangi anggota serikat buruh yang menjadi basis kekuatan utama serikat. Status kontrak telah secara langsung menutup peluang menjadi anggota serikat buruh karena serikat buruh hanya mengorganisir buruh tetap. Status sebagai buruh outsourcing juga demikian halnya karena periode kontrak mereka lebih pendek antara 3-6 bulan. Buruh outsourcing juga secara eksplisit maupun implisit diperingatkan oleh perusahaan untuk tidak bergabung dengan serikat bila ingin tetap bisa bekerja atau masa kontrak kerjanya diperpanjang.
Praktek di lapangan berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan polarisasi buruh di dalam perusahaan berdasarkan status hubungan kerja:: tetap, kontrak, dan outsourcing. Menurut para pengurus serikat, secara sosiologis fleksibilitas telah menciptakan dua kelas pekerja yakni pekerja tetap yang menduduki kelas pertama dan pekerja kontrak – berikut pekerja outsourcing – yang menduduki kelas kedua. Polarisasi ini diwujudkan melalui pembedaan hak-hak pekerja dan pembedaan fisik melalui pakaian seragam. Cara ini efektif untuk menciptakan jarak dan membatasi pergaulan di antara kelompok pekerja yang berbeda status serta menciptakan perbedaan kepentingan sehingga dengan demikian menghindarkan munculnya solidaritas. Catatan harus diberikan dalam polarisasi ini yaitu bahwa perbedaan hak diterapkan untuk kewajiban dan beban kerja yang sama. Dalam derajat tertentu pengelompokan ini juga membawa ’labour aristocracy’ di kalangan pekerja tetap yang berkontribusi terhadap hilangnya solidaritas pekerja. (AKATIGA-TURC-LabSosio UI 2006). |
Kondisi lapangan juga menunjukkan serikat buruh pada umumnya tidak mempunyai hak suara dalam kebijakan perusahaan mengganti buruh tetap dan hampir tidak pernah diajak berunding untuk membicarakan rencana fleksibilisasi hubungan kerja. Secara umum kebijakan fleksibilisasi hubungan kerja sepenuhnya diputuskan oleh perusahaan untuk kemudian diberitahukan secara resmi kepada serikat. Banyak kasus lain menunjukkan kebijakan tersebut dilakukan begitu saja tanpa pemberitahuan sebelumnya dan dilakukan dengan cara memberhentikan pekerja tetap kemudian merekrut pekerja baru dengan status kontrak..
Berbagai dampak negatif dari fleksibilitas pasar kerja terhadap serikat buruh ini menunjukkan bahwa meskipun pelemahan serikat buruh adalah asumsi yang sudah disadari – bahkan merupakan keadaan yang diharapkan – oleh para pendukung konsep pasar kerja fleksibel, namun pelemahan ini membawa dampak yang serius bagi pekerja untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Asumsi ini jelas bertentangan dengan asumsi bahwa fleksibilitas menciptakan kesempatan kerja baru di sektor formal yang lebih melindung pekerja baik dari sisi hak maupun sisi hukum. Dalam kondisi semacam ini institusi perlindungan buruh tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan serikat perlu bekerja keras untuk tetap dapat melindungi kepentingan kolektif pekerja.
PERAN NEGARA DI DALAM PERUBAHAN PASAR KERJA
Di dalam konsep pasar kerja fleksibel, peran dan campur tangan negara banyak dikurangi, digantikan oleh fungsi mekanisme pasar. Trend kerangka hubungan negara, modal dan buruh pun bergeser dari model kolektivisme liberal atau korporatisme ke arah individualisme pasar dalam bentuk yang baru (Salomon, 1992: 257). Baik dalam konteks pasar kerja maupun hubungan industrial, negara tidak lagi mengatur sepenuhnya mekanisme mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan, tidak banyak lagi campur tangan dalam mengatur dinamika hubungan antara pekerja dengan perusahaan, serta tidak sepenuhnya lagi menanggung jaminan kesejahteran sosial ekonomi warganya. Namun pengurangan peran ini menimbulkan konsekuensi yang tidak sama bagi negara maju dan negara berkembang seperti Indonesia.
Di sejumlah negara industri maju, peralihan model peran negara ini didahului oleh sejarah peran negara yang efektif dalam sistem perlindungan kerja dan penjaminan kesejahteraan sosial ekonomi pekerja maupun warga negara pada umumnya. Peralihan tersebut juga didahului oleh sejarah full-employment yang panjang, periode pertarungan kepentingan ekonomi politik antara buruh dan modal yang mencapai titik keseimbangan yang lebih baik, serta pasar kerja yang memiliki angkatan kerja terampil yang lebih besar (Salomon, 1992; Bamber & Lansbury, 1997). Dengan demikian ketika sistem pasar kerja fleksibel diterapkan, efek degradasinya terhadap pekerja baik dalam hubungan industrial maupun pasar kerja tidak sedrastis di Indonesia dan negara berkembang lain yang memiliki sejarah perburuhan, kondisi sistem hubungan industrial dan struktur pasar kerja yang berbeda. (Foroohar & Emerson, 2004; Gallie & Vogler, 1995; Caraway, 2007). Di Indonesia sejarah peralihan peran negara dari model korporatisme Orde Baru ke arah bentuk baru individualisme pasar tidak didahului oleh sejarah peran negara yang efektif dalam pembangunan model hubungan industrial yang koheren dan sistem kesejahteraan sosial ekonomi pekerja yang efektif (Islam, 2001; Hadiz, 1997; Manning, 1993). Akibatnya masalah-masalah yang mendasar dari peran negara di dalam pengembangan sistem pasar tenaga kerja banyak bermunculan sejalan dengan perubahan perubahan sistem pasar kerja yang lebih liberal ini. Permasalahan yang sangat esensial di dalam kedua konteks tersebut adalah permasalahan penegakan hukum (law enforcement), fungsi pengaturan negara (regulator) pasar tenaga kerja, dan kelemahan dalam sistem jaminan sosial.
Penegakan Hukum
Sejak penerapan sistem HIP (Hubungan Industrial Pancasila) pada periode Orde baru hingga penerapan paket tiga undang-undang perburuhan dan ketenagakerjaan yang lahir pada periode reformasi, kelemahan penegakan hukum menjadi persoalan serius bidang perburuhan. Beragam bentuk pelanggaran hukum yang merugikan kondisi buruh masih banyak terjadi. Tidak terpenuhinya standar upah minimum daerah serta hambatan untuk berserikat dan melakukan perundingan kolektif adalah beberapa contoh persoalan klasik yang tetap masih ditemukan hingga kini terutama di sektor padat karya. Masalah penegakan hukum ini semakin bertambah kompleks dengan perkembangan praktek fleksibilisasi pasar kerja. Pengawasan terhadap penerapan pasal-pasal mengenai pekerja kontrak atau PKWT, pekerja outsourcing dan pemberian pesangon PHK di dalam UU 13/2003 tergolong sangat lemah. Kecenderungan terjadinya perluasan cakupan pekerjaan untuk pekerja outsourcing dan penggunaan tenaga kontrak yang melebihi batas ketentuan hukum serta banyaknya kasus PHK tanpa pesangon yang jelas, berlangsung tanpa mendapat sanksi hukum yang berarti.
Faktor pertama yang menjadi sumber kelemahan tersebut adalah kegagalan peran aktor penegakan hukum perburuhan khususnya Disnaker yang secara normatif menjalankan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan hukum perburuhan. Kelemahan mendasar terjadi karena lemahnya profesionalisme kerja birokrasi Disnaker. Kelemahan juga terjadi karena persoalan insititusional yang terkait dengan implementasi otonomi daerah. Sistem rotasi kepegawaian antar kantor dinas yang relatif singkat di birokrasi pemerintahan daerah membuat tidak seluruh aparat Disnaker mempunyai waktu yang cukup untuk memahami peta permasalahan perburuhan di daerahnya (AKATIGA-TURC-LabSosio UI, 2006). Sumber kelemahan lain adalah praktek korupsi dan keterlibatan aparat dalam praktek bisnis outsourcing (AKATIGA-TURC-LabSosio UI, 2006). Dianggap kurang strategisnya peran Disnaker dalam peningkatan PAD juga membuat Disnaker tidak menjadi instansi yang mendapat perhatian istimewa dalam kebijakan-bijakan pemerintah daerah. Hal ini sekaligus menggambarkan lemahnya perhatian pemerintah daerah pada kebijakan kesejahteraan masyarakat di daerahnya.
Faktor yang kedua yang menjadi sumber kelemahan terletak di dalam perundang-undangan itu sendiri. Perundang-undangan yang ada mengandung celah hukum yang memungkinkan terbukanya peluang praktek pelanggaran hukum tanpa kontrol yang efektif. Celah ini memberikan ruang keleluasaan interpretasi hukum yang dapat dimenangkan melalui tarik-menarik kekuatan ekonomi politik di antara pengusaha, pekerja dan serikat buruh, serta pemerintah. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal seperti ini terjadi pada pasal-pasal UU 13/2003 yang berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja outsourcing dan kontrak.
UU 13/2003 telah mengatur pembatasan cakupan pekerjaan outsourcing. Namun ruang interpretasi yang agak longgar masih tersedia untuk itu. Dasar penentuan kriteria usaha pokok (core business) yang kurang spesifik cenderung diinterpretasikan secara beragam oleh pengusaha dan serikat buruh serta aparat Disnaker (AKATIGA-TURC-LabSosio UI, 2006). Ada kecenderungan pengusaha mempersempit pengertian cakupan usaha pokok agar jenis dan jumlah pekerjaan penunjang yang dapat diserahkan pada pekerja outsourcing menjadi lebih banyak. Jika memperhatikan bahwa proses fleksibilisasi kini banyak merambah masuk ke dalam inti produksi dan diikuti oleh meningkatnya jumlah pekerja outsourcing secara pesat, maka hal ini mengindikasikan bahwa pengusaha lebih mudah untuk memperoleh keuntungan dari ruang interpretasi tersebut. Hal yang serupa juga terjadi di dalam interpretasi mengenai pekerja kontrak. Pembatasan pekerjaan kontrak yang hanya diberikan untuk jenis pekerjaan jangka pendek, sementara, musiman, berkaitan dengan produk baru, dan paling lama 3 tahun, dalam praktek dapat diperluas menjadi pekerjaan yang reguler dan melebihi jangka waktu tersebut.
Undang-Undang 13/2003 Ketenagakerjaan, pasal 66 (1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Penjelasan pasal Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. |
Di luar perbedaan interpretasi tentang pendefinisian jenis pekerjaan yang layak secara hukum untuk dikontrak atau diserahkan pada pekerja outsourcing, tidak sedikit pula pengusaha yang secara terbuka melakukan kontrak dan outsourcing untuk pekerjaan-pekerjaan yang secara jelas dan harafiah merupakan inti produksi. Ini merupakan bentuk pelanggaran hukum terbuka. Di samping lemahnya pengawasan birokrasi, lemahnya posisi pekerja dan serikat buruh yang disebabkan oleh ancaman pengangguran dan fakta suplai tenaga kerja yang berlebih menjadi salah satu faktor yang turut membuat longgarnya ruangnya interpretasi hukum itu “dibiarkan” terjadi.
Di samping celah hukum yang mengatur langsung pasar kerja fleksibel tersebut, kelemahan di dalam penegakan hukum juga terjadi karena permasalahan dalam karakter sistem peradilan perburuhan yang baru. UU PPHI no.2/2004 yang mengatur secara langsung sistem penyelesaian perselisihan memiliki beberapa kelemahan asumsi yang merugikan posisi buruh. UUPPHI no.2 / 2004 mengasumsikan bahwa pengusaha dan pekerja berada pada posisi setara. Asumsi ini mengabaikan fakta bahwa pengusaha dan pekerja pada dasarnya tidak memiliki posisi dan kekuatan sosial yang setara. Asumsi yang demikian justru membuat secara obyektif pengusaha mempunyai peluang kekuatan berunding yang lebih besar (Sinaga, 2006). Secara prosedural, UU PPHI yang baru juga memberi beban yang besar bagi buruh untuk harus mengikuti keseluruhan proses peradilan. Bagi pekerja tidak tetap (fleksibel) yang tidak terintegrasi dalam serikat buruh dan tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai untuk mengikuti proses hukum tersebut serta tak berdaya menghadapi ancaman pengangguran, pilihan “membiarkan pelanggaran” adalah pilihan yang paling rasional.
Memperhatikan permasalahan-permasalahan yang muncul dari praktek fleksibilisasi tersebut, penegakan hukum menjadi sebuah langkah konkrit yang sangat mendesak. Tanpa penegakan hukum, kebijakan pasar kerja dengan tingkat fleksibilitas seminimal apapun tetap akan memberikan konsekuensi yang merugikan pekerja. Pekerja tidak dapat dibiarkan berhadapan dengan pihak lain – khususnya pengusaha – di dalam sebuah pasar atau sistem hukum yang tidak memungkinkan posisi mereka seimbang satu sama lain. Dengan demikian peran pengawasan negara menjadi sangat penting dalam hal ini. Di sisi lain negara sendiri secara politik juga memerlukan pengawasan terhadap dirinya sendiri. Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah memperkuat aspek pengawasan politik terhadap fungsi pengawasan Disnaker, khususnya melalui institusi-institusi formal politik daerah. Peran civil society menjadi penting dalam hal ini. Di antara banyak elemen civil society, serikat buruh tetap merupakan stakeholder yang paling berkepentingan. Untuk itu negara baik di tingkat nasional maupun daerah perlu memberikan ruang politik yang lebih terinsititusionalisasi untuk fungsi pengawasan tersebut.
Fungsi Pengaturan (regulator) Pasar Kerja
Situasi perekonomian global maupun nasional secara obyektif memaksa fleksibilitas pasar kerja sebagai sebuah strategi yang tak terhindarkan. Namun tingkat fleksibilitas yang terlalu tinggi pada pasar kerja Indonesia juga hanya akan menghasilkan peningkatan jumlah kelompok miskin pekerja (Lindenthal, 2005). Bagaimanapun fleksibilitas selalu mempunyai efek degradasi. Oleh karenanya jika tingkat upah penduduk miskin terlalu rendah, maka fleksibilitas sangat mudah membuat mereka tergelincir melewati garis kemiskinan dan masuk ke dalam kelompok penduduk yang benar-benar miskin. Oleh sebab itu selain penguatan fungsi penegakan hukum negara, peran negara yang kuat juga diperlukan di dalam menata kesesuaian antara kebijakan pasar kerja dengan kondisi nyata pasar kerja dan berbagai institusi penopangnya.
Untuk memastikan peran negara yang kuat dalam menata sistem pasar kerja yang aman secara sosial ekonomi bagi pekerja tanpa menciptakan beban bagi pertumbuhan ekonomi maka negara perlu melakukan dua hal. Pertama, negara perlu merumuskan dengan jelas dan tegas sejauh mana tingkat fleksibilitas pasar yang aman bagi kondisi angkatan kerja dan pasar kerja yang ada. Asumsi-asumsi positif fleksibilitas memerlukan pengujian empirik yang sangat teliti untuk mendukung hal ini. Untuk itu kebijakan pasar kerja memerlukan indikator-indikator sosial ekonomi pasar kerja yang lebih rinci yang tidak hanya berbasiskan pada karakteristik demografis dasar pasar kerja tetapi juga pada indikator efektivitas pasar kerja itu sendiri. Analisis mengenai dampak tingkat kesejahteraan dan keberdayaan angkatan kerja di dalam pasar kerja penting untuk menjadi indikator dari efektivitas tersebut – lebih dari sekedar indikator tentang efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain ditopang oleh indikator-indikator sebagai alat ukur untuk menentukan keamanan pilihan tingkat fleksibilitas, pilihan fleksibilitas tersebut memerlukan pengawalan yang konsisten dari sisi hukum. Pembenahan tata kelola pemerintahan menjadi agenda penting untuk mendukung ini. Keseluruhan langkah ini masih belum banyak terimplementasi di dalam kerangka kebijakan ketenagakerjaan baik secara nasional maupun daerah. Pelaksanaan kebijakan pasar kerja fleksibel masih banyak didasarkan pada pemetaan secara makro dan melibatkan parameter yang terbatas.
Kedua, Sebuah kebijakan pasar kerja yang terintegrasi dengan institusi-institusi lain yang terkait sangat diperlukan untuk menghadapi perubahan sistem pasar kerja maupun bekerjanya pasar kerja fleksibel – sesederhana apapun tingkat fleksibilitasnya. Proses perubahan sistem pasar kerja di Indonesia masih belum sepenuhnya terintegrasi dengan baik. Kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah cenderung bersifat sektoral. Perencanaan sistem pasar kerja yang termuat dalam kebijakan ketenagakerjaan lebih sering hanya terkait dengan investasi, pertumbuhan ekonomi makro dan pengurangan kemiskinan dalam artian ekonomi. Perencanaan ketenagakerjaan diletakkan sebagai obyek dari kebijakan-kebijakan makro ekonomi lainnya. (Widianto, 2006, Depnakertrans, 2006). Tidak ada integrasi yang kokoh antara kebijakan ketenagakerjaan dengan kebijakan industrialisasi, kebijakan pengembangan sumber daya manusia, kebijakan pengurangan kemiskinan yang multisektoral, maupun tata kelola sistem pemerintahan. Perencanaan kebijakan tersebut juga cenderung berbasiskan karakteristik makro demografi dan ketenagakerjaan serta kurang memperhatikan kompleksitas permasalahan sosial ekonomi dari ketenagakerjaan baik di tingkat nasional maupun daerah. Di daerah sendiri perencanaan dan implementasi kebijakan ketenagakerjaan sangat lemah. Sedikit sekali daerah yang memiliki peraturan-peraturan (perda) yang menata sistemem ketenagakerjaan di wilayahnya. Hal ini karena ketenagakerjaan bukan dianggap sebagai sumber pendapatan daerah (AKATIGA-TURC-LABSOSIO UI, 2006).
Di samping integrasi antara kebijakan ketenagakerjaan dengan kebijakan-kebijakan lainnya, kebijakan pasar kerja itu sendiri juga masih mengandung sejumlah kelemahan internal. Lemahnya sistem informasi pasar kerja khususnya bagi kelompok angkatan kerja tidak terampil, tidak adanya sarana penunjang untuk peningkatan keterampilan serta lemahnya sistem jaminan sosial bagi kelompok ini merupakan kondisi obyektif dari pasar kerja yang sangat rawan terhadap efek negatif dari pasar kerja fleksibel. Untuk menopang ini sebuah kebijakan pasar kerja yang aktif (ALMP-Active Labour Market Policy) dapat menjadi sebuah strategi preventif terhadap dampak negatif pasar kerja fleksibel. Melalui langkah ini perumusan kebijakan pasar kerja yang diintegrasikan dengan sistem pengembangan keterampilan (melalui employment training dan employment retraining, program magang dan alih teknologi, pengembangan lebih terfokus untuk pendidikan kejuruan), sistem informasi pasar tenaga kerja, dan sistem jaminan sosial dapat menjadi langkah-langkah strategis yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut (Lindenthal, 2005; Widianto, 2005). Antisipasi kebijakan seperti ini memungkinkan para pekerja mempunyai pilihan pekerjaan yang lebih terbuka sekaligus memperbaiki posisi berundingnya dengan perusahaan. Dalam pelaksanaan, pemerintah daerah mempunyai peran yang besar karena pemerintah daerah dengan melakukan dialog sosial bersama para pemangku kepentingan akan menentukan bentuk pengembangan kebijakan pasar kerja yang aktif yang sesuai dengan kompetensi inti wilayah dan sektor yang berkembang di daerah tersebut. Model kebijakan seperti ini membuat semua pihak mempunyai kesadaran dan perhatian yang serius terhadap permasalahan sistem pasar kerja yang dihadapi.
Peran negara dalam sistem jaminan sosial
Di dalam kebijakan pasar kerja yang aktif, sistem jaminan sosial merupakan suatu instrumen kebijakan yang sangat esensial. Di kebanyakan negara industri maju, langkah kebijakan pasar kerja fleksibel selalu diimbangi oleh penerapan sistem jaminan sosial. Sistem jaminan sosial diletakkan sebagai bagian dari sistem perlindungan sosial, suatu konsep yang lebih luas yang mencakup pula kelompok-kelompok non-pekerja formal.
Di Indonesia kebijakan mengenai sistem jaminan sosial ini masih sangat terbatas cakupan dan pemanfaatannya dan masih menjadi perdebatan luas mengenai bentuk sistemnya (Arifianto, 2004). Sementara ini sistem jaminan sosial yang saat ini berjalan di Indonesia baru efektif mencakup kelompok pekerja formal. Sistem jaminan sosial nasional yang ditetapkan melalui UU 40/2004 memang telah berusaha mencakup kelompok yang lebih luas termasuk pekerja di sektor informal maupun pekerja mandiri (self-employed). Namun perluasan cakupan ini masih menjadi perdebatan mengenai penanggung beban pembiayaan bagi kelompok informal dan pekerja mandiri. Negara dalam hal ini dituntut oleh baik pengusaha maupun serikat buruh untuk bertanggung jawab secara lebih besar kepada kelompok tersebut.
Keterbatasan sistem jaminan sosial itu juga membuat cakupan tanggung jawab negara belum menjangkau kepada kelompok penganggur. Skema-skema bantuan sosial yang selama ini ada seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai), Raskin, atau BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pendidikan masih dikelola secara sektoral dan bersifat pragmatis. Keberadaan bantuan-bantuan sosial tersebut lebih banyak terkait dengan fluktuasi ekonomi nasional (misalnya inflasi akibat pengurangan subsidi BBM) dan bukan berupa sistem perlindungan sosial yang berjangka panjang. Padahal sebuah sistem perlindungan sosial yang terintegrasi dan berjangka panjang juga dibutuhkan. Jika memperhatikan tak terhindarkannya arus kuat fleksibilisasi pasar kerja, maka batasan antara pekerja formal, pekerja informal dan penganggur seringkali tipis. Status pekerjaan seseorang dapat berubah dengan cepat dalam interval kurang dari 3 bulan. Dengan demikian keadaan terhempas ke sektor informal atau menganggur atau bahkan menjadi miskin tidak selalu disebabkan oleh kejutan ekonomi, melainkan dapat menjadi bagian dari sebuah sistem yang sedang berjalan. Dengan demikian sebuah sistem perlindungan sosial yang mengintegrasikan antara sistem jaminan sosial dan skema-skema bantuan sosial yang terintegrasi dan berjangka lebih panjang menjadi sebuah kebutuhan mengikuti meluasnya praktek pasar kerja fleksibel.
Di samping permasalahan sistem jaminan sosial atau sistem perlindungan sosial – yang lebih luas, struktur penyelenggaran dari sistem ini juga masih menjadi sumber ketidakefektivan. Lemahnya sistem perwakilan pekerja di dalam sistem ini, besarnya pengaruh kepentingan politik, lemahnya sistem akuntabilitas lembaga-lembaga penyelenggaran jaminan sosial melengkapi belum sempurnanya sistem ini. Di sisi lain, ketidak sempurnaan ini berpacu dengan cepatnya pemerintah mengagendakan perubahan sistem pasar kerja demi mendorong cepatnya pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan pasar kerja dan kesejahteraan sosial masih lebih banyak terbiaskan oleh pendekatan-pendekatan pertumbuhan ekonomi makro.
Kondisi obyektif ini memerlukan sebuah penataan kembali sistem jaminan sosial. Tanggung jawab pemerintah nasional untuk pelaksanaan sistem ini dapat pula dibagi dengan pemerintah daerah sebagai pelaksana operasional dari kebijakan tersebut. Di sisi lain pemerintah daerah juga dapat menghimpun dana-dana publik yang lebih luas, selain dari dana perusahaan dan pekerja yang sudah ada. Dalam hal ini pemerintah daerah harus didesak untuk menghilangkan ekonomi biaya tinggi agar terjadi redistribusi surplus ekonomi yang lebih merata kepada masyarakat di daerahnya.
SERIKAT BURUH DI DALAM ARUS PASAR KERJA FLEKSIBEL
Menghadapi gelombang keras pasar kerja fleksibel, para pemimpin serikat umumnya mempunyai orientasi pandangan yang sama. Para pimpinan serikat buruh di tingkat nasional menyatakan bahwa pasar kerja fleksibel adalah arus yang tak mungkin dihindari dan membawa dampak yang merugikan buruh. Namun demikian hingga kini belum muncul konsep yang jelas mengenai cara mengatasi dampak fleksibilitas yang merugikan pekerja tersebut. Kebanyakan juga menyatakan bahwa pekerja kontrak dan outsourcing meningkat jumlahnya dan dilanggar hak-haknya. Untuk itu mereka menyerukan perlunya perlindungan bagi mereka. Tetapi di tingkat nasional juga belum muncul konsep dan strategi yang jelas mengenai cara pengorganisasian para pekerja tersebut. Sebaliknya , di tingkat lokal telah cukup banyak serikat buruh di tingkat perusahaan yang secara aktif dan proaktif melakukan langkah-langkah konkrit untuk menghadapi persoalan flkesibilitas hubungan kerja. Dengan menggunakan mekanisme bipartit beberapa serikat melakukan perundingan dengan pihak perusahaan agar lebih menjamin kesejahteraan dan kepastian kerja pekerja kontrak dengan menyusun program peningkatan status hubungan kerja menjadi tetap bagi pekerja kontrak yang menunjukkan prestasi dan kinerja yang baik.
Dalam beberapa kasus persoalan fleksibilitas hubungan kerja terutama dalam hal pengerahan tenaga kerja outsourcing juga telah membawa efek potensi konflik horizontal di antara serikat dengan masyarakat sekitar yang membuka bisnis penyediaan/penyalur tenaga kerja . Beberapa kasus lain menunjukkan indikasi bahwa tekanan para pelaku bisnis penyalur tenaga kerja terhadap perusahaan cukup kuat dan efektif dan sebenarnya berpotensi untuk membentuk aliansi sementara pengusaha dan serikat untuk menciptakan kesejahteraan pekerja tidak tetap. Kasus menunjukkan rekrutmen tenaga kerja kini tak lagi sepenuhnya berada di tangan perusahaan berdasarkan perhitungan kebutuhan dan target produksi, akan tetapi harus dikombinasi dengan intervensi penyalur tenaga kerja yang ikut menentukan berapa banyak tenaga yang akan direkrut dan kapan harus dilepas. Pekerja yang berkinerja baik dan punya prospek untuk terus dipekerjakan atau bahkan dinaikkan statusnya dapat diputus hubungan kerjanya karena pihak penyalur tidak bersedia memperpanjang kontrak dan memilih menggantikannya dengan pekerja lain.
Selain persoalan status hubungan kerja yang fleksibel, serikat buruh juga dihadapkan pada persoalan rendahnya mutu kinerja aparat pemerintah. Law enforcement yang sangat lemah yang dihadapi oleh serikat dalam keseharian praktek bisnis dan hubungan kerja adalah persoalan utama.. Pengalaman serikat-serikat buruh di Bekasi, Depok, Tangerang, Bandung serta Pasuruan memperlihatkan berbagai kasus mengenai penutupan pabrik dan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tanpa prosedur dan tanpa pemberian pesangon serta mekanisme kontrak yang tidak sesuai aturan (kontrak terus diperpanjang tanpa pernah menjadi pekerja tetap) atau kontrak yang waktunya tidak jelas, penggunaan tenaga outsourcing yang makin banyak di pekerjaan-pekerjaan di luar yang ditentukan dalam undang-undang, penyimpangan pembayaran iuran jamsostek oleh agen pengerah tenaga adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan dan UU yang tidak pernah ditindak meskipun sudah dilaporkan. Pengurus serikat di daerah-daerah tersebut mengeluhkan ketidaktanggapan dan kelambanan pegawai disnaker terhadap laporan-laporan pelanggaran dengan alasan klasik kurangnya jumlah pegawai pengawas dibandingkan jumlah perusahaan yang harus diawasi. Fungsi pengawasan yang sangat lemah, ketidaktegasan dalam menyikapi pelanggaran dan pembiaran terhadap pelanggaran hokum yang berkaitan dengan fleksibilitas merupakan wajah Negara di tingkat local yang tidak mampu menjalankan perannya sebagai penegak peraturan dan keadilan.
Di tengah arus deras fleksibilitas pasar kerja, lemahnya dan pelemahan serikat adalah tantangan berat bagi serikat itu sendiri dan bagi pekerja secara umum. Fleksibilisasi hubungan kerja yang memang memudahkan proses rekrut dan pecat bagi perusahaan serta dapat secara signifikan menekan biaya tenaga kerja membawa dampak yang serius terhadap penurunan kesejahteraan pekerja. Masa kerja yang pendek dalam sistem kontrak dan outsourcing dengan hak hanya upah pokok sebesar atau bahkan lebih rendah dari upah minimum kabupaten/kota tanpa tunjangan-tunjangan maupun fasilitas kerja lainnya merupakan sebuah bentuk pemiskinan kaum pekerja dan menciptakan lebih banyak kaum miskin pekerja (Lindenthal 2005:93).
Secara historis gerakan serikat buruh di Indonesia sejak jaman orde baru tidak pernah kuat. Ketika era SPSI sebagai satu-satunya serikat di seluruh negeri, posisinya sepenuhnya berada di bawah kendali Negara. Ketika era kebebasan berserikat datang kelemahan justru muncul dari dalam diri serikat sendiri. Perayaan kebebasan berserikat diwujudkan dengan pembentukan serikat-serikat baru dan di dalam satu perusahaan bisa terdapat lebih dari dua serikat. Situasi kebebasan berserikat juga justru menimbulkan potensi konflik antara serikat yang sudah diantisipasi oleh Negara dalam UU PPHI yang menggolongkan konflik antar serikat sebagai salah satu jenis konflik perburuhan.
Perpecahan ini bahkan terjadi di tingkat proses perumusan kebijakan perburuhan nasional yaitu perumusan UU 13/2003 dan UU PPHI. . Sebagian serikat ikut merumuskan namun sebagian lain menolak hasil rumusan UU. Hal ini menunjukkan lemahnya gerakan serikat di dalam merespon beberapa isu yang sangat strategis di tingkat nasional. Demikian pula menyangkut respon serikat terhadap rencana revisi U13/2003. Ketika rencana revisi UU 13/03 yang isinya makin memberikan peluang bagi perusahaan untuk lebih fleksibel diketahui, serikat buruh memang bersatu untuk menolak dan berhasil. Akan tetapi pekerjaan rumah untuk mengawal apa kemudian setelah rencana revisi ditolak, tak terjadi kepaduan langkah. Serikat-serikat besar bergerak sendiri-sendiri menyusun UU tandingan. Kawalan serikat terhadap rencana PP yang akan dikeluarkan oleh pemerintah juga lemah.
Pengalaman berhadapan dengan negara yang pasif yang dihadapi oleh serikat buruh ketika membela kepentingan anggota sebagaimana diuraikan di atas sekaligus menunjukkan kesenjangan antara asumsi dan realitas fleksibilitas dan karakteristik pasar tenaga kerja. Kesenjangan tersebut makin diperburuk oleh menurunnya kinerja aparat negara. Di tengah situasi semacam itu serikat buruh perlu memainkan peran yang lebih besar dalam menentukan kebijakan pasar kerja dan mengontrol tanggung jawab negara. Pada saat yang sama serikat juga dituntut untuk melakukan konsolidasi dan pembenahan internal karena posisi tawarnya yang lemah di hadapan Negara dan modal.
Serikat buruh nyata menghadapi persoalan yang sangat kompleks karena tren fleksibilisasi di tengah persaingan ekonomi dan bisnis di tingkat global serta lemahnya pemerintah pusat dan situasi otonomi daerah. Jalinan ketiganya menuntut penetapan posisi strategis yang harus diambil serikat buruh agar dapat menentukan langkah yang tepat dalam memperjuangkan kepentingan kolektif pekerja. Serikat buruh sangat perlu menigkatkan kemampuan dan kinerjanya agar dapat melakukan kontrol terhadap Negara dan berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan Negara yang terkait dengan hubungan kerja maupun pasar kerja baik di tingkat pusat maupun local. Sudah lama serikat buruh dikritik karena dianggap hanya memikirkan kepentingan secara eksklusif yang melingkupi hal-hal yang berkaitan dengan hubungan kerja dan mengabaikan aspoek-aspek makro yang sangat berpengaruh terhadap berbagai kebijakan dan kondisi yang menyangkut hubungan kerja. Kompleksitas persoalan yang kini menjadi arena eksistensi serikat telah menyajikan tantangan dan peluang yang mau tidak mau harus diambil untuk mengangkat posisi tawar dan membangun basis kekuatan serikat.
KESIMPULAN
Pasar kerja fleksibel hadir di Indonesia sebagai sebuah konsekuensi struktural dari posisinya yang menjadi bagian dari sistem perekonomian global yang liberal. Gagasan ini masuk Indonesia ini melalui berbagai jalur, mulai dari hubungan rantai interaksi antar perusahaan, rekomendasi-rekomendasi badan-badan pembangunan internasional, kesepakatan-kesepakatan kerjasama bilateral dan multilateral antar negara, hingga saluran pengetahuan dan pemikiran para intelektual. Pendek kata, pasar kerja fleksibel sedang menjadi kecenderungan arus utama dari sistem perekonomian dan sistem hubungan kerja di tingkat internasional yang berbasiskan prinsip pasar bebas.
Sebagaimana optimisme di dalam gagasan-gagasan liberal yang berupaya keras untuk menerapkan prinsip liberalismenya ke masyarakat, gagasan pasar kerja fleksibel pun diyakini oleh para pendukungnya mempunyai prinsip-prinsip universal. Asumsi-asumsinya dipenuhi oleh pemikiran positif mengenai persaingan terbuka dan bebas yang akan membawa kesejahteraan pekerja maupun keuntungan maksimal bagi perekonomian perusahaan maupun negara. Di sinilah letak permasalahannya. Pasar kerja fleksibel bagaimanapun adalah sebuah konsep dan sistem pasar kerja yang memiliki asumsi-asumsi yang kontekstual. Asumsi-asumsinya dibangun di atas serangkaian persyaratan struktural. Asumsi-asumsi yang kontekstual itu membuat gagasan pasar kerja fleksibel mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang melekat di dalam asumsi itu sendiri.
Kontradiksi internal yang pertama adalah bahwa efek degradasi bagaimanapun juga merupakan karakter yang melekat dari konsep fleksibilitas pasar kerja. Ini membuat fleksibilitas pasar kerja menjadi sangat rentan pada karakteristik pasar kerja yang berbeda-beda. Kontradiksi internal kedua di dalam asumsi itu terlihat dari kegagalan konsep fleksibilitas pasar kerja di dalam mengenali permasalahan yang mendasar dari pasar kerja yang dualistik. Pada pasar kerja dualistik yang didominasi oleh angkatan kerja tidak terampil, pemindahan pekerja sektor informal dan para penganggur ke dalam sektor formal dalam kenyataan cenderung tidak berhasil memperbaiki keadaan mereka. Yang terjadi justru adalah sebaliknya yakni degradasi kondisi kerja yang semakin parah, penurunan tingkat kesejahteraan yang lebih drastis serta peningkatan ketidakpastian kesejahteraan. Ini menunjukkan bahwa gagasan perluasan kesempatan kerja dalam konsep fleksibilitas pada pasar kerja yang dualistik tidak serta merta memperbaiki mutu dari kesempatan kerja itu sendiri. Begitu pula ketidakpedulian rezim fleksibilitas pada keruntuhan kolektivisme serikat buruh sangat potensial membawa dampak negatif jangka panjang dari posisi sosial politik pekerja. Ini merupakan kontradiksi internal berikutnya yang mengindikasikan kegagalan fleksibilitas dalam mengidentifikasi konsekuensi sosial jangka panjang dari sistem pasar kerja tersebut.
Kontradiksi-kontradiksi internal yang ada dalam kebijakan pasar kerja fleksibel ini membuat kebijakan ini memerlukan langkah preventif seperti kebijakan pasar kerja yang aktif dan terintegrasi dengan berbagai kebijakan lain. Namun di sini pulalah letak kegagalan pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan pasar kerja fleksibel. Kebijakan tersebut dibangun tanpa secara cermat memperhitungkan kontradiksi-kontradiksi internal, tanpa mengintegrasikannya dengan kebijakan-kebijakan lain, dan tanpa membangun langkah-langkah preventif terhadap potensi negatifnya. Ideologi tentang surutnya peran negara yang menyertai berbagai kebijakan pembangunan Indonesia masa kini juga semakin mengancam tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan pekerja dan warga. Ini turut memperburuk kerangka kebijakan tentang pasar kerja. Sistem jaminan sosial atau perlindungan sosial tidak menjadi sebuah kebijakan yang sentral bagi negara dan tidak mendapat prioritas yang mendesak dan tidak menjadi bagian dari kerangka perencanaan kebijakan pasar kerja.
Ancaman efek negatif dari sistem pasar kerja ini menjadi semakin besar karena kelemahan dalam penegakan hukum. Beragam ekses dari desentralisasi dan otonomi daerah turut memburuk kelemahan ini. Lemahnya kontrol sosial dan politik baik dari lingkaran elit politik (DPRD/DPR) maupun civil society membuat sistem pasar kerja ini benar-benar bekerja di atas infrastruktur sosial yang tidak tepat.
Menghadapi kondisi yang demikian peran serikat buruh secara normatif adalah sangat esensial untuk melindungi kepentingan pekerja. Namun secara obyektif serikat buruh justru turut menjadi korban dari rejim fleksibilitas ini. Lebih dari itu serikat buruh di Indonesia tidak memiliki basis sejarah yang kuat untuk membangun gerakan yang mampu mengontrol arus perkembangan pasar kerja fleksibel. Berbagai kelemahan internal menjadi kendala yang serius untuk menghadapi fenomena ini. Pihak yang harus dihadapi di dalam seting pasar kerja yang demikian terlalu kompleks untuk dihadapi oleh serikat buruh secara sendirian dan dengan kerangka gerakan yang terlalu konservatif.
Untuk mengatasi seluruh permasalahan tersebut, diperlukan sebuah langkah bersama yang saling berkait. Serikat buruh dan elemen-elemen civil society lain perlu memahami permasalahan pasar kerja fleksibel ini secara lebih luas untuk kemudian menyusun agenda-agenda konkrit. Arahannya adalah sebuah perbaikan yang mendasar dalam kebijakan pasar kerja dan sistem kesejahteraan warga. Sementara itu pemerintah dan perwakilan rakyat (DPR/DPRD) perlu mengkaji kembali keseluruhan kebijakan pasar tenaga kerja tersebut. Demikian pula pengusaha perlu didesak untuk turut andil di dalam hal ini. Upaya ini jelas merupakan sebuah upaya politik karena melibatkan sebuah perencanaan kebijakan negara yang lebih mendalam.
Catatan akhir
Artikel ini adalah adaptasi dari Kertas Posisi yang berjudul Fleksibilitas Pasar Kerja dan Tanggung Jawab Negara (Nugroho & Tjandraningsih, 2007) yang merupakan hasil kerjasama antara LIPS-Bogor, LabSosio UI-Depok, AKATIGA-Bandung, dan Perkumpulan PraKarsa-Jakarta.
Hari Nugroho adalah pengajar dan peneliti di LabSosio Pusat Kajian Sosiologi UI dan Indrasari Tjandraningsih adalah peneliti di AKATIGA Pusat Analisis Sosial.
Data Bank Dunia menggolongkan pasar kerja di Indonesia berada pada peringkat paling kaku di Asia (World Bank, 2005; 2006).
Meskipun UU 13/2003 hanya mengatur fleksibilisasi status kerja melalui penggunaan tenaga kerja kontrak dan outsourcing, namun di tingkat realita , fleksibilisasi ini juga menghasilkan fleksibilisasi upah dan jam kerja (FPBN, 2006).
Pada rezim pemerintahan kini pertumbuhan ekonomi makro lebih banyak diukur dari pencapaian-pencapaian pertumbuhan sektor moneter. Pertumbuhan sektor riil tidak digunakan sebagai parameter kunci dan instrumen pengendalian pertumbuhan ekonomi. Padahal kebijakan industrialisasi yang tidak terbatas hanya pada kebijakan investasi adalah kebijakan ekonomi makro yang paling berdampak kuat pada pasar tenaga kerja.
REFERENSI
ADB, Asian Development Outlook 2007: Growth Amid Change. Hong Kong: Asian Develepment Bank
AKATIGA-TURC-LABSOSIO UI. 2006. Promoting Fair Labour Regulations in Indonesia:A Study and Advocacy in Improving Local Level Investment Environment in Tangerang and Pasuruan, www.akatiga.or.id/html
Arifianto, Alex. 2004. “Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia: Sebuah Analisis atas Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (RUU Jamsosnas)” Kertas Kerja. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU.
Bamber, G.J. & Lansbury, R.D. 1993. International and Comparative Industrial Relations. St.Leonards: Allen & Unwin Pty Ltd.
Beleva, Iskra & Tzanov, Vasil. 2001. “Labour Market Flexibility and Employment Security” Employment Paper 30/2001. Geneva: International Labour Office.
Bernabè & Krstić. 2005. “Labor productivity and Access to Markets Matter for Pro-Poor Growth: The 1990s in Burkina Faso and Vietnam” A Paper prepared for OPPG, DFID, German Dev.Policis and the World Bank.
BPS. 2006. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik
Caraway, Teri. “Collective Labour Rights & Labor Market Flexibility in East Asia”. An unpublished Paper in the Dept. Of Political Sciences. Univ of Minnesota. Twin Cities.
Coats, David. 2006. Who’s Afraid of Labour Market Flexibility? The Work Foundation, http://www.theworkfoundation.com/Assests/PDFs/labour_market%20_flexibility.pdf
Dore, Ronald. 2003. “New Forms and Meaning of Work in an Increasingly Globalized World” A Paper. International Institute for Labour Studies, ILO Social Policy Lectures, Tokyo.
Douglas, William A. 2000. Labour Market Flexibilityversus Job Security: Why Versus? www.newecon.org/Labor Flex_Douglas.html, downloaded at 06.03.06
Foroohar, Rana & Emerson, Tony. 2004. “A Heaven Burden” in Newsweek, August 23, 2004.pp.39-43
FPBN dan Aliansi SB Jatam. 2005. “Ketika Buruh Nombok Biaya Hidupnya: Biaya-biaya tersembunyi fleksibilisasi akibat pemberlakukan UU 13/2003”. Kertas Posisi
Gallie, Duncan & Vogler Carolyn. 1995. “Labour Market Deprivation, Welfare, Collectivism” in Gallie Duncan et al. Social Change and the Experience of Unemployment. Oxford: Oxford University Press.
Hadiz, Vedi. 1997. Workers and the State in the New Order Indonesia. London: Routledge.
Islam, Iyanatul, 2001. “Beyond Labour Market Flexibility: Issues and Options for Post-Crisis Indonesia. Journal of the Asia Pasific Economy 6 (3) 2001: 305-334.
Islam, Iyanatul. 2000. “Employment, Labour Mar