Kamis, 19 Mei 2011 |Editorial
Setelah banyak digugat, sistem kerja outsourcing (alih daya) akan ditinjau kembali. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), Muhaimin Iskandar, menjanjikan perubahan peraturan perundang-undangan yang terkait masalah ini.
Melalui Kepala Bagian Humas Depnakertrans, Suhartono, Menakertrans menerangkan bahwa pihaknya sedang mendorong sebuah pertemuan Tripartit (perwakilan serikat buruh, pengusaha, serta pemerintah) bersama para pakar dan akademisi untuk menggodok perubahan dimaksud.
Belum dapat dipastikan, sejauh mana janji ini dapat direalisasikan, mengingat adanya keraguan dalam pernyataan Menteri, dan telah begitu luasnya sistem ini dijalankan. Banyak pengusaha yang diuntungkan oleh penggunaan tenaga kerja outsourcing. Demikian pula banyak pihak, termasuk dari kalangan pengurus serikat buruh sendiri, yang diuntungkan karena bertindak sebagai agen penyalur tenaga kerja outsourcing ini.
Sistem outsourcing dapat diartikan sebagai penyerahan pekerjaan tertentu kepada pihak (perusahaan) lain, atau, menggunakan buruh dari pihak (perusahaan) lain untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Sebagai sebuah fenomena global, sistem ini berlandaskan pada konsep kelenturan pasar tenaga kerja (Labour Market Flexibility). Konsep ini merupakan upaya kapitalisme untuk menekan biaya upah buruh (labour cost) menjadi lebih murah, melalui kemudahan merekrut dan memecat pekerja.
Sebagai fenomena dalam di negeri, konsep ini telah menekan upah yang sudah murah menjadi semakin/lebih murah. Penerapannya mulai masif sejak penandatangan nota kesepakatan (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dengan International Monatery Fund (IMF) tahun 1997, sebagai syarat penerimaan utang baru. Kemudian, pengesahan melalui UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan membuat praktik ini semakin merajalela.
Sebuah penelitian di tahun 2010 terhadap pelaksanaan outsourcing di sektor industri ototmotif, menyebut penggunaan buruh outsourcing mencapai 40% dari total tenaga kerja. Mereka menerima upah rata-rata 26% lebih rendah dibandingkan pekerja tetap. Selain itu, buruh outsourcing lebih rawan terkena PHK, tidak memperoleh perlindungan sosial, dan umumnya tidak dapat berserikat.
Dengan latar penelitian tadi perlu diberi catatan, bahwa kondisi buruh di sektor otomotif relatif `lebih baik' dibanding pekerja di sektor industri lain. Ini berarti, bila penelitian diluaskan pada sektor-sektor industri lain, sangat berpotensi ditemukan hasil yang lebih buruk.
Sejumlah kalangan menganggap persoalan ini muncul akibat lemahnya pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dikatakan bahwa "kesalahan penafsiran" terhadap pasal yang mengatur masalah outsourcing perlu dicegah melalui pengawasan yang ketat.
Namun kita sama-sama mengetahui bahwa terdapat permasalahan yang lebih luas dan mendasar. Pertama, sistem outsourcing merupakan fenomena global yang merupakan bagian tak terpisah dari pelaksanaan neoliberalisme. Dalam situasi ini posisi tenaga kerja sebagai barang dagangan terjadi semakin terang-terangan.
Kedua, karena dipandang efektif dalam melipatgandakan keuntungan, pelaksanaan sistem ini telah dilegalkan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang di bidang ketenagakerjaan maupun bidang lain. Meskipun, peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak tiap-tiap warga negara memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ketiga, kerusakan ekonomi yang melahirkan puluhan juta pengangguran telah menjadi pra syarat bagi terus berlangsungnya keadaan ini.
Dalam situasi demikian, kita tidak dapat menaruh harapan yang terlalu besar pada janji Menakertrans. Dengan kata lain, janji penghapusan sistem outsourcing terlalu besar bila semata dipikul oleh sebuah kementerian yang ditugaskan untuk memperlakukan tenaga kerja sebagai barang dagangan murahan dalam industri kapitalisme.
Harapan sesungguhnya berada di pundak kaum buruh sendiri, untuk mengorganisasikan perlawanan terhadap sistem ini pada berbagai level atau teritorial. Persoalan cara dan taktik dapat didiskusikan lebih lanjut di antara serikat-serikat buruh untuk melancarkan perlawanan ini. Bukan hanya buruh outsourcing yang berkepentingan, tapi seluruh kaum buruh, bahkan seluruh warga negara berkepentingan menghapus sistem ini, demi kepastian bekerja dan pemenuhan hak-haknya pada tingkat yang minimum, sebagai dasar pijakan untuk memperjuangkan hak ekonomi politik yang lebih luas.
Anda dapat menanggapi Editorial kami di: redaksiberdikari@yahoo.com
http://berdikarionline.com/editorial/20110519/menghapus-sistem-kerja-outsourcing.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar