Jumat, 13 Mei 2011

Upah Buruh Murah

Oleh: L. Gathot Widyanata

Pengantar

Sudarti, buruh perempuan asal Banyumas – Jawa Tengah. Ia datang ke Tangerang 5 tahun yang lalu. Berbekal ijasah SMA, ia diterima kerja di perusahaan tekstil di kawasan Industri Manis Tangerang. Oleh pemilik modal, tenaganya dihargai sebesar UMK (Upah Minimum Kota) Tangerang. Upah sebesar UMK sebagai imbalan atas tenaganya, ia berharap dapat memenuhi biaya yang diperlukan untuk menghadirkan kemampuan kerjanya yang sehat secara fisik dan di pabrik.

Sejak tahun 2007, perusahaannya melakukan efesiensi perusahaan dengan strategi pemutihan. Darti harus menelan pil pahit, status kerja kontrak harus diterima. Nilai nominal upah rendah dan tidak sebanding dengan tingginya biaya hidup.

Baru 2 tahun, Darti menjalani kontrak kerja, pihak pemilik modal men-outsoucing-kan Darti ke perusahaan perekrut tenaga kerja. Dengan demikian, hubungan kerja Darti dibawah manajemen perusahaan perekrut tenaga kerja tersebut. Selain menerima upah yang rendah, ia harus rela upahnya dipotong oleh agen perekrut tenaga kerja.

Hingga hari ini, Darti dan keluarganya menempati sepetak kontrakan di Desa Gandasari Cikoneng Tangerang. Upah sebesar UMK menjebak Darti kedalam jurang kemiskinan tanpa ada kemungkinan untuk keluar dari dalamnya. Karena upah yang diterima, sebagian besar dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang.

Dari fakta di atas, juga dialami oleh jutaan buruh, hidup di bawah atau pada garis kemiskinan. Saat ini, jutaan buruh sedang menghadapi pemiskinan yang bekerja disektor industri manufaktur. Mengapa buruh tetap terbelenggu dalam kemiskinan? Kemiskinan buruh di sector industri merupakan hasil dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam rangka menarik investor – investor asing masuk ke Indonesia.

Indrasari Tjandraningsih, peneliti perburuhan AKATIGA, menyebutkan ada dua strategi dasar yang dilakukan pemerintah untuk mendukung kebijakan tersebut yakni pertama menjalankan kembali politik upah murah dan kedua menerapkan prinsip-prinsip liberal, fleksibel dan terdesentralisasi dalam urusan ketenagakerjaan.

Upah Murah & UMP/K

Dalam rangka menarik investor-investor asing masuk ke Indonesia, pemerintah mengajukan berbagai penawaran kepada para investor. Dalam rangka meyakinkan investor bahwa berinvestasi di Indonesia menguntungkan, salah satu yang ditawarkan ialah upah murah dari buruh di Indonesia.

Kebijakan politik upah murah yang ciptakan oleh rezim Orde Baru, tak pernah dicabut bahkan dipertahankan hingga hari ini. Sebagai bukti politik upah murah masih ada, seperti yang dikutip Koran Kontan Kamis , 21 April 2011, secara terang –terangan, Menteri Perdagangan RI Mari Pangestu mengakui bahkan ”menyukuri” tingkat upah buruh Indonesia yang murah dibandingkan dengan Negara – Negara lain sebagai “keunggulan” dan “daya tarik” industri yang akan menanamkan modalnya di Indonesia.

Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 88, Bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Menurut Oki Hajiansyah Wahab, Alummus Magister Unila, layak ini kemudian ditafsirkan oleh pemerintah dengan menetapkan mekanisme upah minimum yang penetapannya dibuat berdasarkan survei kebutuhan hidup layak yang mekanisme penetapannya diatur dalam Permenakertrans Nomor 17 Tahun 2005.

Dewan Pengupahan adalah suatu lembaga yang bertanggung jawab dalam proses menuju penetapan upah minimum. Ia merupakan lembaga non-struktural yang terdiri dari unsur tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah). Lembaga inilah yang membentuk Tim untuk melakukan Survei Harga, menetapkan nilai KHL, serta mengajukan usulan kenaikan upah minimum yang akan ditetapkan oleh Gubernur.

Kebijakan pengupahan tentang UMP/K (Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota adalah strategi pemerintah untuk mempertahankan politik upah murah. UMP/K ditetapkan berdasarkan surve KHL yang terendah, tanpa mempertimbang tingkat inflasi. Oleh sebab itu, UMP/K yang ditetapkan oleh Gubernur itu, selalu tidak memenuhi kebutuhan buruh. Dengan kata lain, UMP/K tidak pernah 100% KHL.

Ketetapan UMP/K yang tak pernah 100% KHL, secara normatif, pengusaha masih diberikan peluang untuk tidak membayar upah buruhnya sesuai dengan kenaikan upah minimum, atas nama penangguhan pelaksanaan.

Setiap tahun buruh di Indonesia selalu dikecewakan oleh keputusan pemerintah tentang Upah Minimum Propinsi/Kabupaten/Kota. Kecewa, karena kenaikan upah yang terjadi tidak pernah sebanding dengan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari.

Upah Murah & Kebijakan Fleksibilitas Hubungan Kerja

Selain kebijakan UMP/K, politik upah murah dipertahankan lewat kebijakan fleksibilitas ketenagakerjaan. Dalam kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel memperlihat tekanan kapitalis global agar Indonesia menerapkan syarat-syarat perbaikan iklim investasi dengan cara : meliberalisasi peraturan perburuhan, melonggarkan pasar kerja dan mendesentralisasi urusan ketenagakerjaan. Ketiga prinsip tersebut dalam implementasinya secara pasti telah menurunkan kesejahteraan buruh dan menghilangnya kepastian kerja melalui sistem hubungan kerja kontrak, outsourcing.

Penerapan buruh kontrak dan outsourcing secara bebas tanpa control pemerintah, pada akhirnya telah membebaskan pengusaha dari keharusan membayar upah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ke depan, pengupahan buruh akan semakin menyulitkan buruh, jika perjuangan Pengusaha melalui Apindo dan Kadin berhasil menghapuskan campur tangan pemerintah melalui penetapan upah minimum dan menggantinya dengan penentuan upah berdasarkan kepentingan pasar. Jika ini menjadi kenyataan, maka tidak akan ada lagi perlindungan Negara terhadap upah buruh.

Salah satu dampak langsung harus dialami buruh dari hubungan kerja kontrak & outsourcing adalah upah. Dari data yang ditemukan ada kecenderungan bahwa status kontrak dan outsourcing berarti besaran upah menurun. Penurunan upah disebabkan oleh UMK menjadi patokan tetapi banyak yang dibawah UMK, nilai nominal upah rendah dan tidak sebanding dengan biaya hidup, upah masih dipotong oleh agen tenaga kerja.

Buruh Terjebak Upah Murah

Dengan upah murah kaum buruh terjebak dalam kemiskinan tanpa ada kemungkinan untuk keluar dari dalamnya. Upah murah yang didapat oleh kaum buruh akan habis untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan dan sandang.

Keberadaan upah murah akan berdampak pada rendahnya daya beli dan rendahnya investasi maupun tabungan dari kaum buruh. Dari sisi daya beli, maka dengan murahnya upah buruh mengakibatkan lesunya pergerakan sektor riil yang menjual baranng atau jasa disamping penyediaan barang dan jasa pemenuhan kebutuhan primer.

Dengan upah murah, kemampuan buruh untuk menyekolahkan anak menjadi rendah dan tingkat intelektualitas buruh menjadi rendah dan dunia usaha akan kesulitan memperoleh tenaga kerja yang terdidik (Simon J Sibarani 2011)

Upah buruh murah melahirkan permasalahan urban yang luar biasa pelik. Penghasilan minim dari bekerja di pabrik membuat lebih banyak orang memilih terjun di sektor informal, seperti menjadi PKL, pedagang asongan bahkan pengamen.

Penutup

Politik upah murah merupakan produk kebijakan pengupahan rezim Orde Baru dan dipertahankan dalam pengaturan upah minimum dalam wujud berlakunya UMP/K sampai hari ini. Politik upah murah diperluas dengan lahirnya kebijakan fleksibilitas ketenagakerjaan yang berakibat langsung penurunan upah buruh.

Upah murah dan ketidakpastian pekerjaan akan membawa implikasi terhadap penurunan kinerja dan produktivitas buruh. Kondisi kerja yang buruk dan penurunan kesejahteraan hanya akan menghasilkan aksi –aksi protes buruh yang jelas akan membuat situasi investasi tidak nyaman dan hasil akhirnya justru akan membuat para investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Indonesia (Indrasari Tjandraningsih).

Indonesia adalah salah satu negara yang sudah meratifikasi DUHAM, sehingga memiliki kewajiban dan pertanggung-jawaban terhadap dunia internasional untuk menjamin bahwa buruh menerima upah yang layak.

Indonesia sendiri sebagai negara hukum telah menjamin penghidupan yang layak bagi setiap warga negaranya (Pasal 27 UUD 1945). Bagi buruh penghasilan tersebut diterjemahkan sebagai upah. Selanjutnya Pasal 88 UU No. 13 tahun 2003 mengatur bahwa penetapan upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan yang hidup yang layak bagi buruh dan keluarganya. (Penulis adalah Kepala Biro Pelayanan Buruh – LDD KAJ)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar