EKONOMI
Jumat, 7 Mei 2010 | 05:07 WIB
Maria Hartiningsih
Dalam setiap peristiwa, perempuan, khususnya dari masyarakat marjinal, hampir selalu berada di depan untuk merangkul seluruh keluarga. Di dalam tubuh yang tampak ringkih itu tersimpan semangat tak terukur untuk tidak menyerah pada nasib dan sesuatu yang kerap dianggap ”takdir”.
Matahari di atas kepala ketika Sownari (50-an) mengunjungi Nenek Wan Nyo (70-an) yang sedang memasak mi instan untuk cucunya. Hari itu ia tidak bekerja karena tidak enak badan. ”Sejak ada demo-demo, dada saya suka berdebar, badan saya lemas, sering pusing, dan ini....,” ia memperlihatkan urat kaki dan tangan yang membiru.
”Jantung saya sudah dioperasi,” sambung ibu dua anak dan nenek dua cucu itu sambil memperlihatkan bekas jahitan panjang membelah dadanya.
”Sesudah operasi saya harus selalu minum obat, sampai kepala botak.... Sekarang obatnya terlambat. Kalau mau periksa ke Cipto, harus pakai rujukan. Kalau tidak nanti diminta bayaran.”
Isu penggusuran rumah di pinggir Sungai Cisadane oleh Pemerintah Kota Tangerang disertai aksi kekerasan, sangat mengganggu kehidupan 350 keluarga dengan 1.007 jiwa di lahan seluas 10 hektar di Desa Mekarsari, Kecamatan Neglasari, itu.
Meski Kapolri Bambang Hendarso Danuri telah menegaskan pelaksanaan penggusuran ditunda, tetapi massa menunggu dalam ketidakpastian ibarat duduk di atas bara panas. Sebagian warga bahkan sudah menghancurkan rumah mereka karena, setidaknya, masih ada uang hasil penjualan puing meski hanya satu-dua juta rupiah.
”Cuma ditunda,” sergah Loa Sun Yam atau Melliana, ”Cepat atau lambat akan digusur, padahal kami turun-temurun di sini, bayar pajak, bayar listrik juga.”
Ibu dua anak itu berada di baris depan aksi protes, berbaring telentang di bawah terik matahari dan hanya berjarak sekitar 15 meter dari sarana yang bisa digunakan petugas melakukan kekerasan.
Dalam situasi serba tidak pasti, kehidupan yang sudah sulit menjadi kian sulit. ”Suami saya habis modalnya, tidak bisa dagang ayam lagi,” ujar Sownari. ”Suami saya tidak lagi bekerja karena pabriknya tutup,” sambung Ny Murni, nenek dua cucu.
Tertimpa tangga
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah yang dirasakan sebagian besar warga. Sownari, misalnya, harus harus mengurus hidup dua cucu setelah anak laki-lakinya bercerai.
Di rumah seluas sekitar 24 meter persegi, berlantai tanah berdinding bambu, yang atapnya baru diganti asbes bantuan dari suatu yayasan, ia tinggal bersama anak bungsunya berusia 14 tahun, suami, dan dua cucunya. ”Ayah cucu saya kerja milihin nasi di kandang babi, jauuuh di sana. Jarang pulang,” ujar Sownari.
Dua cucunya masih sekolah meski menunggak utang Rp 400.000 untuk biaya buku, seragam, dan bermacam keperluan sekolah. ”Uang sekolah memang enggak bayar, tetapi yang lain-lain bayar. Saya bilang sama cucu, sabar yaa, Nenek kerja dulu....”
Pekerjaan sebagai buruh cuci—ia mencuci di kali—hanya menghasilkan Rp 15.000 sehari. Uang itu untuk keperluan sehari-hari, terutama beras. Kata Sownari, pak RT, Eddy Liem, kemarin baru memberi beras tiga liter.
”Seliter untuk sehari, yang penting ada nasi,” ia menunjuk remaja laki-laki yang sedang makan, sambil sesekali mencuri pandang dari kejauhan.
”Itu bungsu saya, baru makan pagi sekaligus siang. Tadi tetangga ngasih kepiting kecil untuk lauk. Dia sudah empat tahun enggak sekolah, kerjanya bantu-bantu tetangga. Kadang dapat Rp 3.000. Cucu juga kerja, kadang bantu bawa sabun dan cucian orang yang kerja kayak saya. Dapat Rp 1.000-Rp 2.000, lumayan....”
Kisah Sownari adalah kisah sebagian besar perempuan sepuh di situ. Pun Wan Nyo, ia punya enam anak. Sebelum keributan penggusuran, dua anaknya tinggal di rumah petak berjejeran dengan petak rumahnya.
Setelah itu, mereka pindah, meninggalkan Wan Nyo bersama dua cucunya, berusia awal belasan tahun, yang yatim-piatu dan tidak bersekolah. ”Mau sekolah pakai apa, buat makan saja susah,” ujar nenek 14 cucu itu.
Ia tidak tahu harus pergi ke mana kalau rumahnya digusur karena tidak mungkin ikut salah satu anaknya bersama dua cucu yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemarjinalan
Tak sulit melihat wajah kemiskinan ekonomi di tempat itu, meski janji peningkatan kesejahteraan diumbar saat pemilihan kepala daerah.
”Kami dulu memilih Pak Wali karena katanya akan melindungi dan tempat ini dianggap kekayaan budaya Tangerang. Sekarang semuanya lain,” ujar Melliana tentang Wahidin Halim yang terpilih sebagai wali kota dalam pilkada.
Identitas menjadi lokus paling mudah dijadikan komoditas politik. Ketika dibutuhkan ia digunakan, tetapi setelah itu identitas yang berbeda kerap dianggap liyan yang mengancam ”kemurnian” identitas arus utama.
Padahal akulturasi di situ termasuk unik karena kebudayaan asal tidak hilang, justru dipelihara baik. Namun, seperti dikatakan Felix Kristiadi, pekerja sosial, ”Warga Cina Benteng tidak diakui sebagai bagian masyarakat Tionghoa karena dianggap berbeda dan tak mudah diterima warga asli karena agamanya berbeda.”
Persoalan identitas itu membuat perempuan seperti Sownari dan Wan Nyo menanggung beban terberat dari kondisi pemarjinalan sistematis yang membisukan suara mereka sebagai perempuan, sepuh, kelas sosial paling rendah, sangat miskin, dan tidak lagi produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar