Minggu, 28 Maret 2010

Makin Terkikisnya Daya Tawar Pekerja

Oleh LUHUR FAJAR MARTA


Catatan Redaksi: “Makin Terkikisnya Daya Tawar Pekerja” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 47 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.

Kompas, Jum’at, 26 Maret 2010

Selepas krisis ekonomi, perekonomian Indonesia terus tumbuh positif dengan rata-rata 4,6 persen per tahun. Jika setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 400.000-500.000 tenaga kerja, secara kumulatif pertumbuhan ekonomi selama periode 1999-2009 seharusnya mampu menghapuskan pengangguran.

Kenyataan yang terjadi tidak demikian. Data statistik mengindikasikan beratnya iklim pasar tenaga kerja saat ini. Dari survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk berusia 15 tahun ke atas telah mencapai lebih dari 168 juta jiwa pada tahun 2009. Kelompok penduduk ini dikategorikan sebagai penduduk produktif, artinya masuk dalam usia kerja. Jumlah tersebut seperlima lebih banyak dibandingkan dengan satu dekade lalu, yaitu sekitar 141 juta jiwa.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk usia kerja, jumlah angkatan kerja juga meningkat dalam 10 tahun terakhir. Proporsi angkatan kerja memang hanya bergeser sedikit, dari 67,2 persen menjadi 67,6 persen. Sebaliknya, pengangguran terbuka justru meningkat dari 6,4 persen menjadi 8,1 persen.

Kondisi memprihatinkan justru terjadi di wilayah pedesaan: terjadi penurunan partisipasi angkatan kerja dan peningkatan pengangguran terbuka. Partisipasi angkatan kerja menurun dari 76,2 persen menjadi 70,3 persen, sedangkan pengangguran terbuka meningkat dari 3,8 persen menjadi 6,4 persen. Ini menunjukkan adanya kemerosotan kegiatan ekonomi di pedesaan dalam 10 tahun terakhir.

Kondisi ini mendorong terus mengalirnya angkatan kerja dari desa ke kota. Hasilnya, daya tawar mereka semakin menurun. Ini adalah konsekuensi logis dari melimpahnya angkatan kerja, sementara tingkat penyerapan masih relatif rendah.

Dalam kondisi tersebut, perusahaan atau produsen, sebagai pihak yang meminta tenaga kerja, memiliki posisi tawar lebih unggul dibandingkan dengan para pekerja atau calon pekerja. Pengusaha mempunyai banyak pilihan tenaga kerja. Implikasinya, perusahaan bisa menekan biaya atau upah tenaga kerja.

Sistem outsourcing, yang memungkinkan perusahaan mempekerjakan seseorang tanpa memberi kepastian status, mungkin merupakan gagasan terbaik untuk menekan biaya yang dapat diimplementasikan secara masif dalam dekade terakhir. Berlimpahnya angkatan kerja dan terbatasnya kebutuhan akan tenaga kerja, seperti di Indonesia, memberi iklim sangat kondusif bagi berkembangnya sistem ini.

”Tangan-tangan yang tidak terlihat” dalam mekanisme pasar bebas bekerja efektif menjaga supremasi perusahaan atas pekerja. Betapapun besarnya resistensi atas sistem outsourcing seperti diindikasikan hasil jajak pendapat Kompas pada akhir Februari lalu, tidak bisa menghambat menjamurnya sistem ini.

Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan, sekitar 63 persen dari responden yang bekerja di perusahaan swasta meyakini sistem outsourcing tidak memberi kepastian status bagi tenaga kerja. Selain itu, sebagian besar (68 persen) dari mereka juga menolak sistem ini memberi kebebasan atau fleksibilitas bagi tenaga kerja. Ini memperlihatkan sebagian besar pekerja, terutama di perusahaan swasta, merasa sistem outsourcing umumnya cenderung merugikan mereka. ”Kebebasan tidak didapat, status pun tidak jelas,” ujar seorang pekerja yang menjadi responden.

Jargon tak bermakna

Lalu, apakah masa depan tenaga kerja Indonesia sedemikian suramnya? Bisa iya, bisa tidak. Jika pertumbuhan ekonomi ke depan mampu mengabsorbsi pertumbuhan angkatan kerja, penghapusan pengangguran adalah hal yang pasti dan tinggal menunggu waktu. Namun, jika kualitas pertumbuhan masih seperti 10 tahun terakhir, pengurangan pengangguran hanyalah jargon tak bermakna.

Perekonomian Indonesia masih berkutat pada rentannya pertumbuhan ekonomi karena sangat bergantung pada konsumsi. Secara riil, konsumsi rumah tangga dan pemerintah berkontribusi sekitar 65 persen terhadap perekonomian. Sedangkan kegiatan investasi atau akumulasi modal yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian hanya memberi kontribusi sepertiga dari kontribusi konsumsi.

Rendahnya kualitas angkatan kerja Indonesia juga masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Lebih separuh angkatan kerja yang berjumlah 114 juta jiwa belum menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun. Bahkan, sekitar 5,8 juta jiwa di antaranya sama sekali belum pernah mengenyam bangku sekolah dan mereka lebih terkonsentrasi di pedesaan.

Dengan pendidikan—baik dari sisi keilmuan maupun keterampilan—yang meningkat, tenaga kerja memiliki kesempatan yang lebih luas untuk mengakses pasar tenaga kerja di luar Indonesia. Dengan demikian, ketergantungan mereka terhadap pasar tenaga kerja di dalam negeri akan berkurang.

Jendela kesempatan

Sebagian besar negara di Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Korea Selatan, dan China telah membuktikan bahwa investasi dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Mereka memanfaatkan suatu masa yang disebut jendela kesempatan untuk meningkatkan akumulasi modal.

Jendela kesempatan merupakan suatu masa di mana penduduk produktif mendominasi struktur penduduk. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskannya sebagai sebuah era dengan proporsi penduduk di bawah 15 tahun, maksimal 30 persen, dan di atas 65 tahun, maksimal 15 persen dari jumlah seluruh penduduk. Umumnya, jendela kesempatan ini berlangsung sekitar 30 hingga 40 tahun.

Pada masa jendela kesempatan, pengeluaran untuk menghidupi anak-anak akan menurun sehingga tabungan rumah tangga meningkat. Jika optimal, tabungan tersebut bisa dialokasikan untuk investasi. Investasi yang meningkat akan mendorong kegiatan produksi yang artinya meningkatnya kegiatan ekonomi. Ini menjadi dasar kokoh bagi negara-negara yang saat ini menyandang sebutan negara maju untuk mengambil bonus demografi berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Indonesia sendiri, oleh sejumlah ahli demografi, diperkirakan akan mulai memasuki masa jendela kesempatan pada tahun 2020. Jika kesempatan langka ini gagal dimanfaatkan, peluang memperbaiki kesejahteraan pekerja melalui percepatan kegiatan ekonomi akan semakin kecil. Keberhasilan mengambil bonus demografi seperti halnya negara-negara maju sangat bergantung pada persiapan yang dibuat sekarang. Dalam konteks ini persoalan kualitas sumber daya manusia menjadi krusial. Peningkatan kualitas melalui pendidikan menjadi harga yang tidak bisa ditawar.

Persoalan sumber daya manusia tentunya bukan beban yang harus ditanggung pemerintah sendirian, melainkan bersama masyarakat. Pemerintah harus bertanggung jawab pada arah kebijakan sistem pendidikan agar bangunan-bangunan sekolah yang sebelumnya kosong karena ketiadaan guru dan murid bisa dihidupkan dengan kegiatan belajar mengajar.

Sejatinya, perubahan tidak bisa dilakukan dalam sekejap. Jika tidak bisa diselamatkan, biarlah ketidakberdayaan yang dialami sebagian pekerja saat ini menjadi hikmah agar generasi sesudah mereka memiliki semangat menyiapkan diri lebih baik.

Rasanya sudah cukup jika keseriusan yang dirumuskan dalam lima belas prioritas program pemerintah terpilih untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia sungguh-sungguh diwujudkan. Bagi yang beruntung, pekerjaannya bisa menjadi sarana aktualisasi diri. Bagi sebagian yang lain yang menjadi pilihan bukan lagi pekerjaannya, melainkan apakah mau hidup dengan keringat sendiri atau bergantung pada belas kasih orang lain.

(Luhur Fajar Marta/ LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar