Minggu, 02 Mei 2010

Nasib Buruh Kembali Ditanyakan

Jajak Pendapat Kompas
Nasib Buruh Kembali Ditanyakan

Senin, 3 Mei 2010 | 03:19 WIB

ANUNG WENDYARTAKA

Sampai saat ini belum tampak suatu terobosan signifikan terhadap perbaikan nasib buruh di negeri ini. Di satu sisi, hak-hak dasar yang dimiliki kaum buruh masih dirasakan kurang memadai. Di sisi lain, para buruh sendiri pun tampak gamang dalam menilai eksistensi mereka.

Kesimpulan semacam ini terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas yang dilakukan pada 27-29 April 2010. Terungkap betapa minimnya apresiasi publik terhadap pemerintah dalam soal nasib jutaan pekerja di negeri ini. Tidak kurang dari dua pertiga (66,5 persen) responden menilai peran pemerintah dalam hal memberikan jaminan sosial, seperti yang dituntut buruh dalam peringatan Hari Buruh Internasional tahun ini, dianggap masih belum memadai.

Jika dielaborasi, semua ketidakpuasan tecermin dalam penilaian terkait dengan hak-hak dasar buruh. Dalam soal kebijakan penetapan upah minimum, yang selalu menjadi perdebatan antara pekerja dan pemberi kerja, misalnya, tak kurang dari dua pertiga (69,7 persen) responden menilai kiprah pemerintah dalam menentukan upah minimum bagi buruh dianggap masih belum memadai.

Penentuan upah minimum ini memang selalu menjadi persoalan tarik-menarik antara kepentingan pengusaha dan pekerja. Pengusaha akan selalu berusaha menekan serendah mungkin nilai upah pekerja dengan berbagai alasan, seperti menekan komponen biaya agar produknya bisa lebih kompetitif di pasar atau agar pengusaha tetap bisa menjalankan usaha. Sementara pekerja akan selalu menuntut upah yang layak sesuai dengan ekspektasi mereka. Di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan untuk menjembatani kedua kepentingan tersebut, yang saat ini masih dinilai kurang memadai.

Reformasi tak berbuah

Tidak hanya dalam menentukan upah minimum dan memberikan jaminan sosial peran pemerintah dinilai belum memadai oleh publik, tetapi juga dalam hal memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja. Tampak begitu tinggi proporsi responden (79,9 persen) yang menilai peran pemerintah kurang memadai dalam memberikan perlindungan terhadap buruh migran, seperti tenaga kerja Indonesia. Berbagai kasus penipuan, pemerasan, kekerasan, hingga kematian yang acap kali menimpa buruh migran selama ini menjadi bukti rendahnya perlindungan dari pemerintah terhadap mereka.

Penilaian semacam ini tampaknya tidak berbeda jauh dengan kondisi sebelumnya. Penilaian ketidakpuasan terhadap peran pemerintah dalam proporsi yang tidak berbeda jauh sudah terekam pada bulan Mei 2007. Saat itu hasil jajak pendapat yang dilakukan harian ini juga menampilkan pandangan sekitar dua pertiga bagian responden yang menganggap kurang memadainya upaya pemerintah dalam memperbaiki nasib buruh atau memberikan perlindungan kepada buruh. Dengan kondisi demikian, dapat dikatakan tidak ada perbaikan yang dipersepsikan publik terjadi pada kalangan buruh di negeri ini.

Menjadi lebih ironis jika memandang bahwa ketidakpuasan ini terjadi saat era reformasi tengah berlangsung. Sebagaimana diketahui, awal Mei ini adalah tahun ke-12 peringatan Hari Buruh Sedunia selepas penguasaan rezim Orde Baru yang dinilai tidak bersahabat terhadap gerakan buruh.

Selepas penguasaan rezim lama, terkukuhkan tonggak penting bagi perjalanan gerakan buruh di Indonesia. Bagaimana tidak, pada tahun 1998 pemerintahan Presiden BJ Habibie akhirnya meratifikasi beberapa konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) yang tampak pro terhadap gerakan buruh. Salah satunya adalah ratifikasi Konvensi Nomor 87 lewat Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi bagi Buruh atau Pekerja.

Kendati sudah 12 tahun buruh menikmati kebebasan dalam berserikat, berbagai kasus pemasungan terhadap serikat buruh dan pengurusnya oleh pengusaha maupun pemihakan pemerintah terhadap kepentingan pengusaha dalam kasus-kasus buruh masih sering terjadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan pula apabila responden yang menilai pemerintah masih belum memadai dalam menjamin hak dan berorganisasi bagi buruh masih dominan (55,2 persen).

Di sisi lain, kungkungan permasalahan hubungan industrial yang umumnya dinilai merugikan buruh juga masih bermunculan. Pemberlakuan sistem kerja kontrak atau outsourcing, misalnya, yang dilegalkan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kini semakin umum berlangsung. Sistem demikian di satu sisi menguntungkan pengusaha karena perusahaan menjadi lebih efisien, dapat mengurangi biaya produksi dengan tidak perlu mengeluarkan biaya-biaya karyawan.

Namun, di sisi lain, buruh dirugikan dengan tidak adanya jaminan status kerja. Hal ini seperti yang dikatakan Karl Marx bahwa dalam kapitalisme segi pembagian hasil produksi industri, upah ada di satu pihak dan laba di lain pihak. Obyek-obyek materiil yang diproduksi disejajarkan dengan si buruh itu sendiri. Buruh teralienasi dari hasil kerjanya sendiri (Giddens, 1985).

Kegamangan identitas

Apabila di sisi eksternal buruh dinilai kurang mendapat dukungan, kecenderungan yang sama juga tampak di sisi internal buruh sendiri. Saat ini, salah satu persoalan yang menghambat perkembangan gerakan buruh di Indonesia adalah masih rendahnya kesadaran dan solidaritas dari para pekerja sendiri.

Kondisi semacam ini terungkap dari hasil jajak pendapat Kompas. Dari semua responden, yang bekerja hampir 70 persennya, menyatakan bahwa di tempatnya bekerja saat ini tidak terdapat serikat pekerja atau organisasi pekerja. Yang menyatakan telah menjadi anggota serikat pekerja atau organisasi pekerja lain sekitar 23 persen dari seluruh responden pekerja. Ironisnya, ketika ditanya perlu atau tidaknya ada organisasi pekerja di lingkungan kerja mereka, sebagian besar (56,9 persen) responden pekerja menjawab perlu. Alasannya, menurut mereka, organisasi pekerja itu bermanfaat bagi pekerja.

Kondisi ini memang paradoks, di satu sisi pekerja menganggap perlu adanya organisasi pekerja, tetapi di sisi lain justru sebagian besar dari mereka terlihat enggan terlibat menjadi anggota atau pengurus apalagi membentuk serikat pekerja di lingkungan kerjanya. Padahal, dengan adanya UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, pekerja bebas untuk membentuk serikat pekerja walau hanya dengan 10 pekerja.

Gugatan terhadap kesadaran pekerja ini bisa jadi terlihat pula dari masih gamangnya para responden yang bekerja dalam mendefinisikan status mereka. Hasil jajak pendapat ini mengungkapkan sebagian besar (45,2 persen) responden yang bekerja lebih suka mengidentikkan dirinya sebagai karyawan ketimbang sebagai buruh atau pekerja.

(Anung Wendyartaka/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar