Senin, 5 April 2010 | 03:36 WIB
Jakarta, Kompas - Isu jaminan kesehatan yang sempat memicu ketegangan, tetapi berakhir dengan pengesahan di Amerika Serikat kini menular ke Tanah Air. Ribuan buruh akan turun ke jalan berunjuk rasa menuntut pengesahan segera sistem jaminan sosial yang komprehensif.
Demikian disampaikan Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Said Iqbal di Jakarta, Sabtu (3/4). Sebanyak 46 organisasi serikat buruh dan kemasyarakatan bergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial turut mendukung aksi nasional yang akan berlangsung di 100 kabupaten/kota dan 20 provinsi di Indonesia.
Aksi akan mengusung tiga isu, yakni menuntut jaminan kesehatan seumur hidup bagi seluruh rakyat Indonesia, jaminan pensiun seumur hidup bagi pekerja formal, dan badan hukum badan penyelenggaraan jaminan sosial sebagai wali amanat bukan perseroan terbatas.
Aksi akan berlangsung sejak hari Senin ini hingga mencapai puncaknya pada Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2010.
Komite Aksi Jaminan Sosial berawal dari keresahan tidak kunjung terlaksananya amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pemerintah terus mengulur pelaksanaan SJSN dan sampai sekarang malah belum menentukan badan penyelenggara jaminan sosial.
Pemerintah dan DPR juga harus mempercepat revisi UU Nomor 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Pemerintah harus merevisi sanksi bagi pengemplang iuran Jamsostek untuk meningkatkan kepatuhan peserta.
Efek jera
Sanksi yang selama ini berbentuk penjara enam bulan atau denda Rp 50 juta bagi pengemplang iuran Jamsostek dinilai tidak lagi menimbulkan efek jera.
Iqbal mengusulkan agar nilai denda berlipat ganda secara progresif mengikuti jumlah iuran yang tertunggak. Denda yang lebih berat juga harus diberlakukan bagi pemberi kerja yang telah memotong iuran Jamsostek dari pekerja, tetapi tidak menyetornya sesuai ketentuan.
Menurut Iqbal, pemerintah tak boleh terus berlindung di balik perekonomian yang belum terlalu menggembirakan dalam menunda pelaksanaan SJSN.
Pemerintah harus mencontoh sejumlah negara maju yang menerapkan SJSN saat perekonomian mereka baru tumbuh.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal FSPMI Basril Hendrisman mengatakan, Amerika Serikat memulai SJSN saat pendapatan per kapita baru 600 dollar AS per orang.
Korea Selatan, yang memulai SJSN saat pendapatan per kapita baru 100 dollar AS per orang, kini telah memiliki tabungan dana pensiun 240 miliar dollar AS. Adapun Jerman memulai SJSN saat jumlah pekerja formal baru 10 persen dari angkatan kerja.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, aksi simultan digelar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama 33 juta pekerja, mendorong legislatif secepatnya membahas RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan revisi UU No 3/1992 soal Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Komite Aksi Jaminan Sosial khawatir, DPR meremehkan pentingnya kedua produk hukum tersebut karena walau sudah masuk Program Legislasi Nasional dan empat bulan berjalan, sampai saat ini malah belum dibahas sama sekali.
Kalangan serikat buruh dan organisasi kemasyarakatan melihat hal ini bentuk dari inkonsistensi pemerintah dan legislatif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil.
”Jika di Amerika pemerintah aktif mengampanyekan pentingnya jaminan sosial, di sini malah tidak. Untuk itu, kami bergerak bersama membangun kesadaran masyarakat agar mendorong pemerintah merealisasikan janji yang sudah diamanatkan UU,” ujar Timboel. (ham)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar