Oleh: L. Gathot Widyanata
Yati(25), buruh perempuan asal Jawa Tengah, bekerja di perusahaan yang memproduksi sperpart motor. Yati masih lajang, dapat bekerja di pabrik lewat Yayasan Penyedia Tenaga Kerja di Tangerang. Kemudian Yanti dijual pada perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Ia harus membayar Rp. 1300.000,- sebagai jaminan diterima di perusahaan. Menurut Yanti, uang tanda jadi tersebut dicicil 2 kali. Setelah dipotong cicilan pertama, Yati hanya menerima Rp. 550.000 dari upah per-bulan. Ia mengaku tidak pernah tahu upah per-bulannya.
Bekerja adalah cara manusia mendapatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sayangnya, bekerja tidak serta mengangkat harkat ketika buruh berhadapan dengan kenyataan tenaga kerja diperjualbelikan.
Pengalaman Yanti dan buruh outsourcing yang masuk melalui perusahaan penyedia tenaga kerja merupakan bukti bahwa ada transaksi jual beli buruh dalam masyarakat industry. Ada pergeseran penghargaan terhadap buruh. Kalau dulu buruh dihargai sebagai alat produksi sekarang buruh dihargai sebagai komoditas yang diperdagangkan.
Sejak UU 13 Tahun 2003 diberlakukan, buruh outsourcing menjadi primadona pengerahan tenaga kerja di perusahaan – perusahan manufaktur. Selain dapat menekan cost produksi, pengerahan buruh outsourcing menjadi peluang bisnis. Dari data Depnakertrans tahun 2007 ada 1. 221 perusahaan penyedia tenaga kerja di Indonesia.
Undang – Undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, pasal 66 melegalkan tenaga kerja outsourcing dan dibatasi penempatannya, terpisah dari kegiatan utama. Praktek out sourcing di sebagian besar perusahaan manufaktur melanggar ketentuan hukum. Tidak sedikit buruh outsourcing mengerjakan pekerjaan inti.
Sedangkan pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003 melegalkan kehadiran Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Perekrut tenaga kerja bentuk bisa CV, Yayasan, tidak jarang memakai oknum tenaga kerja. Dalam perjalanan implementasi pasal tersebut menjadi mata rantai spekulasi bisnis jasa tenaga kerja. dari bisnis perusahaan jasa outsourching sampai pemanfaatan para agen (calo) yang merekrut para pencari kerja.
Sejak 6 tahun terakhir ini, selain akses kesempatan kerja makin sempit, juga harus merelakan sejumlah uang antara 500 ribu-1 juta kepada lembaga outsorcing untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jahit di pabrik garmen dengan status kontrak 3 bulan. Setelah dikontrak 3 bulan, upah yang diterima sebesar 70% dari kontrak yang ditandatangani. Sedangkan sisanya 30% diterima oleh perekrut tenaga kerja.
Buruh outsourcing tak ubahnya sebagai sapi perahan semata bagi para pemodal. Masalahnya, buruh outsourcing adalah tenaga kerja yang lentur, - mudah diperkejakan bila dibutuhkan, - dan kemudian di – PHK ketika tidak butuhkan.
Buruh outsourcing dihargai sebagai barang, pemodal bisa menukar buruh outsourcing yang tidak memenuhi kualitas kerja dengan yang berkualitas baik pada perusahaan penyedia tenaga kerja. Tak ubahnya proses tersebut tukar menukar barang dalam bisnis jual beli.
Dengan diberlakukan system outsourcing dan banyak dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai strategi efesiensi, buruh tidak akan tenang bekerja karena sewaktu – waktu dapat di PHK dan hanya dipandang sebagai komoditas semata.
Pengerahan tenaga kerja outsourcing saat ini, bisa dipandang sebagai perdagangan manusia (human trafficking). Masalahnya, ada perjajian dimana perusahaan penyedia jasa menyediakan tenaga kerja dan perusahaan pengguna (user) menyerahkan sejumlah uang, maka terjadi jual beli tenaga kerja.
Buruh outsourcing menjadi seonggok barang yang diperjualbelikan, tidak harus menunggu menjadi barang rongsokan, langsung bisa diganti dengan barang yang lain, dengan kualitas yang lebih baik. Buruh adalah alat atau faktor produksi setelah modal bergeser menjadi komoditi perdaganagan. Semestinya buruh ditempatkan yang layak dan dihargai dengan nilai yang tinggi,kerena merakalah yang turut langsung menciptakan produk yang akan dikonsumsi konsumen.
(penulis bekerja di Biro Pelayanan Buruh LDD – KAJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar