Catatan Redaksi: “Ketika Tenaga Diperjualbelikan” dikutip dari FOKUS, Kompas, Jum’at 26 Maret 2010, hal 46 sebagai daftar pustaka pengorganisasian buruh kontrak & outsourcing sebagai salah satu focus program BPB tahun 2010.
Kompas, Jum’at, 26 Maret 2010 | 04:11 WIB
Managing Director People Development Agency Consultant Sari Suharso mengeluhkan persaingan bisnis penyedia jasa tenaga kerja waktu tertentu atau lebih dikenal dengan istilah pekerja outsource yang semakin sengit. ”Klien sampai bisa mepetin anggaran mereka, yang membuat kami terpaksa terima karena kalau tidak, banyak perusahaan lain bersedia lebih rendah lagi,” kata Sari.
Pada intinya, perusahaan penyedia jasa tenaga kerja menjadi perantara antara pencari kerja dan perusahaan yang membutuhkan jasa tenaga kerja. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencatat sampai tahun 2007 ada 1.221 perusahaan penyedia jasa tenaga kerja paruh waktu yang tersebar di beberapa provinsi besar di Indonesia.
Klien pengguna jasa pekerja outsource sangat beragam, mulai dari lembaga perbankan, perusahaan sekuritas, manufaktur, retail, telekomunikasi, hingga perusahaan perkebunan dan pertambangan. Sektor yang paling banyak menggunakan jasa tenaga kerja lepas adalah perbankan, manufaktur, dan pertambangan. Jenis pekerjaannya pun beragam, mulai dari pekerjaan dasar seperti sopir dan petugas kebersihan hingga pekerjaan administrasi seperti teller dan customer service di bank.
People Development Agency (PDA) yang didirikan tahun 2004 bergerak di bidang human resources development dengan jasa yang disediakan mencakup manajemen perekrutan tenaga kerja, strategi pengembangan sumber daya manusia, operasional tenaga kerja, sampai kepada pelatihan tenaga kerja. Sari mengatakan, sejak didirikan pihaknya sudah memprediksi bahwa jasa outsourcing akan sangat dibutuhkan. ”Semakin banyak perusahaan yang memfokuskan pada pengembangan bisnis inti, sehingga kegiatan yang hanya bersifat penunjang diserahkan kepada pihak lain untuk mengelola,” jelasnya.
Porsi bisnis inti dan noninti ini masih mengundang perdebatan karena nyatanya banyak perusahaan mempekerjakan tenaga outsource untuk posisi cukup penting. Misalnya, posisi teller dan customer service di bank yang terkait langsung dengan bisnis inti.
Menurut Sari, ada dua tipe pekerjaan outsourcing, yaitu berupa penyedia jasa tenaga kerja (labour supply) dan penyedia seluruh layanan (full outsource). ”Full outsource berupa borongan pekerjaan, misalnya jasa penawaran kartu kredit yang sering kita lihat di mal. Pekerjaan ini mematok target jumlah account tertentu,” jelas dia.
Ia mengakui model outsourcing borongan memiliki kelemahan. ”Oleh karena itu, kami tidak mengambil pekerjaan jenis ini karena biasanya pekerja hanya berorientasi pada target. Sebagai contoh, bagi mereka yang penting dapat klien pengguna kartu kredit baru, masa bodoh apakah setelah itu bulan depannya konsumen menutup rekeningnya. Praktik yang begini juga merugikan bank,” papar Sari.
Efisiensi
Penasihat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Yanuar Rizky mencermati upaya menekan biaya operasi untuk mencapai profit sebesar-besarnya menjadi alasan utama semakin banyak perusahaan memilih pekerja outsource. Di sektor perbankan, opsi mengalihkan risiko bisnis kepada pihak lain menjadi hal lazim. Apalagi pascakrisis moneter tahun 1998, banyak bank lokal dibeli perusahaan asing. Sayangnya, bank-bank asing di Indonesia hanya berfungsi sebagai outlet. ”Kantor pusat tahunya sebagai cabang harus bisa mendatangkan profit. Akhirnya, bank pun akan sangat menghitung biaya operasi,” kata Yanuar.
Masalahnya, lanjut Yanuar, praktik penggunaan tenaga outsourcing di negara yang menjadi kantor pusat mereka adalah hal biasa. Sebab, di sana ada sistem jaminan sosial yang menjamin kesejahteraan pekerja outsource.
Sedangkan di Indonesia, pekerja outsource kerap diperlakukan sebagai tenaga berupah murah tanpa ada jaminan kepastian masa depan. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tenaga kerja paruh waktu seharusnya berstatus sebagai pegawai tetap di perusahaan penyedia jasa. Namun, faktanya, banyak pekerja outsource yang juga berstatus sebagai pekerja tidak tetap. Di PDA misalnya, pekerja outsource berstatus sebagai tenaga kontrak.
”Mereka dikontrak setahun, berdasarkan aturan tenaga kerja boleh diperpanjang dua kali dengan total masa kerja maksimal tiga tahun,” kata Sari.
Adanya kecenderungan perusahaan pemakai jasa (vendor) memperlakukan pekerja outsource sebagai tenaga berupah murah diakui juga oleh Herlin Lestari, Direktur PT Mitra Langgeng Sejati, perusahaan penyedia tenaga outsource di Jakarta. Sebagai contoh, besaran gaji ditentukan beban kerja dan jenis pekerjaan, bukan tingkat pendidikan. Gaji yang diterima pekerja outsource untuk pekerjaan nonstaf dipatok mengikuti upah minimum regional (UMR) yang saat ini besarnya Rp 1.118.000 per bulan.
”Ada perusahaan yang menenderkan biaya yang menjadi hak pekerja, seperti iuran asuransi kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja, dan tunjangan hari raya. Kami inginnya yang ditenderkan adalah uang jasa (fee) vendor supaya hak pekerja tak dirugikan. Perusahaan pengguna sering salah mengartikan outsource sebagai seolah-olah tenaga kerja murah, padahal bukan begitu. Perusahaan pengguna harus membayar dengan baik karena sudah mendapat keuntungan dengan tidak usah pusing memikirkan urusan tetek bengek pekerja,” jelas Herlin.
Herlin mengakui, banyak vendor tidak terlalu peduli terhadap pengembangan tenaga kerja. Yang penting asal bisa mengajukan biaya murah. Ujung-ujungnya hak-hak pekerja, seperti upah, jaminan kesehatan, dan tabungan hari tua, diabaikan.
Menurut dia perusahaannya sengaja membatasi jumlah karyawan yang dikelola karena ingin mengedukasi karyawan dan juga pengguna jasa tentang jenis kerja ini agar karyawan merasa terlindungi. Harapannya, pengetahuan dan keterampilan pekerja yang meningkat akan meningkatkan kinerja pekerja. Dengan kemampuan yang semakin baik, pekerja outsource berkesempatan menjadi karyawan tetap di perusahaan pengguna. Menurut Herlin, 25 persen dari pekerja waktu tertentu yang disalurkan sudah direkrut menjadi karyawan tetap di perusahaan pengguna.
Peluang
Kemungkinan mendapatkan penghasilan di luar gaji pokok dan posisi sebagai karyawan tetap di perusahaan pengguna jasa memang terbuka bagi pekerja outsource. Santi, staf divisi sumber daya manusia di salah satu perusahaan penerbitan menyebutkan, pekerja outsource di bagian penjualan bisa mendapatkan komisi Rp 6 juta-Rp 7 juta sebulan. ”Ditambah gaji, yang kira-kira sebulan besarnya sekitar Rp 1,8 sampai Rp 2 juta,” ungkap Santi.
Namun diakui, fasilitas yang lain, yang didapatkan karyawan organik, tidak didapatkan oleh karyawan outsourcing. Jaminan keamanan kerja juga berbeda. Bagian penjualan misalnya, kalau kinerjanya tidak baik selama tiga bulan, langsung diganti. ”Tingkat turn-overnya tinggi,” kata Santi.
Tetapi, menurut Santi, juga ada karyawan outsource yang kinerjanya jauh lebih baik dari karyawan organik. ”Bebannya jadi lebih berat karena mengerjakan yang seharusnya dilakukan karyawan organik, padahal gaji mereka lebih kecil. Ini tidak fair.”
Tidak tertutup kemungkinan tenaga outsource diangkat menjadi karyawan tetap. Bank Mandiri, misalnya, memberi kesempatan pekerja outsource yang kinerjanya baik ikut proses seleksi. ”Prinsipnya, tenaga kerja outsource yang memiliki kinerja dan prestasi kerja baik dimungkinkan mengikuti proses seleksi penerimaan pegawai Bank Mandiri dan bagi yang diterima dapat meningkatkan kariernya di Bank Mandiri. Sebagai pegawai pihak ketiga, pengembangan kariernya diatur perusahaan masing-masing di mana mereka bekerja,” kata Senior Vice President Human Capital Strategy & Policy Bank Mandiri Sanjay Bharwani.
(DOT/NMP/MH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar