Catatan Redaksi: “Gelombang Pasang Pasar Bebas” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 47 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.
Kompas, Jum’at, 26 Maret 2010
Sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja secara efektif membuat pekerja tak lebih sebagai barang dagangan. Dua tekanan besar mengimpit situasi itu, yakni keterbatasan lapangan kerja dan berlimpahnya tenaga kerja, di satu sisi, serta arus modal yang sangat dinamis di sisi lain.
Menurut Benny Hari Juliawan, gagasan pekerja sebagai komoditas merupakan perdebatan lama. Kandidat doktor di bidang politik perburuhan dari Universitas Oxford, Inggris, itu menyebut perdebatan itu antara ahli ekonomi neoklasik seperti Adam Smith dan Robert Malthus yang mewakili pendapat pekerja adalah komoditas dengan Karl Polanyi yang menolak keras posisi buruh sebagai komoditas.
Fleksibilitas pasar tenaga kerja (LMF), menurut Benny, didukung penganjur liberalisasi pasar yang basis argumennya ekonomi neoklasik. Intinya, intervensi kelembagaan akan menciptakan distorsi dan menahan optimalisasi efisiensi. Intervensi pemerintah di pasar kerja berpotensi menyebabkan kesalahan alokasi pekerja, pemborosan sumber daya oleh para pencari rente, mengganggu kemampuan menyesuaikan terhadap tekanan, menghalangi investasi, dan dengan sendirinya mengurangi tingkat pertumbuhan.
”Agen-agen tenaga kerja swasta merupakan instrumen utama tujuan efisiensi di Indonesia,” ujar Benny.
Mudah dan murah
LMF adalah cara mudah dan murah bagi perusahaan untuk mengatur jumlah pekerjanya. Menurut Benny, ”LMF berarti kebebasan bagi pengusaha untuk menarik dan menendang pekerja dalam waktu singkat, serta kebebasan mengambil tenaga kerja dari luar—melalui agen tenaga kerja—untuk mengerjakan sebagian atau semua pekerjaan yang ada (outsourcing).”
Analis ekonomi Wira Halim menjelaskannya secara lebih sederhana. ”Kalau untuk pegawai organik, pengusaha harus membayar gaji beserta seluruh tunjangannya dan harus menghadapi berbagai tuntutan. Kalau mengambil pekerja dari agen penyedia tenaga kerja sesuai kebutuhan, pengusaha bebas dari segala beban. Mereka hanya membayar gaji berdasarkan standar tertentu, seperti upah minimum.”
Jadi, perusahaan membuat kontrak untuk waktu tertentu dengan agen penyedia jasa tenaga kerja, kemudian agen itu melakukan kontrak dengan pekerja yang hendak dipekerjakan ke perusahaan yang sudah membuat kontrak. Kata Wira, tak jarang pemilik agen tenaga kerja adalah direktur perusahaan pengguna.
”Penggunaan sistem LMF menciptakan insentif baru dan kesempatan bagi berbagai aktor dalam masyarakat mengambil keuntungan dari kondisi pekerja yang kurang mendapat perlindungan dari kondisi tidak menentu setelah lengsernya rezim Soeharto,” ujar Benny.
Derivat liberalisasi
Praktik outsourcing adalah derivat liberalisasi, tegas pengamat ekonomi dari Universitas Atmajaya Jakarta, Dr Prasetyantoko. Sementara Wira melihat semua itu juga terkait dengan ketidakseimbangan antara jumlah lapangan kerja dan berlimpahnya tenaga kerja di satu sisi, serta perpindahan modal yang sangat dinamis dalam globalisasi.
Menurut Benny, kebijakan pasar kerja seperti itu dimulai pada akhir tahun 1970-an ketika Barat kesulitan menanggapi kesulitan ekonomi menyusul naiknya harga minyak mentah dunia. Tanggapan itu adalah perubahan besar dalam kebijakan ekonomi yang menghasilkan ortodoksi ekonomi baru—neoliberal—yang menekankan visi efisiensi melalui pasar yang mengatur dirinya sendiri. Peran negara adalah menjaga stabilitas moneter dan fiskal. Ortodoksi baru ini menggantikan negara kesejahteraan.
Liberalisasi pasar di Indonesia juga dipicu krisis ekonomi. Lembaga keuangan internasional memandang krisis sebagai kesempatan menguatkan kebijakan liberalisasi dan untuk membersihkan ”kapitalisme kroni” yang menjadi karakter ekonomi Indonesia dan negara-negara di Asia Timur lainnya saat itu.
Tahun 1997-2003, Dana Moneter Internasional (IMF) memaksakan agenda reformasi yang komprehensif kepada Indonesia sebagai bagian dari program talangan ekonomi. Program IMF itu mencakup lebih dari 500 persyaratan, sebagian besar terkait dengan kontrol inflasi, rekapitalisasi bank-bank gagal, dan privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara.
Bertahap
Liberalisasi pasar tenaga kerja di Indonesia terjadi bertahap. Pertama, menurut Benny, adalah menghapuskan peraturan-peraturan yang dinilai menghambat. Kekuatan proliberalisasi pertama-tama dinegosiasikan melalui kebijakan proburuh yang ada.
Kurang dari sebulan setelah berkuasa, pemerintah Habibie meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 87 mengenai Kebebasan Berserikat, tanggal 9 Juni 1998. Pada Mei 1999 pemerintah meratifikasi tiga konvensi ILO lainnya.
Pada Agustus 1998 pemerintah mengundang Misi Kontak Langsung ILO untuk membantu reformasi hukum perburuhan. Hasilnya tiga UU baru, yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Dua UU baru terkait reformasi hukum perburuhan itu bersifat mendua. UU Serikat Pekerja merestorasi hak-hak politik pekerja, tetapi UU Ketenagakerjaan menuntut kompromi lebih besar dari serikat pekerja. UU baru itu juga memuluskan jalan bagi sistem LMF, khususnya soal kerja kontrak dan provisi outsourcing.
(MH) Implementasi
Meski sering dituding sebagai biang kerok liberalisasi pasar tenaga kerja, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menurut anggota Komisi IX DPR dari F-PDIP, Rieke Diah Pitaloka, sebenarnya telah memuat ketentuan tentang pengawasan untuk mengawal praktik-praktik di lapangan. Sayangnya, pengawasan itu tak berjalan efektif karena persoalan kuantitas dan kualitas pengawas.
”Rasio kebutuhan pengawas ketenagakerjaan idealnya satu untuk lima perusahaan dalam sebulan,” ujar Rieke, seraya menambahkan tingginya pelanggaran norma-norma ketenagakerjaan di Jawa Barat dan kecenderungan pengusaha mengubah sistem kerja tetap dengan sistem outsourcing dan kontrak.
”Di Jawa Barat ada 24.390 perusahaan, tetapi hanya ada 128 pengawas, jadi kurangnya 279. Dari 128 itu pun hanya 83 yang benar-benar ditempatkan sebagai pengawas ketenagakerjaan,” ia melanjutkan.
Tanpa pelindung
Sugeng Bahagianto dari Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) mengatakan, sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja (LMF) diterapkan tanpa ”bantalan”, yakni sistem jaminan sosial. Hal senada diungkapkan ekonom dari lembaga kajian ekonomi, perdagangan, dan industri Econit, Hendri Saparini, yang membandingkannya dengan sistem kesejahteraan di AS dan negara-negara Eropa.
Namun, Rieke mengingatkan pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang melindungi pekerja pada khususnya dan warga negara pada umumnya dari sistem hasil ortodoksi ekonomi.
Sayangnya, UU itu belum diimplementasikan. Baru tahun ini DPR akan membahas Rancangan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
Menurut Rieke, di ASEAN hanya Indonesia yang belum memiliki sistem jaminan sosial nasional meski diperkirakan pembahasan akan alot karena pertarungan berbagai kepentingan.
”Obama sampai menunda kedatangannya ke Indonesia karena mau mengawal proses pengesahan undang-undang mengenai reformasi sistem pelayanan kesehatan agar dapat menjamin asuransi kesehatan untuk semua warga negara,” kata Rieke.
(MH/NMP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar