Kamis, 18 Maret 2010

Memahami Petaka Fleksibilisasi: Kepastian kerja sebagai hak publik

Memahami Petaka Fleksibilisasi:

Kepastian kerja sebagai hak publik

Ringkasan penelitian

Pendahuluan

Sesudah lebih dari satu dasa warsa desakan reformasi, banyak hal yang telah berubah, entah lebih baik ataupun juga lebih buruk. Secara politik, sebagian besar masyarakat menilai jauh lebih baik karena iklim kebebasan lebih bisa dinikmati, berkurangnya tekanan aparat negara, kebebasan pers, berpendapat dan seterusnya. Sementara dari sisi ekonomi, sebagian besar rakyat kecil merasakan sebaliknya, makin memburuk. Tanda-tanda yang kerap kali diungkapkan misalnya kemiskinan tak kunjung berkurang, angka pengangguran makin tinggi, harga kebutuhan pokok makin tak terjangkau, cari pekerjaan susah, upah makin menurun dan kepastian kerja makin suram.

Reformasi semula menjanjikan sejumlah harapan, terutama bagi kaum lemah yang amat menginginkan kehidupan sosial-ekonomi lebih baik. Akan tetapi, harapan tersebut segera pupus, karena yang dialami justru sebaliknya. Paska reformasi, dari sisi politik pendulum sedang mengayun ke titik demokratisasi. Sedangkan dari sisi ekonomi, tongkat komando sedang menuju ke arah liberalisasi di mana mekanisme pasar menjadi rujukan dominan bagi hampir setiap unit kebijakan ekonomi.

Pada konteks demokratisasi dan penyelenggaraan pemerintahan, desentralisasi dan reformasi sektor publik menjadi agenda utama yang saat ini belum usai. Tujuannya mulia yakni bagaimana menciptakan pemerintahan yang bersih agar dapat melayani publik maupun kepentingan investasi secara lebih efisien. Sementara, kebijakan ekonomi seperti perdagangan, investasi, pasar finansial maupun ketenagakerjaan didorong untuk masuk ke dalam arena kompetisi di mana peran pemerintah dikurangi seminim mungkin.

Pada arena pasar tenaga kerja juga tak luput dari sasaran deregulasi dan liberalisasi. Perubahan tersebut dapat di ikuti jejaknya di mana paska-reformasi, kebijakan ketenagakerjaan mengalami liberalisasi secara signifikan. Setidaknya, paket UU ketenagakerjaan UU 21/2000; UU 13/2003 dan UU 2/2004 dipandang sebagai kebijakan yang lebih ke arah liberal karena diikuti dengan lenyapnya unit-unit proteksi yang sebelumnya diperoleh buruh. Dalam literatur politik ketenagakerjaan, kebijakan ini sering disebut fleksibilisasi yakni proses melenturkan komponen-kompenen proteksi yang sebelumnya melekat dalam setiap hubungan industrial.

Konteks yang melatarbelakangi riset ini adalah banyak hal yang telah berubah dalam pasar kerja di Indonesia terutama sesudah berlakunya UU 13/2003 yang kontroversial tersebut, sebagai bagian dari reformasi ekonomi paska krisis 1998. Argumen utama pemerintah atas berlakunya UU tersebut adalah untuk menarik investasi, memperluas kesempatan kerja, meningkatkan produkstifitas, menaikkan status sektor informal ke sektor formal, mengurangi pengangguran dan kemiskinan (Bappenas, 2003). Sesudah lebih dari 5 tahun berlaku, apa yang terjadi di lapangan?

Fokus riset ini hendak mencoba menjawab pertanyaan: pertama, perubahan apa saja yang terjadi pada pemangku kepentingan utama pasar kerja yakni pengusaha, pemerintah, serikat buruh dan keluarga buruh sesudah berlakunya UU 13/2003. Kedua, siapa saja yang terkena dampak dan dampak seperti apa yang dialami oleh mereka. Perubahan signifikan yang dapat dibaca akibat dari fleksibilisasi tersebut adalah soal ketidakpastian kerja oleh karena hilangnya proteksi yang sebelumnya pernah dinikmati. Komponen utama ketidapastian kerja yang dialami oleh sebagain besar keluarga buruh adalah kehilangan hak atas kepastian pendapatan dan hak atas berorganisasi dan melindungi diri. Secara politis benturan antara fleksibilisasi di satu pihak dan desetralisasi di pihak lain ternyata melemparkan buruh ke dalam rimba yang disebut sebagai komodifikasi atau komersialisasi. Riset ini bukanlah hal yang baru, tetapi merupakan kelanjutan dari riset-riset yang telah kami lakukan sejak tahun 2004 lalu.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, kami melakukan serangkaian wawancara sepanjang bulan Maret 2009 dengan dua kategori responden. Responden kategori pertama adalah pemangku kepentingan (stake holder) atas kebijakan pasar kerja yakni Asosiasi Pengusaha tingkat cabang, pejabat Dinas Tenaga Kerja tingkat kabupaten/kota, pengurus Serikat Buruh tingkat cabang dan keluarga-keluarga buruh. Responden kategori kedua adalah habitat penyangga di mana hidup sehari-hari buruh terjadi. Kelompok ini terdiri dari pemilik kontrakan, tukang sayur, pemilik warung, tukang ojek, tukang becak, renternir dan usaha kredit barang yang ada di sekitar pemukiman buruh. Wawancara tersebut di lakukan di 4 wilayah industri utama yakni Kota Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Pilihan ke 4 wilayah tersebut karena alasan 4 wilayah tersebut merupakan sentra industri dan secara geografis terjangkau.

Riset ini menggunakan pendekatan kualitatif di mana data dan analisis kualitatif menjadi fokus utama. Jumlah total responden yang diwawancarai untuk memperoleh data dari riset ini berjumlah 76 orang dari kedua kategori sebagaimana diuraikan di atas. Selain data primer dari responden, kami juga menggali dokumen dan literatur yang relevan.

B. Menelusuri jejak-jejak fleksibilisasi sebagai bentuk reformasi perburuhan di Indonesia

Bila terjadi sebuah perubahan kebijakan, entah ekonomi atau politik, ia tidak datang secara tiba-tiba. Demikian halnya dengan kebijakan fleksibilisasi pasar tenaga kerja yang menjadi fokus pada riset ini. Perubahan tersebut terjadi hampir pasti ada pencetus atau pemicunya yang bisa datang dari luar maupun domestik. Kendati tidak runtut peristiwa kronologisnya, rangkaian dan keterkaitan munculnya kebijakan fleksibilisasi ini dapat telusuri jejaknya pada masa yang telah lampau. Melalui penelusuran literatur yang ditulis oleh para ahli yang pernah meneliti tentang Indonesia, jejak-jejak fleksibilisasi secara historis dapat di ringkas sebagai berikut:

1. Periode akhir Orde Baru: Menabur benih liberalisasi

Periode akhir Orde Baru terentang antara tahun 1982-1997. Pada periode tersebut tidak secara spesifik kebijakan fleksibilisasi muncul sebagai sebuah agenda pemerintah pada waktu itu. Akan tetapi, benih-benih liberalisasi kebijakan ekonomi secara makro telah ditabur. Dengan kata lain, periode tersebut dapat disebut sebagai masa menabur benih liberalisasi. Konteks yang melatari masa tersebut adalah bahwa selama 1974-1982 Indonesia sedang ketiban rejeki minyak yang melimpah (oil boom) di mana harga minyak naik 4 kali lipat dari 1 US$ menjadi 4 US$/barel. Oleh karena itu, pemerintah pada waktu itu tidak perlu pusing dengan pembiayaan pembagunan domestiknya, pendapatan minyak saja sudah mencukupi. Sebaliknya, tahun 1982-1986 harga minyak tiba-tiba jatuh dari 25 US$/barrel menjadi 13 US$/barrel. Akibatnya, pendapatan negara mulai melemah dan terjun bebas hingga 15 %. Apa yang menjadi perhatian adalah bagaimana memulihkan pendapatan negara dan dari sumber mana didapat. Respon yang dilakukan atas turunnya harga minyak adalah melakukan deregulasi sejumlah sektor ekonomi makro. Sektor yang dideregulasi antara lain keuangan, perpajakan, tarif ekspor dan pelayanan bea cukai (Alisjahbana, 2005).

Tahap berikutnya adalah melakukan ekspansi deregulasi dan liberalisasi yang telah dimulai sebelumnya. Perluasan ini mencakup sektor perdagangan, investasi, pertanian, industri, kelautan, pasar modal dan perbankan. Dalam rentang periode juga sedang terjadi migrasi industri produk TPT, sepatu dan elektronik dari negara industri baru (Jepang, Hongkong, Taiwan) ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu promosi investasi asing pada waktu itu hendak menarik investor-investor asing yang bergerak di produk-produk tersebut hingga berlangsung sampai periode tahun 2000-an. Semangat yang hendak diperlihatkan dari deregulasi dan liberalisasi tersebut antara lain memberikan peluang kepada sektor swasta untuk ikut mengelola ekonomi, mengurangi hambatan-hambatan pemerintah dan menarik bagi investor asing sebagai instrumen pertumbuhan (Winters, 1996).

Pada periode 80- an sampai akhir 90-an, pertumbuhan rata-rata sektor industri pengolahan mencapai 11 % dan memberi kontribusi rata 41 % dari PDB sepanjang periode tersebut. Secara spesifik, sektor tekstil, garmen, sepatu dan elektronika yang menyerap sejumlah besar, 31 % tenaga kerja industri non pertanian dan menyumbang antara 25-40 % ekspor non migas (Soesastro, 2005). Sektor itulah yang kemudian dipandang turut menyelamatkan, bukan saja pada pertumbuhan pendapatan negara tetapi juga penyerapan tenaga kerja yang besar pula.

Dalam konteks kebijakan ketenagakerjaan, isu soal fleksibilisasi belum secara eksplisit didesakkan secara besar-besaran, tetapi menyelinap di antara regulasi-regulasi yang lain. Pada dasarnya, pada periode tersebut komponen pokok fleksibilisasi ketenagakerjaan telah sayup-sayup diperkenalkan. Bahkan istilah buruh kontrak pun masih asing di telinga pada waktu itu. Dari sisi regulasi, semangat fleksibilisasi pada dasarnya telah muncul dengan bungkus Permen no. 5/1985 tentang pemborongan kerja individual dan Permen 2/1993 tentang KKWT (Suryomenggolo, 2003). Sedangkan dari sisi empiris praktek sehari-hari, aturan tersebut diterjemahkan dengan apa yang disebut dengan pekerja organik untuk menyebut pekerja status tetap dan pekerja un-organik untuk menyebut status kontrak. Dengan kata lain, fleksibilisasi jauh-jauh hari sudah diperkenalkan dan benihnya disemai, pada masa kemudian dipupuk dan dituai.

2. Periode krisis pertama 1998-2008: ekspansi liberalisasi

Konteks historis yang melatari periode tersebut sebagaimana kita semua pahami antara lain: 1) Pertumbuhan ekonomi terkoreksi hingga -13,7 %; 2) sektor industri jatuh hingga 34 %; 3) 4,2 juta orang tiba-tiba kehilangan pekerjaan; 4) sekitar 50 juta orang jatuh ke dalam kemiskinan. Selain itu, terjadi kebangkrutan massal sektor perbankan dan banyak investor yang lari dan enggan untuk kembali (Adiningsing, 2005). Tahap selanjutnya, untuk pemulihan krisis, Indonesia terperangkap oleh utang sebesar 43 US$ milyar. Sebagai negara pengutang, pemerintah terikat oleh sejumlah prasyarat (conditionalities) yang pada intinya melakukan reformasi dan liberalisasi kebijakan ekonomi. Keterikatan itu kemudian disebut sebagai penyesuaian struktural (Structural Adjusment Program). Sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro, sektor ketenagakerjaan tak ketinggalan, fleksibilisasi itulah skenario besarnya. Paska krisis, reformasi kebijakan ketenagakerjaan dapat diringkas sbb:

Pertama, ratifikasi 7 konvensi utama ILO yang diikuti dengan lahirnya UU 21/2000 selama periode 1999-2001. Indonesia tercatata sebagai satu-satunya negara di Asia paling banyak (Islam, 2000; Manning, 2004). Ratifikasi ini dipandang sebagai proses pemulihan hak-hak sipil yang sebelumnya menjadi bagian dari represi.

Kedua, peningkatan perlindungan dan kepastian bagi buruh yang diberikan oleh pemerintah dengan lahirnya Kepmen 150/2000. Poin pokok Kepmen ini adalah pesangon PHK yang mencapai 9 kali upah. Aturan ini ditentang oleh kalangan pengusaha dan Kadin, sehingga direvisi menjadi Kepmen 78/2001 yang akhirnya kembali ke aturan semula.

Ketiga, kenaikan UMP DKI Jakarta rata-rata 40 % selama periode 2001-2002. Kenaikan ini juga mendapat perlawanan oleh kelompok Pengusaha dengan mengajukan gugatan yang sempat dimenangkan oleh pihak Apindo. Ketika banding, Apindo kembali dikalahkan.

Keempat, lahirnya UU 13/2003 sebagai UU pokok Ketenagakerjaan yang juga kontroversial. UU ini semula ditolak oleh kalangan buruh karena melegalkan kerja kontrak dan perusahaan outsosurcing. Setahun kemudian, lahir pula UU 2/2004 tentang PPHI.

Kelima, terbitnya Kepres no. 3/2006 tentang Perbaikan Iklim Investasi. Salah satu poin dari Kepres ini disebutkan bahwa kekakuan aturan ketenagakerjaan dipandang sebagai penghambat investasi. Oleh karena itu pihak pemerintah mengusulkan agar aturan ketenagakerjaan lebih dilonggarkan lagi.

3. Periode krisis kedua 2008-2009: daur ulang liberalisasi

Segera sesudah terjadi krisis keuangan yang melanda negara-negara maju seperti AS, Jepang dan sebagian Uni Eropa pihak pemeritah dan asosiasi pengusaha memberikan peringatan. Pihak asosiasi pengusaha memberikan peringatan bahwa akibat krisis global diperkirakan akan terjadi PHK masal hingga 1 juta orang. Dalam rangka meredam gejolak krisis, pemerintah mengeluarkan SKB 4 menteri yang salah satu isinya adalah himbauan kepada pemerintah daerah agar kenaikan UMK tidak melebihi angka pertumbuhan ekonomi nasional.

C. Menakar petaka personal akibat fleksibilisasi: konsekuensi psikologis dan sosial

Apa yang disebut dengan petaka personal adalah risiko-risiko ekonomi, sosial dan psikologis yang ditimbulkan akibat kebijakan dan praktek fleksibilisasi yang diberlakukan di tempat kerja. Mengapa petaka personal? Akibat praktek fleksibilisasi, sebagian besar keluarga buruh harus menanggung berbagai risiko, entah sebagai ayah, ibu maupun anak. Berdasarkan temuan di lapangan dari serangkaian wawancara dengan responden keluarga-keluarga buruh maupun unit-unit lain di sekitar habitat buruh dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Sumber petaka

Sumber petaka yang dimaksud adalah faktor-faktor penyebab perubahan kondisi sosial, ekonomi dan psikologis yang dialami oleh buruh. Faktor-faktor penyebab utama ini diakui berasal dari praktek fleksibilisasi yang dialami di tempat kerja. Faktor penyebab yang menjadi sumber perubahan ditemukan secara empiris dan dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Berkurang atau hilangnya sumber penghidupan

Berkurangnya sumber penghidupan yang dialami adalah bahwa sejak berlaku kebijakan fleksibilisasi, upah menjadi berkurang, kepastian periode kerja tidak menentu dan tunjangan-tunjangan dihapuskan. Sedangkan hilangnya sumber penghidupan lebih karena PHK di pabrik semakin mudah dilakukan dan hal itu tidak langsung berkaitan dengan kinerja personal. PHK terjadi lebih sering disebabkan oleh motif anti serikat buruh, penggantian status tetap menjadi kontrak dan perusahaan tutup. Pola yang sama juga dialami oleh unit usaha seperti tukang sayur, warung, kontrakan, tukang ojek dan seterusnya. Dengang sendirinya mereka mengaku pendapatannya berkurang sangat drastis hingga rata-rata 30 % per hari.

b. Komodifikasi kesempatan kerja

Berbeda dengan kondisi yang dialami sebelum 5 tahun lalu soal bagaimana seseorang mendapatkan pekerjaan. Sejak 6 tahun terakhir ini, selain akses kesempatan kerja makin sempit, juga harus merelakan sejumlah uang antara 500 ribu-1 juta kepada lembaga outsorcing untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jahit di pabrik garmen dengan status kontrak 3 bulan. Mereka yang pernah bekerja di sektor formal kemudian di PHK lalu beralih ke sektor informal akan sangat sulit masuk lagi ke sektor formal. Alasannya, selain karena faktor umur, juga karena harus melalui lembaga outsourcing dan harus membayar. Dengan demikian kesempatan kerja telah di bajak oleh dan melalui lembaga outsourcing demi komodifikasi.

c. Individualisasi hubungan kerja

Praktek fleksibilisasi yang dikemas dan dibungkus dalam munculnya lembaga outsourcing secara empiris mengakibatkan implikasi yang demikian jauh. Pertama, terkikisnya energi kolektivisme dan keterwakilan yang selama ini diakui sebagai bagian dari komponen pasar kerja. Kedua, pergeseran pola hubungan industrial yang semakin mengedepankan individualisasi. Pola ini ternyata telah menjadi pilihan sebagian besar pengusaha, yang berdasarkan wawancara, ada beberapa kategori alasan yang melatarbelakanginya:

No

Dasar argumen

Argumen pendukung

1

Realisme/profitabilitas bisnis

· Mengurangi ongkos operasional untuk tenaga kerja

· Agar dapat berkompetisi dan menjaga survivalitas perusahaan

2

Legalistik

· Secara hukum, dalam UU 13/2003 memberi peluang perusahaan untuk melakukan kontrak dan outsourcing

3

Politis

· Untuk menghindari aturan tentang pesangon pasca PHK yang terlalu tinggi.

· Eksternalisasi relasi langsung dengan buruh maupun serikat buruh.

· Mengurangi beban administrasi tenaga kerja yang ada pada perusahaan

Sumber: Rangkuman wawancara dengan pengurus Apindo Kota Tangerang dan Kabupaten Bogor Maret, 2009

Implikasi hukum yang menjadi acuan regulatifnya adalah perubahan dari pendekatan hukum korporatis (corporatist law) ke hukum kontraktual (contractual law) yang berbasiskan individual (Stone, 2008)

2. Bentuk-bentuk petaka personal akibat fleksibilisasi

Yang dimaksud adalah perubahan atau percepatan penurunan kualitas hidup yang dialami oleh keluarga-keluarga buruh sesudah terjadi fleksibilisasi di tempat kerja. Penurunan ini dialami dan kemudian menjadi beban yang harus ditanggung setiap hari. Kondisi tersebut juga memicu ketidaksanggupan dan kemungkinan untuk mengembangkan diri secara utuh.

a. Krisis identitas dan kepercayaan diri

Seseorang bisa saja merasa krisis kepercayaan diri, justru ketika seseorang berada dalam posisi sukses. Tetapi, seorang buruh kontrak mengalami krisis identitas dan kepercayaan diri justru karena status kontraknya serta pengalaman tersebut bersifat masif. Krisis tersebut merupakan bentuk kelumpuhan psikologis yang faktor penyebabnya bukan berasal dari dalam dirinya, melainkan dari luar dirinya. Oleh karena berasal dari luar, maka tak bisa dikendalikan dari dirinya sendiri. Sementara beban tersebut harus dipikulnya setiap hari. Gejala psikologis yang teridentifikasi dari responden antara lain; pertama, perasaan dan pengalaman berbagai bentuk didiskriminasi dari orang lain baik di tempat kerja, masyarakat bahkan dalam keluarga. Kedua, rasa malu dan rasa tak sanggup terutama sebagai orang tua dihadapan anak-anak. Perasaan tak ada yang dibanggakan sedikitpun oleh anak-anak mereka. Ketiga, meningkatnya tingkat resistensi pubik terutama dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari misalnya, tidak dipercaya utang di warung atau kredit barang.

b. Pertengkaran rumah tangga

Pertengkaran atau perselisihan antara anggota keluarga dalam sebuah rumah tangga. Hal tersebut terjadi terutama karena perbedaan pendapat atau ketidaksepahaman akan suatu hal. Berbeda dengan pertengkaran yang dialami dan terjadi pada keluarga-keluarga buruh kontrak. Sebagian besar reponden mengaku bahwa intensitas pertengkaran terjadi justru ketika salah satu atau keduanya menjadi buruh kontrak. Penyebab utamanya menurut mereka adalah soal penurunan pendapatan yang mereka peroleh. Pertengkaran kerap kali dipicu oleh rasa frustasi yang lagi-lagi bersumber dari luar kendali dirinya. Rasa frustasi dialami karena beban ekonomi keluarga. Pertama, seorang ayah sebagai kepala rumah tangga bekerja keras di pabrik, lembur, bahkan kerja serabutan tanpa mengenal waktu untuk memenuhi kebutuhan keluarga oleh karena pendapatan yang makin berkurang. Risikonya, mereka kemudian tak punya banyak waktu untuk ikut mengurus keluarga. Kedua, sebagai ibu rumah tangga merasa kerepotan bagaimana mengelola pendapatan yang serba terbatas sembari mengurus rumah tangga. Lelah fisik dan psikis datang bersamaan akibat tekanan ekonomi yang seringkali mudah timbulnya pertengkaran.

c. De-generasi keluarga buruh

Oleh karena berkurangnya pendapatan yang diterima akibat sistem kerja kontrak, sebagain besar keluarga buruh melakukan pengetatan pengeluaran sebagai bagian dari penyesuaian kondisi. Pengetatan bahkan dilakukan terkait dengan kebutuhan pokok seperti tempat tinggal dan asupan pangan. Penghematan pangan misalnya, mengurangi frekuensi dan kualitas makan sehari-hari. Bahkan susu dan gizi anak pun tak luput dari penghematan tersebut. Mereka juga takut sakit bukan karena sakitnya sendiri, melainkan merinding dengan biaya pengobatan yang mesti dikeluarkan. Sebagian besar keluarga buruh bahkan merasa bersalah karena tak dapat menyangga mimpi dan cita-cita anak-anaknya. Bila demikian apa yang bisa diharapkan dengan tuntutan produktifitas kalau asupan amunisinya tak mencukupi 2100 kalori per hari?

d. Pergeseran pola kekerabatan

Semula, ikatan kekerabatan menjadi tiang penyangga utama di mana semangat berbagi, solidaritas dan tenggang rasa menjadi nilai utama masyarakat. Oleh karena itu momen-momen yang memungkinkan kekerabatan itu dipresentasikan sebagai tanda eksistensialitas seseorang adalah sesuatu yang ditunggu. Akibat penetrasi fleksibilisasi, instrumen-instrumen kultural tersebut mulai tak banyak dirayakan. Semula, perjumpaan fisik, berbagi rejeki, silaturahmi dan kumpul keluarga menjadi seremonia utama, tetapi kini menjadi hal yang dihindari. Gejala tersebut sebagaimana yang dirasakan para buruh adalah apa yang disebut dengan kelunglaian kultural akibat penetrasi pasar.

D. Perubahan-perubahan yang terjadi pada pemangku kepentingan atau institusi pasar kerja akibat fleksibilisasi

Pada bagian ini akan mencoba menguraikan gambaran perubahan-perubahan yang terjadi pada institusi-institusi pemangku kepentingan utama dalam pasar kerja yakni pengusaha, Dinas tenaga kerja dan serikat buruh. Perubahan yang hendak dilihat adalah perubahan atau pergeseran peran, orientasi dan kelembagaan masing-masing. Tentu kami akui bahwa apa yang hendak diuriakan tidak dapat memotret secara keseluruhan perubahan yang terjadi, tetapi lebih melihat wajah permukaan yang dapat kita jumpai sehari-hari:

1. Asosiasi Pengusaha:

2.

Beberapa perubahan atau respon pengusaha atas akibat atau sebagai bagian dari fleksibilisasi yang teridentifikasi secara empiris dari riset ini sebagai berikut:

a. Efisiensi dan eksternalisasi

Gejala umum yang nampak dan ditemukan di lapangan terkait konteks efisiensi dan eksternalisasi adalah penurunan serendah mungkin biaya bisnis dan pengalihan beban administrasi ketenagakerjaan kepada pihak ketiga. Persisnya sebagai berikut:

Kategori

Komponen

Dilakukan oleh

Efisiensi ongkos produksi terutama ongkos berkaitan tenaga kerja

- Perampingan jumlah tenaga kerja (downsizing) dengan PHK massal

- Mengubah status buruh tetap menjadi buruh kontrak dengan melakukan pemutihan

- Merekrut hampir seluruh tenaga kerja dengan status kontrak

- Mengurangi biaya jaminan sosial bagi buruh

- Mengurangi jam kerja dan jam lembur

- Menghilangkan aneka tunjangan bagi buruh di produksi.

Perusahaan inti

Eksternalisasi hubungan industrial

- Rekrutmen dan pemberhentian tenaga kerja

- Training atau briefing pengenalan kerja

- Peralatan kerja (seragam)

- Administrasi tenaga kerja (perjanjian kerja, tanda pengenal, absensi dst)

- Pengawasan (teguran, peringatan dst)

- Pembayaran upah

Perusahaan outsourcing (pihak ketiga)

Sumber: kompilasi wawancara dengan Pengurus Apindo Cab. Tangerang dan laporan investigasi KBC, April 2009.

Meskipun demikian, para pengusaha yang diwawancarai mengaku bahwa ketidakstabilan kebijakan pemerintah dan pungli oleh pemerintah daerah maupun pusat masih membebani bisnis. Dan ini menjadi variabel lain yang bisa menjawab mengapa pengusaha melakukan praktek fleksibilisasi yakni birokrasi pemerintah yang membebani bisnis belum bisa lenyap juga ketika desentralisasi berjalan. Hal tersebut konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Ari Kuncoro (2004) dan LPEM UI (2007) yang menyebutkan bahwa pungutan liar yang harus disetorkan kepada oknum birokrasi sebesar 15-30 % dari seluruh operasional perusahaan.

Sedangkan efisiensi dan eksternalisasi konsiten dengan studi yang dilakukan oleh Philip Brown (2001) tentang pendekatan dan karakteristik industri Fordisme dan Post-Fordisme sebagaimana berikut ini:

Era Fordisme

Era Post Fordisme

Kompetisi ekonomi dan produksi

Proteksi pasar nasional

Produksi massal dan standardisasi produk

Organisasi bisnis yang birokratis

Kompetisi dengan maksimalisasi SDM

Kompetisi di pasar global

Produk yang fleksibel dan inovatif

Organisasi bisnis yang lebih fleksibel

Kompetisi dengan inovasi

Relasi dan karakter tenaga kerja

Strandardisasi dan integrasi kerja produksi

Mayoritas di sektor manufaktur

Tenaga kerja berketrampilan rendah

Kelas managerial & profesional yang relatif kecil

Pasar kerja yang stabil dan mudah diprediksi

Fragmentasi dan spesialisasi yang fleksibel

Dominan di sektor service

Tuntutan tenaga kerja berpendidikan

Kelas managerial & profesional yang relatif lebih besar

Pasar kerja yang labil dan sulit diprediksi

Karakter politik dan ideologi

Tingkat soliditas serikat buruh yang tinggi

Afiliasi politik berdasarkan kelas

Masyarakat yang berkonsumsi massa

Penurunan soliditas serikat buruh

Menurunnya politik kelas

Individualisasi selera konsumsi produk

Sumber: diadaptasi dari Philips Brown, 2001; 4

b. Pergeseran organisasi bisnis

Implikasi langsung dari berbagai perubahan yang terjadi di kalangan bisnis terkait dengan peningkatan kompetisi, ketidakstabilan politik dan inefisiensi birokrasi pemerintah daerah, banyak perusahaan yang melakukan perombakan organisasi. Perombakan ini bukan hanya menurunkan sejumlah besar personil perusahaan, tetapi juga gaya manajemennya. Perombakan ini dimaksudkan agar sebuah perusahaan mampu dan lincah beradaptasi dengan perubahan kondisi bisnis yang serba tidak pasti. Para pengusaha berpendapat bahwa organisasi perusahaan yang besar akan menjadi beban biaya dalam jangka panjang dan mengurangi ruang gerak perusahaan dalam mengejar profit, ekspansi maupun berkompetisi. Akan tetapi, bukan berarti organisasi harus dihilangkan demi profit semata, melainkan bagaimana ukuran dan skala organisasi tetap menjamin perolehan profit di saat menghadapi situasi sulit.

Arus besar pergeseran pendekatan organisasi bisnis adalah perubahan bisnis berorientasi organisasional (organisational oriented) ke orientasi pasar (market oriented). Sebagaimana pendapat McGovern dkk (2008) berikut:

Komponen pasar kerja

Orientasi organisasi

Orientasi pasar

Karakter pasar kerja

- Mobilitas tenaga kerja rendah

- Mayoritas status permanen

- Mobilitas tenaga kerja tinggi

- Rekrut dan berhenti tergantung mood pasar

Jenjang karir

- Masuk pasar kerja melalui level bawah

- Ada jenjang karir secara formal

- Membutuhkan ketrampilan khusus

- Promosi dari dalam

- Kepastian jenjang dalam perusahaan

- Masuk pasar kerja melalui berbagai level

- Jenjang karir yang terbatas

- Membutuhkan keahlian bersifat umum (multi skill)

- Rekrutmen menggunakan pihak ketiga/agency

- Tidak ada kepastian jenjang karir

Penggajian

- Penetapan upah bersifat tetap (fix) berdasar kinerja, individu atau grup.

- Ditentukan berdasarkan activity

- Upah bersifat tidak tetap berdasarkan rate dan sinyal pasar.

- Ditentukan berdasar ability

Jaminan sosial (fringe benefit)

- Jaminan sosial berlaku untuk semua jenjang karir

- Jaminan sosial berlaku hanya untuk ‘core staff’

Sumber: Diadaptasi dari Patrick McGovern, et all, 2008

3. Mengorganisir pasar: konsolidasi modal dan kekuatan lokal

Praktek penggunaan buruh kontrak melalui lembaga-lembaga outsourcing apapun bentuknya rupanya telah menjadi semacam pandemi dalam pasar tenaga kerja. Mengapa demikian? Hampir di setiap daerah industri terjadi pola yang kurang lebih sama. Entah secara terbuka atau diam-diam hampir tiap perusahaan menggunakan jasa lembaga outsourcing untuk mengurus segala hal berurusan dengan tenaga kerja. Mulai dari rekrutmen, membayar upah hingga pemecatan. Sudah semakin sedikit buruh yang bekerja di pabrik melamar langsung dan diterima melalui proses yang dilakukan oleh perusahaan. Bahkan, hampir seluruh reponden keluarga buruh menyatakan bahwa istilah yayasan, PT, penyalur atau preman telah menjadi sosok yang akrab dan sekaligus menakutkan dalam keseharian mereka. Tak bisa seorang buruh pun masuk dan bekerja di pabrik tanpa melalui sosok-sosok misterius tersebut.

Beberapa bentuk lembaga atau istilah seperti yayasan, agen, penyalur atau PT tersebut rupanya kini menjadi kekuatan baru yang menguasai pasar kerja di kawasan-kawasan industri. Dalam konteks tersebut, riset sebelumnya yang dilakukan oleh B. Hari Juliawan, SJ (2006) menemukan bahwa lewat agen-agen penyalur tenaga kerja swasta tersebut sebagai jalan pintas menuju fleksibilisasi. Jenis dan pelaku lembaga-lembaga outsourcing dapat dikategorikan sebagai berikut:

No

Bentuk kelembagaan

Pelaku

Cara beroperasi

1

PT/Perseroan

Perusahaan, perseorangan, manajer HRD, pejabat di lingkungan pemerintah daerah dan sebagian kalangan militer (polisi dan tentara)

Memiliki kantor resmi dan alamat yang jelas. Memiliki sejumlah pegawai yang menjalankan perusahaan sehari-hari. Melakukan promosi perekrutan melalui iklan atau selebaran. Sebagian besar memiliki ijin dan terdaftar di Dinas tenaga kerja. Sebagian besar merekrut melalui proses testing atau wawancara. Persyaratan administrasi untuk pelamar jauh lebih lengkap. Pelamar membayar sejumlah uang

2

Koperasi

Koperasi pegawai BUMN/BUMD dan koperasi pegawai kantor-kantor pemerintah

Berkantor di lingkungan perusahaan induk atau kantor pemerintahan. Promosi menggunakan iklan maupun bentuk selebaran. Sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan tenagakerja di lingkungan perusahaan induk.

3

Lembaga informal

Lurah, RT/RW, tokoh/pemimpin informal, organisasi pemuda dan sekelompok preman.

Tidak memiliki kantor yang jelas, seringkali berkantor di rumah bersangkutan. Tidak ada mekanisme administratif yang jelas. Promosi dengan cara tradisional melalui tukang ojek, tukang becak, warung atau jaringan informal lainnya.

Sumber: Investigasi lapangan KBC Juli-Oktober 2008.

4. Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota: terhimpit tekanan pasar dan desakan publik

Apa yang terjadi pada Dinas Tenaga kerja sebagai bagian dari institusi publik yang melayani ketenagakerjaan akibat dari kebijakan fleksibilisasi? Sebagai bagian dari institusi publik, Disnaker tak luput dari desakan perubahan paska-krisis dengan apa yang disebut dengan reformasi sektor publik (public sector reform). Dalam pandangan klasik, institusi publik merupakan instrumen negara yang memiliki tanggung jawab penyediaan dan distribusi layanan kebutuhan dasar masyarakat. Akan tetapi, sebagaimana yang dirasakan fungsi sebagian besar institusi negara cenderung boros anggaran dan tidak efisien, maka pantas untuk perbaiki. Dalam konteks reformasi sektor publik ini, dikenal dengan konsep yang disebut sebagai New Public Management (NPM) yang diperlawankan dengan Old Public Administration (OPA). Pendekatan ini mulai diperkenalkan di negara-negara OECD sejak tahun 80-an dan negara-negara berkembang di tahun 90-an. Pengertian NPM ini adalah seperangkat reformasi yang diberlakukan bagi institusi-inntitusi negara dengan mengadopsi model managemen bisnis atas pengelolaan layanan publik yang selama ini dikerjakan oleh lembaga negara (Bangura, 2003; Juliawan, 2007). Berdasarkan temuan di lapangan, Disnaker kota/kabupaten juga tak luput dari reformasi jenis ini. Akibat perubahan tersebut, Disnaker mengalami beberapa pergeseran berikut:

a. Pelemahan peran atau fungsinya

Pelamahan fungsi ini ditandai dengan beberapa gejala yang diakui oleh pejabat-pejabat Disnaker Kota/kabupaten. Pertama, penyempitan kewenangan dan otoritas perencanaan maupun implementasi kerja yang dimiliki oleh Disnaker. Disnaker dalam tugasnya merujuk dan mengemban regulasi yang cakupannya nasional, tetapi pertanggungjawaban dan garis koordinasinya di lingkup lokal. Kedua, perampingan yang signifikan baik pegawai maupun unit pekerjaan yang melekat di dalamnya karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Misalnya, Disnaker kab. Serang hanya memiliki 6 pengawas untuk mengurus 2.080 perusahaan.

b. Privatisasi fungsi disnaker: agenisasi dan marketisasi layanan ketenagakerjaan

Berkurangnya peran institusi negara, minimnya kontrol serikat buruh dan bangkitnya organisasi-organisasi lokal paska desentralisasi semakin mengokohkan kehadiran lembaga-lembaga outsourcing (Juliawan, 2007). Dari perspektif reformasi sektor publik gejala ini juga bisa disebut sebagai agenisasi (agencyfication) perekrutan, penempatan dan pemecatan tenaga kerja. Sebagaimana telah diurai sebelumnya, sejumlah bentuk lembaga memberlakukan diri sebagai “agen” atau pihak ketiga antara buruh-pengusaha maupun antara pengusaha-Disnaker. Akibatnya, hampir seluruh tahap masuk ke dunia kerja diberlakukan transaksi jual-beli yang dipandu oleh hukum permintaan penawaran. Sebagaimana tergambar pada tabel berikut;

Komponen pasar kerja

Peluang kerja, pintu masuk dan pencari kerja

Sisi permintaan

Sektor jasa keuangan & profesional

Sektor padat teknologi

Pertambangan & energi

Industri padat karya & manufaktur

Sektor informal

Enrty point

- Proses seleksi

- Magang

Lembaga-lembaga outsourcing

Kekerabatan

Sisi penawaran

- Sarjana

- Insinyur

- Profesional

- Lulusan SMU ke bawah

- Korban PHK

- Ibu rumah tangga

5. Serikat buruh

Perubahan signifikan yang dialami serikat buruh akibat kebijakan dan praktek fleksibilisasi yang teridentifikasi di lapangan antara lain. Pertama, penurunan sejumlah besar anggota yang dengan sendirinya turut menurunkan kekuatannya. SPMI Cabang Serang misalnya, telah kehilangan hampir 2000 anggota selama 3 tahun terakhir. Hal yang sama di alami oleh serikat buruh yang berbeda dan di tempat yang berbeda pula. Kedua, serikat buruh mengalami krisis peran kolektifnya. Sejumlah serikat buruh merasa gagap dalam menjalankan fungsi organisasinya, bahkan ada yang secara diam-diam melakukan praktek sebagaimana perusahaan outsourcing lainnya.

E. Bermimpi tentang kepastian kerja

Berdasarkan observasi singkat dan terbatas, sesudah 5 tahun kebijakan fleksibilisasi melalui berlakunya UU 13/2003 rupanya punya daya perusak kepastian kerja bagi sebagian besar buruh manufaktur. Sebagian hak-hak buruh hilang persis ketika intensitas fleksibilisasi meningkat dan diikuti dengan menurunnya sejumlah kualitas hidup buruh sendiri. Hilangnya sebagian besar hak-hak itulah kiranya bagi buruh mengalaminya sebagai bencana ketidakpastian kerja telah datang. Bencana tersebut menyerang tiba-tiba mereka dengan karakteristik berketrampilan rendah, sebagian besar perempuan, di pabrik yang memproduksi barang ekspor dan mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Sejak saat itulah bencana tersebut tak segera pulih hingga hari ini dan obat penangkalnyanya pun belum ditemukan karena kebijakan apapun juga tak imun dari virus liberalisasi. Dan fleksibilisasi itu sendiri sesungguhnya sebagai anak bungsu dari keluarga liberasilisasi tersebut.

Pertanyaan lanjutnya adalah masihkah hak-hak buruh bisa di dapatkan ketika fleksibilisasi dan reformasi sektor publik datang bersamaan? Bila fleksibilisasi punya kontribusi merusak secara masal masihkah kepastian kerja menjadi hak publik? Yang jelas, sejak kebijakan fleksibilisasi dilakukan, sebagian besar hak-hak dasar buruh lenyap secara tiba-tiba dan negara pun rupanya tak sanggup menyangga.

1. Hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi

Ekonom Guy Standing (2002) menyebutkan bahwa hak atas kepastian kerja dan kepastian ekonomi perlu disokong oleh jaminan sosial dasar yang menyangkut akses soal jaminan kesehatan, infrastruktur, pendidikan, tempat tinggal, informasi dan perlindungan sosial lainnya. Sedangkan hak yang berkaitan dengan kepastian kerja terdiri dari beberapa komponen dan sekaligus dapat sebagai indikator dasar bagi kerja yang layak (decent work). Komponen-komponen tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.

Pertama, kepastian pendapatan (income security) yakni kecukupan dasar dan absolut terhadap kebutuhan dasar yang diperoleh dari pendapatan atau upah maupun bentuk-bentuk jaminan sosial yang lainnya. Kepastian ini bukan saja berlaku pada periode masih bekerja tetapi juga ketika sudah tidak bisa bekerja (retirement). Mekanisme kepastian pendapatan ini secara klasik meliputi pengawasan pengupahan, indeksasi upah, jaminan sosial menyeluruh dan pajak progresif.

Kedua, jaminan keterwakilan (representation security) yang meliputi keterwakilan individual maupun kolektif dalam konteks perlindungan hukum. Keterwakilan individu menunjuk pada hak-hak individu yang dijamin dalam UU sebagaimana akses individu terhadap institusi. Sedangkan keterwakilan kolektif merujuk pada hak beberapa individu maupun kelompok untuk diwakili oleh dan atas nama organisasi yang lebih besar, lebih independen dan lebih kompeten. Keterwakilan tersebut dalam rangka pelindungan dan pangawasan misalnya upah, kondisi kerja dan praktek-praktek perburuhan lainnya.

Ketiga, kepastian pasar kerja (labour market security) yang dimengerti sebagai ketersediaan dan kecukupan kesempatan kerja yang dijamin oleh negara.

Keempat, perlindungan tenaga kerja (employment security) yakni perlindungan terhadap pemecatan, aturan tentang rekrutmen dan pemberhentian.

Kelima, jaminan pekerjaan/jabatan (job security) yakni merujuk pada harapan akan jenjang karir, batasan keahlian maupun adanya kualifikasi jabatan.

Keenam, jaminan perlindungan di tempat kerja (work security) jaminan terhadap kecelakaan maupun penyakit akibat kerja melalui aturan K3, pembatasan waktu kerja dan penghindaran kerja malam bagi perempuan.

Ketujuh, jaminan peningkatan ketrampilan (skill reproduction security) melalui perluasan kesempatan untuk peningkatan ketrampilan, magang maupun pelatihan tertentu.

Dari beberapa bentuk perlindungan tersebut terdapat dua jenis pelindungan yang paling esensial yakni perlindungan upah dan jaminan keterwakilan.

2. Jenis-jenis hak-hak dasar buruh

Apa yang diuraikan di atas menempatkan hak atas kepastian kerja dalam konteks sebagai hak ekonomi. Oleh karena itu komponen-komponen di dalamnya menyangkut perlindungan berkaitan dengan relasi kerja. Akan tetapi, argumen yang mendasarinya adalah bahwa seluruh komponen kepastian kerja merupakan sarana dan sekaligus tujuan bagi kesejahteraan buruh sendiri. Sebagai sarana (means) kepastian kerja memungkinkan terwujudnya solidaritas, survivalitas dan keberlanjutan bagi kesejahteraan. Sedangkan sebagai tujuan (end) kepastian kerja adalah bagian dari hakekat kemanusiaan buruh itu sendiri yakni penghidupan yang lebih utuh.

Akan tetapi, kondisi poltik dan juga ekonomi selalu berubah-ubah. Dan perubahan terebut lebih banyak dikendalikan oleh mekanisme di mana sistem pasar menjadi panduannya. Termasuk di dalamnya adalah pasar tenaga kerja. Maka mungkinkah hak-hak dasar buruh dapat dicapai dalam tahap-tahap tertentu? Gambaran berikut kiranya menjadi rujukan bagi perlundungan buruh dalam menghadapai ketidakpastian.

Klasifikasi standar perburuhan berdasar hak

No

Jenis hak buruh

Komponen

1

Hak-hak dasar (basic rights)

Hak melawan kerja paksa

Hak melawan paksaan fisik

Hak melawan diskriminasi

Hak melawan pekerja anak

2

Hak-hak sipil (civic rights)

Hak untuk berorganisasi

Hak membentuk perwakilan kolektif

Hak untuk menyampaikan keluhan

3

Hak bertahan hidup (survival rights)

Hak mendapatkan upah layak

Hak mendapatkan informasi kesempatan kerja

Hak atas kompensasi kecelakaan kerja

Hak atas pembatasan jam kerja

4

Hak-hak perlindungan (security rights)

Hak untuk melawan pemecatatan sewenang-wenang

Hak atas pesangon dan tunjangan

Hak pensiun

Sumber: diadaptasi dari Chris Manning (2004).

F. Penutup

Dari temuan empiris yang kami uraikan di atas memperlihatkan beberapa hal. Pertama, bahwa kebijakan fleksibilisasi pasar kerja sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi makro ternyata punya daya destruktif bagi buruh dari sisi psikologis, sosial maupun ekonominya.

Kedua, oleh karena efek yang ditimbukan sedemikian masif, maka ruang-ruang publik masih sangat terbuka untuk mencoba berkotribusi dalam memperbaiki kondisi. Maka kerja sama antar pemangku kepentingan akan menjadi jalan setapak menju perbaikan tersebut.

Riset ini adalah upaya yang tak seberapa bobot maupun efek kontruktifnya, akan tetapi lebih pada titik awal dari jalan panjang jauh ke depan yang entah kapan sampai garis finisnya. Titik awal inipun terasa berat, terutama untuk mengisahkan kepahitan yang tak kunjung habis tertelan. Upaya kecil ini hanyalah sekedar menghidupkan kembali pepatah indah yang pernah terucap sekian tahun silam “lebih baik nyalakan lilin dari pada mengutuk kegelapan”.

-ms-

Lampiran

Kelembagaan penelitian

Tim peneliti:

1. Simon Bagus Musharyo (SPIS-Jakarta)

2. Liest Pranowo (Kom PSE Keuskupan Bogor)

3. Suprapto (SPIS-Jakarta)

4. L. Gathot Widyanata (BPB-LDD Keuskupan Agung Jakarta)

5. E. Ambar Sulistiani (BPB-LDD Keuskupan Agung Jakarta)

Asisten lapangan

1. CHS Khasminah (KBC-Tangerang)

2. Budi Sutami (KBC-Tangerang)

3. Maman (KBC-Tangerang)

4. Sri Suyati (KBB-Bogor)

5. Ade Abdurahman (KBB-Bogor)

6. Andre (Gesburi-Bekasi)

7. Nursyaifudin (FSBS-Serang)

8. Argo Priyo Jatmiko (FSBS-Serang)

Pengolah data dan penulis akhir

M. Sumartono (SPIS-Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar