Catatan Redaksi: Bola Salju Sistem “Outsourcing” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 45 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.
Kompas, Jumat, 26 Maret 2010 | 04:13 WIB
Bekerja adalah cara manusia mendapatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Sayangnya, bekerja tidak serta mengangkat harkat ketika pekerja berhadapan dengan kenyataan terbatasnya lapangan kerja.
ereka tidak punya banyak pilihan ketika sistem memaksa mereka masuk pasar kerja dengan sistem kerja waktu tertentu atau outsource demi pertumbuhan ekonomi nasional.
Nani (17), bukan nama sebenarnya, bercita-cita menjadi guru dan ingin menjadi sarjana. Cita-cita itu kandas ketika ayahnya kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Maka, sejak tujuh bulan lalu dia bekerja sebagai tenaga pelayan di sebuah perusahaan besar di Jakarta Pusat dengan perjanjian waktu kerja tertentu. Lulusan sekolah menengah kejuruan bidang administrasi perkantoran ini bergaji Rp 500.000 per bulan. Ditambah uang makan dan transpor, total pendapatan per bulannya Rp 1,3 juta, ”memenuhi” standar upah minimum regional (UMR) DKI Jakarta.
Trangginas (27), juga bukan nama sebenarnya, berpendidikan D-3, bekerja di unit business merchant bank BUMN di Jakarta dengan gaji mengikuti UMR, Rp 1.070.000. Ditambah uang makan dan uang sewa motor, dia membawa pulang Rp 2 juta per bulan. Tetapi, pendapatan itu tak cukup untuk biaya hidup dia, istri, dan satu anaknya yang berusia tujuh bulan. Yang lebih menakutkan buat Trangginas adalah ketidakpastian masa depan karena dia karyawan outsource. ”Kontrak kedua OS (sebutan untuk outsource) ini sudah saya jalani setengah. Kata teman-teman sih biasanya diperpanjang,” kata Trangginas.
Nani, Trangginas, Ara (25), dan Yanto (27) adalah bagian pekerja OS dari 113 juta orang yang masuk angkatan kerja. Dengan tingkat pengangguran 8,1 persen atau sekitar sembilan juta orang pada tahun 2009, mereka bersyukur mendapat pekerjaan. Pertanyaannya, apakah pekerjaan itu sudah memenuhi hak dasar mereka sebagai manusia dan warga negara?
Fleksibilitas pasar
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyadari persoalan outsource berakar dari tidak seimbangnya penawaran dan permintaan, kemiskinan, serta tidak padannya antara pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja.
Ketika menyusun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah menoleransi pasal-pasal perjanjian kerja waktu tertentu demi menampung tenaga kerja akibat krisis ekonomi yang berawal dari tahun 1998.
”UU mengatur outsource hanya boleh untuk pekerjaan bukan utama. Biasanya jasa kebersihan dan keamanan. Tetapi, kemudian jadi bola salju. Sekarang semua pekerjaan outsource,” kata Muhaimin di kantornya beberapa waktu lalu.
Muhaimin mengakui lemahnya pengawasan, baik jumlah maupun kualitas tenaga pengawas, sehingga pelanggaran UU terjadi tanpa sanksi. Akibatnya, perlindungan terhadap tenaga kerja lemah, termasuk perusahaan jasa outsource (vendor) tidak mengangkat pekerja yang sudah tiga tahun bekerja, seperti ditentukan UU.
Diakomodasinya sistem kerja waktu tertentu tidak terlepas dari pengaruh global untuk meningkatkan daya saing ekonomi.
Ketua Institute for Research & Social Service Universitas Atma Jaya Jakarta Dr A Prasetyantoko menyebutkan, sistem outsource bertujuan untuk efisiensi melalui sistem pasar tenaga kerja fleksibel (labour market flexibility).
Salah satu alasan pengusaha tentang lemahnya daya saing nasional menghadapi produk impor adalah pasar tenaga kerja Indonesia tidak fleksibel. Pesangon, misalnya, dianggap membebani pengusaha saat harus mem-PHK, meski alasan itu harus diteliti lagi kebenarannya. ”Secara umum, perdagangan bebas seperti ASEAN-China Free Trade Area akan menyuburkan alasan serta praktik PHK dan outsource,” tambah Prasetynatoko.
Sistem outsource sebetulnya dapat menguntungkan para pihak dalam situasi tertentu. Bagi pekerja kelompok menengah-atas dan kelompok tertentu secara legal dapat berpindah tempat kerja. ”Ini biasa terjadi pada manajemen tingkat menengah-atas. Usaha jasa konsultan adalah contoh institusionalisasi outsourcing pada aras menengah-atas. Sekarang banyak perusahaan menyerahkan divisi pengembangan sumber daya manusia kepada konsultan,” kata Prasetyantoko.
Untuk kelompok menengah-bawah, apalagi buruh, outsourcing jelas merugikan karena tidak ada kepastian kerja dan karier serta harus menanggung seluruh pengeluaran dari kocek sendiri ketika tidak ada sistem jaminan sosial.
Hal serupa disebut juga oleh Dr Hendri Saparini dari lembaga kajian ekonomi Econit. ”Kalau semua punya keterampilan memadai, maka daya tawarnya sama. Masalahnya sebagian besar pekerja tak punya keterampilan cukup sehingga daya tawar rendah. Karena itu untuk pekerja kelompok bawah, seperti buruh, jangan digunakan sistem outsourcing. Outsource hanya untuk profesional,” kata Hendri.
Jaring pengaman
Ketidakpastian yang dihadapi pekerja outsource menyebabkan Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Saepul Tavip yang beranggotakan 50.000 orang menolak outsource. ”Sistem jaminan sosial pilihan kedua, yang utama kami tetap menolak sistem outsource,” tandas Tavip.
Di sisi lain, bila sistem outsource memang tak dapat dihindari, Hendri dan Prasetyantoko melihat sistem jaminan sosial harus satu paket dengan sistem outsource.
Di negara maju, pengangguran tinggi hal biasa karena pekerja punya tabungan dan ada jaminan sosial sehingga dapat memilih berhenti sementara untuk mencari pekerjaan lebih baik. ”Di Indonesia, pekerja tidak bisa tidak bekerja,” tandas Hendri.
Sistem jaminan sosial, terutama asuransi kesehatan yang berlaku nasional, tidak dapat ditunda lagi. ”Ini mesti dijamin pemerintah selain memperbesar kue pembangunan ekonomi sehingga meskipun semakin banyak pekerja outsource, kesempatan mendapat pekerjaan juga membesar,” tandas Prasetyantoko.
Pengamat ekonomi dan penasihat OPSI, Yanuar Rizky, mencontohkan sistem jaminan sosial seperti di Amerika Serikat, Eropa, bahkan China. Sistemnya bermacam-macam, ada yang sepenuhnya dibiayai melalui mekanisme pasar seperti di AS, ditanggung bersama antara pemerintah, swasta, dan pekerja seperti di negara-negara Eropa, atau oleh pemerintah melalui BUMN seperti di China. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang belum diterapkan karena belum ditentukan pelaksanaannya.
Pembiayaan SJSN untuk tiap warga negara, menurut anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka, diusulkan ditanggung bersama oleh pemerintah, perusahaan pengguna, dan pekerja dengan persentase tertentu dari gaji. Bila UU SJSN diberlakukan, pemerintah akan didorong lebih kreatif dan sungguh-sungguh menciptakan lapangan kerja berkualitas atau harus menyubsidi warga negara yang tidak dapat pekerjaan.
(NMP/MH/HAM/DOT/JOS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar