Oleh : L. Gathot Widyanata
Sampai saat ini, Indonesia dalam membangun ekonomi negeri dengan bertekuk lutut dan mengikuti “Washington Consensus”. “Washington Consensus” adalah sebuah konsensus yang tidak resmi antar pejabat dalam lingkaran institusi internasional dan pengusaha tentang pembangunan ekonomi yang mensyaratkan: pasar, liberalisasi perdagangan dan pengurangan peran negara dalam ekonomi. Satu dari sepuluh butir kesepakatan dalam “Washington Consensus” mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja harus bersifat fleksibel sebagai syarat investasi. Artinya , tenaga kerja memang hanya sebuah fungsi produksi yang bersifat variable. Tatkala produksi meningkat, jumlah pekerja ikut terungkit, namun produksi menurun, mereka juga harus disishkan. Konsekuensinya jelas, tak ada lagi buruh tetap, yang ada tinggalah buruh kontrak.
Perusahaan – perusahaan multinasional yang membidani dan melahirkan “Washington Consensus” dengan efektif melelang janji-janji untuk menyediakan lapangan pekerjaan baru, investasi infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi kepada para penawar internasional tertinggi dan menekan akan menarik diri untuk pindah atau mengancam untuk keluar dari negara-negara yang ongkos kerja dan pajaknya terlalu tinggi, atau tempat- tempat yang standar-standarnya terlalu ketat atau subsidi dan pinjaman tidak terpenuhi.
Sementara Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan, banyak perusahaan yang tutup dan mem-PHK buruhnya sehingga Indonesia surplus tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan membaik ternyata tak pernah kunjung datang. Misalnya saja. disektor industri manufaktur yang juga merupakan penyerap tenaga kerja cukup signifikan, kinerjanya dalam dua triwulan terakhir masih sangat memburuk, masing- masing hanya tumbuh 2 persen pada triwulan 1 dan 3 persen pada triwulan II-2006(Kompas, Senin, 4 Sepetember 2006).
Sejak Indonesia terikat dengan “Washington Consensus” hingga hari, angka pengangguran di Indonesia tetap signifikan. Menurut data yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik) per Oktober 2005 menyebutkan angka pengangguran sudah mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 % dari 106,9 juta angkatan kerja yang ada. Sebanyak 10,84 persen(11,6 juta orang) penganggur terbuka.
Untuk mengatasi pengangguran dan membuka lapangan kerja baru, pemerintah RI semakin tunduk kepada “Washington Consensus” dengan serius merevisi UU No. 13/2003 sebagai usaha mengikat investasi asing. Fleksibilitas tenaga kerja dibutuhkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan akhirnya mengatasi masalah kemiskinan.
Sejak diberlakukan UU No. 13 Tahun 2003, system kerja kontrak dalam hubungan – industrial menjadi wajar. Ada penggerusan pekerjaan tetap sehingga pekerja tetap menjadi pekerjaan outsourcing. Artinya outsourcing bukan lagi yang bukan cor bisnis tetapi sudah merambat pada cor bisnis. Akibatnya banjir bandang PHK tak terhindari dan merusak tatanan hubungan industrial.
Perubahan status kerja, dari buruh tetap menjadi buruh kontrak & outsourcing berdampak buruk bagi buruh. Angka pendapatan buruh turun dratis. Upah buruh tak lebih dari UMK/P bahkan ada yang menerima upah dibawah upah yang ditentukan oleh Negara. Semua tunjangan yang diberikan pada buruh tetap hilang ketika buruh tetap berubah menjadi buruh kontrak. Sistem kerja kontrak atau outsourcing dinilai oleh buruh sebagai proses ‘pemiskinan’ buruh.
Realitas kemiskinan buruh juga dapat dilihat dari fakta bahwa buruh mengatur pendapatannya. Agar buruh tetap bisa hidup, buruh yang berstatus kontrak atau outsourcing melakukan penghematan. Ada beragam cara, mulai dari kuantitas maupun mencari barang pengganti yang relative lebih murah. Dalam konsumsi pangan , berupaya mengurangi jumlah bahan pangan yang dikonsumsi, bahkan ada yang menurunkan kwalitas bahan pangan dengan pilihan yang harga murah. Menyikapi kenaikan biaya transportasi, upaya penyiasatan dilakukan dengan mengurangi frekuensi bepergian maupun upaya mengganti angkutan dengan alat anggkutan yang lebih murah.
Buruh kontrak atau outsourcing mengalami krisis pekerjaan. Kapan saja pekerjaan dapat berakhir atau hilang. Lama, tidaknya pekerjaan tergantung belas kasih majikan. Umur masa kontrak bisa tiga bulan atau eman bulan, setelah itu buruh tidak tahu nasibnya. Dengan kata lain buruh mengalami ketidak pastian kerja.
Fakta lain yang memperlihatkan rendahnya tingkat kesejahteraan bahwa buruh kontrak atau outsourcing tak lagi mendapat fasilitas kesehatan. Mereka tak mengenal Jamsostek. Sedangkan biaya kesehatan di masyarakat cukup tinggi. Keterbatasan upah yang diterima, buruh kontrak tak mampu membiayai kesehatan. Banyak dari mereka yang rentan akan penyakit yang disebabkan oleh kerja.
Ada lapangan kerja, tetapi proses rekrutmen harus melalui agen-agen tenaga kerja dan harus mengeluarkan banyak ongkos antara 600 ribu hingga 1,5 juta, tergantung masa kontraknya. Buruh atau calon tenaga kerja kini tidak lagi leluasa menemukan kesempatan kerja, tetapi harus berhadapan dengan broker-broker tenaga kerja dalam banyak rupa. Buruh menjadi barang yang diperjual belikan. Buruh benar – benar merupakan komoditas.
Pada jaman fleksibilitas pasar tenaga kerja memposisikan tenaga buruh menjadi kepentingan majikan, merupakan sesuatu yang sedemikian melekatnya pada pribadi buruh, sehingga buruh itu selalu harus mengikuti tenaganya ketempat dan pada saat majikan memerlukannya serta mengeluarkannya menurut kehendak majikan itu. Dengan demikian buruh juga jasmaniah dan rohaniah tidak bebas. Disinilah letak kemiskinan buruh akan kekebasan sebagai seorang pribadi buruh.
Satu atap ada dua perusahaan(perusahaan pemberi kerja dan perusahaan pemasok buruh) cukup merepotkan buruh. Buruh mengabdi kepada majikan yang tidak jelas. Jika ada masalah, buruh bingung mengadunya Di satu sisi, buruh menikmati kebebasan berserikat. Di sisi yang lain, serikat buruh banyak kehilangan anggota sebagai dampak system kontrak atau outsourcing. Wajar jika anggota buruh semakin hari semakin merosot karena peralihan status kerja, dari tetap ke kontrak. Sedangkan serikat buruh yang beranggotakan buruh kontrak atau outsourcing masih terbatas pada wacana.
Liberalisasi kebijakan perburuhan sebagai tercermin dalam pemberlakukan UU 13/2003 untuk memperluas kesempatan kerja, justru yang terjadi sebaliknya. Yakni memperluas ketidakpastian kerja. Secara kuantitatif , dengan liberalisasi angka pengangguran tidak turun justru naik hingga 11, 6 juta jiwa. Mobilitas tenaga kerja karena system kontrak tidak mudah menemukan pekerjaan baru, tetapi justru memperpanjang masa pengangguran. Hal ini disebabkan oleh karakter tenaga kerja yang sebagian besar underskilled . Secara kualitatif , liberalisasi melalui system kontrak tidak makin mensejahterakan buruh, tetapi justru semakin menggiring pada kondisi kemiskinan
Dari kenyataan praktik system ekonomi kapitalis di atas, factor utama penyebab kemiskinan buruh adalah (1) kelebihan tenaga kerja dan langkanya lapangan kerja (ketidakpastian kerja), (2) ketidakadilan dalam membayar upah (upah rendah), (3) ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup dan biaya hidup yang tinggi (buruh harus nombok), (4) tiada jaminan social bagi buruh (tak ada jamsostek). Bisa jadi kemiskinan buruh termasuk “transcient poverty”, yakni kelompok masyarakat yang rentan terhadap kebijakan pemerintah atau perubahan kondisi ekonomi, mulai dari perubahan harga hingga inflasi.
Jika ditilik dari jenis kemiskinan, faktor penyebab kemiskinan buruh berada di luar buruh, (seperti penindasan, penghisapan) yakni system ekonomi kapitalis yang diusung oleh negara-negara luar Indonesia. Kemiskinan buruh diakibatkan ketergantungan eksternal Indonesia terhadap negara – negara maju, ketergantungan secara ekonomi, politik dan cultural terhadap kekuatan-kekuatan di luar Indonesia sendiri. Ketergantungan ini terinternalisasikan dalam liberalisasi hubungan –industrial dalam negeri.
Sistem ekonomi kapitalis Indonesia saat ini, menghasilkan kemakmuran bagi sekelompok kecil orang, seperti elite pasar, politik, birokrasi dan kemelaratan buruhnya. Kelompok elite kaya dan berkuasa menciptakan system ekonomi yang mematikan kesadaran pembebasan buruh melalui penetrasi ideology neoliberalisme maupun membungkam aspirasi-aspirasi buruh dengan melemahkan gerakan buruh. Buruh miskin adalah kaum buruh, yakni kelompok social khusus yang mengalami eksploitasi dari kelas social yang lain. Kelompok buruh yang diupah secara tidak adil, sulit menyalurkan aspirasi, sulit memiliki serikat buruh.
Liberalisasi ekonomi dan ideology neoliberalisme bertubi – tubi menuntut negara agar mengurangi intervensi negara dalam mengatur ekonomi, membiarkan mekanisme pasar bekerja, peningkatan kompetisi…dst. Dalam konteks buruh, negara membiarkan buruh diatur oleh mekanisme pasar. Mengurangi intervensi negara berarti usaha untuk melucuti peran negara dalam mengelola ekonomi pada akhirnya memenangkan kelompok kecil elite politik dan pelaku bisnis, local maupun global. Korban yang tak terelakan adalah orang – orang yang tergolong dalam ‘kelas bawah” : petani dan buruh.
Bagaimana buruh keluar dari kubang kemiskinan? Faktor utama penyebab kemiskinan buruh bukan dari buruh sendiri tetapi struktur ekonomi kapitalis yang tidak adil. Dan negara ikut berkontribusi dalam memiskinkan buruh lewat kebijakan- kebijakan ekonomi. Oleh sebab itu, yang utama dan pertama yang kita tuntut adalah peran negara dalam menyelesaikan masalah kemiskinan buruh. Prinsip negara kita adalah : tidak seorangpun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba; perbudakan ,perdagangan budak dan perhambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang bertujuan kepada itu dilarang.
Negara perlu mengupayakan perlindungan dan pengawasan terhadap hubungan industrial secara lebih serius. Disamping itu perlu dibarengi dengan menciptakan kebijakan –kebijakan perburuhan yang mempertimbangkan kaum buruh. Kebijakan –kebijakan tersebut mesti mudah diakses oleh kaum buruh seperti pendidikan , kesehatan dan bentuk –bentuk jaminan social. Sebab prinsip Negara mengusahakan keadilan dan menciptakan tatanan masyarakat yang adil, dengan mengindahkan prinsip subsidiaritas yang menjamin kebutuhan setiap orang. Disamping negara, Masyarakat buruh mempunyai tugas langsung menghasilkan tatanan yang adil dan sejahtera. Caranya dengan berpartisipasi secara pribadi maupun bersama dalam hidup public.
Negara melalui Depnaker-tarns (Departemen Tenaga Kerja dan Tarnsmigrasi) dan Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) tingkat propinsi atau kabupaten mengembalikan fungsinya sebagai institusi resmi sebagai penyedia tenaga kerja. Refungsi Depnaker-Trans dan Disnaker sebagai penyedia tenaga kerja dengan sendirinya rantai perdagangan manusia yang dilakukan oleh lembaga-lembaga outsourcing tenaga kerja musnah.
Tidak hanya buruh yang dijadikan variable pasar tenaga kerja, namun SB(Serikat Buruh) harus dimasukan dalam variable pasar tenaga kerja. Artinya keterlibatkan SB dalam menentukan kebijakan pasar tenaga kerja perlu ditegaskan kembali di republic ini. (***)
Jakarta, 18 September 2006
Penulis aktif diberbadai LSM perburuhan dan bekerja di Biro Pelayanan Buruh KAJ.
Pertemuan Tahunan ke 18 FPBN
8 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar